Minggu, 16 Oktober 2011

Futsal

Akhirnya, setelah sekian lama tidak pernah lagi, tepat ketika saudara-saudara kita yang Muslim sedang berlebaran kami—saya dan para keponakan berikut teman-temannya—bermain sepakbola.

Dulu, pada masa yang sudah cukup jadoel, saya sering bermain sepakbola bersama saudara-saudara dan sepupu di lapangan pinggir pantai dekat rumah. Tanpa alas kaki, di atas matahari menyorot tajam di bawah pasir-pasir menggigiti kaki-kaki telanjang kami. Maka, tak heran kami berkulit gosong dengan kaki-kaki yang tak jarang penuh luka goresan.

Tapi kini keadaan sungguh berbeda. Lapangan itu tinggal kenangan karena di atas tanahnya akan di bangun hotel. Nasibnya tidaklah unik, terutama di negara kita di mana setiap tanah kosong di perkotaan selalu menggoda “selera” membangun para pejabat+kapitalis untuk menggusurnya atas nama “pembangunan ekonomi”.

Sebagai akibat, anak-anak gaul masa kini jarang menemukan lapangan terbuka untuk bermain sepakbola. Lapangan dalam ruangan dengan permainan yang disebut futsal adalah pilihan praktis dan nyaman: tidak panas, tidak perlu gosong oleh sinar matahari, dan kaki pun tak perlu harus lecet namun tetap bisa bersenang-senang. Tapi tentu saja, tidak ada makan siang yang gratis, he-he-he…selalu ada harga untuk kenyamanan seperti itu.

Ngomong-ngomong, setelah mencoba lagi, bermain sepakbola ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Meskipun kini memakai sepatu, sekadar menendang bola saja seperti menendang sebongkah batu seberat 100 kg. Apalagi untuk bisa menendang dengan tepat ke arah yang ingin dituju. Tambah pula harus berlari kian kemari, sebentar saja napas sudah ngos-ngosan dan peluh bercucuran. Masih untung ada atap yang menepis total sinar matahari.

Barangkali usia yang semakin menua membuat bermain sepakbola tidak semudah seperti waktu kecil dulu? Ah, rasanya saya masih belum tua-tua amat, he-he-he. Atau mungkin terlalu terbiasa dengan aktivitas keseharian yang lebih banyak duduk di depan laptop atau membaca buku, jarang bergerak dan lebih sering menggunakan mouse atau kendaraan untuk berselancar (yang pertama untuk berselancar di dunia maya dan yang kedua di dunia nyata)? Nah, ini dia biang keladinya, he-he-he…

Tapi apa pun, pengalaman itu membuat saya malu hati sekaligus salut kepada para pemain sepakbola profesional. Karena selama ini, saat menonton pertandingan bola di televisi, sebagai penonton terkadang saya merasa kesal dan tertawa penuh “hinaan” tatkala seorang pemain gagal menendang bola atau terlihat begitu bodohnya seperti tak tahu di mana letak gawang musuhnya:

Wahai penonton yang sok pintar, bermain dan menendang bola tidaklah semudah yang terlihat dari pinggir lapangan atau sofa empuk ruang keluarga! Cobalah sendiri, Anda akan tahu bagaimana rasanya dan bagaimana susahnya!

Kadang dalam keseharian kita juga berperilaku seperti penonton bola. Kita melihat masalah-masalah yang dihadapi orang lain sebagai tampak mudah dan sederhana dan seharusnya tak perlu dipusingkan. Namun saat masalah yang sama itu menimpa diri kita, kita baru merasakan seperti apa rasanya.

Seseorang yang belum pernah jatuh tak akan dapat benar-benar memahami seperti apa sakitnya jatuh itu. Tapi di sisi lain, tentu saja, tidaklah perlu mengalami patah kaki sekadar untuk tahu bagaimana rasanya kaki yang patah, bukan? Karena kita tetap bisa berempati dengan melatih kepekaan hati kita: melihat dan mendengar melalui indra-indra kita, lalu meresapkannya ke dalam hati, mengolah di sana dengan menambahkan “bumbu-bumbu” ketulusan, kepedulian, dan kasih sayang sebagai sesama pejalan sangsara.

220910

Tidak ada komentar:

Posting Komentar