Rabu, 19 Oktober 2011

Bentang Langit


Rasa haru menyergap hatiku dari ketinggian ini, ketika pesawatku mulai mengarungi lautan awan. Aku memandang ke bawah, kepada pulau yang tanahnya selama ini menyokongku dan airnya menghapus dahagaku. Pulau yang indah dan mungil, tetapi yang cukup besar untuk menyediakan tempat bagi jutaan kehidupan itu makin lama makin tampak mengecil. Dan akhirnya, di sebuah titik, ia hanya tinggal setitik kecil di tengah lautan.

Di sekelilingku kini hanyalah biru langit yang tak berujung. Cemerlang dan berkilau memukau. Sesekali awan gemawan melintas bagai rombongan khafilah dengan bentuk-bentuknya yang memancing daya imaji.

Wahai, kemahaluasan bentang langit

Dalam ketakjuban, tiba-tiba aku tersadar: betapa kecilnya diriku ini. Betapa tak berartinya aku bila dibandingkan dengan bentang langit yang tak terkira. Di manakah semua kecengenganku yang merasa sebagai manusia paling malang sedunia tatkala kerikil-kerikil kehidupan menghalangi jalanku? Di manakah semua rasa bangga dan sombong yang membuncah ruah ketika aku sedang menikmati manisnya pencapaian? Semuanya sirna, tak sekuku pun berarti di atas sini.

Dalam kemahaluasan bentang langit, aku hanyalah sebutir debu.

180707

Tidak ada komentar:

Posting Komentar