Rabu, 19 Oktober 2011

Cerita Meditasi


Pada sekitar 10 atau 20 tahun lalu, jika kita ingin mencari informasi mengenai meditasi, kita akan mengalami betapa sulitnya menemukan petunjuk tentang apa dan bagaimana bermeditasi. Sekarang? Wow…silakan googling dan nikmati luapan informasi tentang meditasi yang disediakan dalam pelbagai macam nama, bentuk dan rasa!

Saya mulai mengenal kata meditasi dari buku-buku Dhamma yang saya baca ketika saya masih duduk di bangku SMK (d/h STM) dulu. Karena masih asing, meditasi terasa begitu jauh dan tak terjangkau, dan ada prasangka buruk yang melingkupinya.

Sebagai contoh, ketika tahu saya tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang meditasi, salah seorang kerabat memperingati saya bahwa meditasi itu bisa membuat orang jadi gila. Untuk menegaskan keyakinannya, dia menunjukkan bukti salah seorang adik iparnya yang menjadi gila karena, menurutnya, bermeditasi.

Ternyata, anggapan salah seperti itu tidak hanya milik kerabat saya seorang.

Dalam bukunya, Don’t Worry Be Healthy (Karaniya), Dr.Phang Cheng Kar menceritakan tentang adanya anggapan keliru di kalangan Buddhis bahwa meditasi itu bisa membuat orang menjadi gila. Lebih jauh, beliau menjelaskan mengapa bisa terjadi anggapan seperti itu dan mengapa anggapan itu sangat keliru. Jelas saja keliru, karena ternyata kasus-kasus yang disangka kegilaan akibat meditasi sesungguhnya disebabkan oleh praktisi itu sendiri sudah mengalami gangguan jiwa sebelum dia berlatih meditasi. Jadi bukan meditasi yang menyebabkan kegilaan itu. Dalam kata-kata Ajahn Brahm: justru kalau kita tidak bermeditasilah kita bisa menjadi gila, he-he-he….

Ngomong-ngomong soal Ajahn Brahm, memang sudah menjadi ciri khasnya dalam setiap lontaran humor selalu terkandung suatu pesan moral yang tidak main-main. Tidak terkecuali yang tersebut di atas tadi. Sudah banyak bukti yang menyatakan bahwa orang-orang yang berlatih meditasi menjadi lebih bahagia, lebih waras, dan tentu saja, lebih sukses. Meditasi juga membuat kita menjadi lebih peka, lebih penuh pengertian dan lebih bisa berempati. Bila manfaat meditasi dideretkan di sini akan menjadi panjaaaaaaannngg! Tidak percaya? Cobalah sendiri, he-he-he…

Tetapi tentu saja, seperti halnya segala sesuatu di dunia, manfaat meditasi pun memerlukan proses. Untuk meraih dan menikmati manfaat-manfaat tersebut kita tidak bisa berharap secara sim salabim dengan satu kali sesi meditasi duduk 5 menit kita sudah bisa menjadi pribadi yang tercerahkan, bahagia, sehat, waras. Meditasi memerlukan latihan yang sinambung, tekun dan pantang menyerah. Sama seperti seseorang yang melatih otot-ototnya dengan secara rutin melakukan olah otot, meditasi pun juga begitu: semakin kita rajin berlatih dan terus berlatih, semakin hari “otot-otot” kesadaran kita akan semakin terbentuk. Dan semakin terbentuk “otot-otot” kesadaran kita, semakin kita merasakan manfaat-manfaat nyata dari meditasi.

Tidak percaya?

Ehipassiko, deh! Gitu aja kok repot*, he-he-he…


040310
* Gus, minta ijin pinjam ya…

Kisah Paul si Gurita Peramal


Masih ingat dengan Paul si gurita peramal yang pada beberapa bulan lalu—persisnya saat perhelatan Piala Dunia di Afrika Selatan, Juni sampai Juli 2010—menjadi bintang media karena kemampuannya meramalkan hasil pertandingan bola?

Paul adalah seekor gurita yang pada waktu itu baru berusia empat bulan, dan dia berasal dari Italia tapi tinggal di Akuarium Sea Life Oberhausen, Jerman. Dia ditemukan oleh Verena Bartsch, pelatih gurita di akuarium itu, di lautan Italia di Pulau Elba dekat Tuscany pada April lalu.

Pernyataan Bartsch ini tentu saja bertolak belakang dengan kabar yang beredar sebelumnya bahwa Paul lahir di Weymouth, Inggris, sebelum akhirnya dibawa ke Jerman.

Namun pernyataan Bartsch menimbulkan pertanyaan baru di berbagai kalangan. Jika memang benar Paul kini berusia empat bulan. Lalu siapakah gurita yang meramal saat Euro 2008 lalu?

Terlepas dari kontroversi tentang riwayat Paul si gurita peramal, mari kita fokus pada pertanyaan yang cukup mengusik ini: mengapa Paul, sebagai seekor binatang yang meskipun disebutkan termasuk dalam spesies hewan cerdas, mampu meramal dengan begitu tepat hasil-hasil pertandingan pada Piala Dunia lalu?

Banyak jawaban yang diberikan seperti misalnya bahwa Paul sebagai binatang air bisa mengindra getaran-getaran “alam semesta” dan menerjemahkannya sebagai suatu ramalan. Lainnya mengatakan itu hanyalah sebuah kebetulan, dan bahkan beberapa dengan sinis menyebutkan semua itu telah direkayasa oleh pihak-pihak tertentu, bahwa binatang hanyalah binatang.

Bagi kita para Buddhis yang meyakini tumimbal lahir dan Hukum Karma, hal-hal seperti ini tidaklah aneh. Karena para binatang dulunya—pada beberapa kehidupan lampau yang dekat atau jauh—bisa hidup sebagai manusia di alam manusia, dan karena kecenderungan-kecenderungan dari kehidupan lampau tidak hilang begitu saja pada kehidupan yang sekarang, maka sangat masuk akal jika beberapa binatang menunjukkan sisi-sisi kemanusiaan, yang dalam beberapa hal seringkali justru lebih menyentuh hati kita dan membuat kita merenung dengan malu: Apakah kita masih memiliki sisi kemanusiaan itu? Betapa, misalnya, seekor anjing bernama Hachiko* mampu menunjukkan kesetiaan yang luar biasa kepada majikannya bahkan ketika sang majikan telah meninggal dunia pun.

Jadi, jika kemampuan Paul meramal bukanlah hasil suatu rekayasa, maka bisa jadi pada kehidupan lampau Paul sebagai manusia dia adalah orang yang punya kemampuan meramal juga. Hanya saja, entah karena karma apa, saat ini dia terlahir di alam binatang sebagai gurita. Tapi kecenderungan atau bakat dari kehidupan lampaunya—sebagai peramal—tidak hilang begitu saja. Itulah mengapa dia akhirnya menjadi Paul si Gurita Peramal.

270810

* Hachiko adalah seekor anjing yang dipungut dan dipelihara dengan penuh kasih sayang oleh seorang profesor. Kisah nyata ini terjadi di Jepang pada 1923-1935, dan telah diangkat ke layar lebar dalam film berjudul "Hachiko: A Dog’s Story" dengan bintang utamanya Richard Gere. 

Kadang, Cinta Ada di Kakimu*


Suatu ketika Lao Tze sang filsuf membolehkan seorang murid menemaninya berjalan-jalan di pegunungan. Ketika mereka sampai di suatu tempat yang amat indah pemandangannya, si murid berkata dengan penuh kekaguman, “Betapa indahnya!” Sejak saat itu, Lao Tze tak pernah lagi mengijinkan si murid menemaninya berjalan-jalan.

Brian adalah seorang kepala keluarga dari sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang istri, dua orang anak, dan Kevin si anjing. Brian mengasihi mereka semua, sebagaimana istri dan anak-anaknya mencintai Brian. Tapi Brian tak pernah mengatakan bahwa dia mencintai istrinya, anak-anaknya. Toh begitu, anak-anak dan istrinya tahu, tanpa perlu kata-kata, bahwa Brian mengasihi mereka.

Tentang Kevin si anjing, dia sangat memuja Brian sampai-sampai Kevin menganggap Brian sebagai Tuhan. Kevin selalu berusaha menjadi yang pertama menyambut Brian saat dia pulang bekerja. Tapi Brian seringnya tak menggubris, kecuali jika dia nyaris menginjak ekor Kevin.

Sampai pada suatu hari ketika Brian sedang dalam pemulihan dari sakitnya, tiba-tiba saja segalanya berubah. Kevin mendapatkan perhatian dari Brian seperti yang selama ini dia angan-angankan. Tanpa kata-kata, hanya tindakan sederhana namun bermakna mendalam melampaui kata-kata terindah sekalipun, Brian menunjukkan kasihnya kepada Kevin. Dan Kevin tahu itu: kata-kata tak diperlukan di sini.

Apakah Brian pernah membaca Lao Tze?

Mungkin saja.

Selain ilustrasinya yang keren dengan gaya karikartural, sangat menarik membaca cerita dalam buku ini, mengingat penulisnya berasal dari suatu kebudayaan yang secara umum menghargai ungkapan-ungkapan seperti “Aku cinta kamu” atau “Aku menyayangimu” sebagai cara menunjukkan rasa kasih kepada yang lainnya. Hal ini berbeda dalam kebudayaan Asia yang lebih mengutamakan isyarat tubuh dan tindakan untuk mengungkapkan perasaan ketimbang kata-kata.

Kata-kata memiliki keterbatasan, baik dalam makna apalagi bunyi. Kata-kata tak selamanya mampu menggambarkan sesuatu dengan seutuhnya, setepat-tepatnya. Dan dalam situasi-situasi tertentu, kata-kata justru akan merusak, mendangkalkan apa yang sedang kita alami, rasakan, dan saksikan. Seperti ketika kita larut dalam keheningan kontemplatif, jika mendadak muncul kata-kata dalam hati maupun luar hati yang berseru “Hening!, saat itu juga keheningan akan pergi tanpa pamit.

Kadang, cinta ada di kakimu. Dan seringkali, cinta tak harus diucapkan dengan kata-kata. Saat hati telah tertaut rapat dalam harmoni dan pengertian, dengan sendirinya cinta akan terasa begitu kuat dan mendalam, tak terkatakan, tak terlukiskan….

291010

* Diilhami oleh buku anak-anak berjudul “Kadang, Cinta Ada di Kakimu” (Sometimes Love Is Under Your Foot), karya Colin Thompsonm, Penerbit KidClassic Publication

Sehat itu Murah*


Tadi pagi saat saya coba menawarkan sari kurma kepada seorang pembeli yang datang ke toko, saya katakan kepadanya bahwa sari kurma bisa mencegah pengeroposan tulang (osteoporosis) pada orang dewasa. Si gadis cantik menjawab, “Saya masih muda.”

“Justru,” balas saya, “karena masih muda-lah kita harus mulai mencegahnya. Karena sehat itu sebenarnya murah, sakitlah yang mahal.” Si gadis hanya tersenyum. Meskipun tidak tertarik membeli dagangan saya, bagi saya senyumnya tetap terasa manis (he-he-he…).

Tampaknya kita mulai melupakan bahwa kita punya satu ujaran bijak warisan dari nenek moyang kita: lebih baik mencegah daripada mengobati.

Ada kesalahkaprahan yang menganggap sehat itu mahal. Makanya sadar atau tidak, kita maklumi bila produk-produk kesehatan seperti suplemen dan vitamin bila semakin mahal harganya berarti semakin bagus. Padahal, jika kita lihat lebih dekat, sesungguhnya untuk menjadi sehat tidaklah mahal. Kuncinya kembali kepada ujaran bijak itu: cegahlah, daripada mengobati. Dan pencegahan itu tidak harus menguras modal yang besar, tetapi hanya perlu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik.

Saat usia muda seperti sekarang inilah saat terbaik untuk menabung modal sehat demi masa tua yang lebih terjamin. Jika untuk urusan keuangan kita siap menabung dana pensiun, mengapa untuk urusan kesehatan yang lebih berarti daripada materi apa pun kita sering lupa menabung sedari dini? Jangan terlena oleh kemudaan itu dan lantas menyia-nyiakan atau bahkan merusaknya dengan perilaku yang tak sehat.

Mulailah dari hal-hal sederhana seperti mengunyah makanan dengan baik. Kunyahlah makanan minimal 30 kali setiap kali suap untuk jenis yang biasa, tapi untuk makanan keras paling tidak 50 kali.

Wah, cape deh!

Cape sedikit demi kesehatan kan tidak ada apa-apanya, setuju? Karena dari mengunyah makanan dengan baik, apa yang masuk ke usus kita akan menjadi mudah dicerna dan usus bekerja dengan lebih ringan. Jika kita peduli pada usus, membantu meringankan kerjanya, maka dia akan membalas kita dengan memberikan kita kesehatan yang baik. Tidak percaya? Asal tahu, dokter terkenal bernama Hiromi Shinya MD dalam buku sangat terkenal “Miracle Enzyme”, menulis bahwa usus dan lambung adalah garis pertahanan pertama tubuh dan fondasi bagi kesehatan kita!

Kurangi makan daging dan perbanyak sayuran, kacang-kacangan dan buah-buahan. Jika mampu, jadilah seorang vegetarian. Beberapa orang percaya daging membuat kita kuat dan bertubuh besar, jika hanya memakan sayuran dan buah kita akan lemah dan bertubuh kecil. Itu jelas salah, karena gajah si raksasa darat dan kuda si pelari tangguh adalah para herbivora. Dengan pengaturan menu yang baik dan bervariasi, sayuran dan jenis-jenis kacang-kacangan mampu menyediakan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh kita.

Ketika ginjal masih berfungsi baik, pelihara dan sayangi dia baik-baik dengan minumlah air putih dalam jumlah yang cukup. Jangan tergoda memperlakukan minuman ringan atau lainnya yang sejenis itu, yang sering berteriak-teriak sebagai penghilang haus nomer 1, sebagai pengganti air minum kita. Air putih yang baik dan sehat, bagaimanapun, masih yang terbaik!

Semasih jantung sehat dan semangat memompakan darah, pedulilah kepadanya. Berolahraga teratur (tidak perlu di fitness centre mahal, di halaman rumah pun jadi), tidak merokok (rokok sangat berbahaya dan adalah candu yang melanggar sila ke-5 Pancasila Buddhis), dan jauhi gaya hidup yang hanya menghasilkan stress berat.

Demikian juga dengan bagian tubuh kita yang lainnya. Kita wajib memelihara dan memperlakukan mereka dengan baik dan pantas. Karena kita tidak berhak memiliki tubuh ini, tetapi hanya sekadar hak guna untuk memanfaatkannya sebagai kendaraan menuju tujuan hidup kita. Jika kita sembrono memakainya, sangat mungkin “pemiliknya” yang sejati akan langsung mencabut hak guna kita!  

Mari Kita tabung modal sehat kita tatkala masih muda, supaya di senja hari kita petik hasilnya dengan menjalani masa tua dalam kesehatan dan kedamaian yang baik. Maka, meskipun kematian itu tak terelakkan bagi siapa pun yang pernah lahir, kita boleh berharap, ketika saat itu tiba, kita dapat pergi seperti seseorang yang berangkat tidur untuk selama-lamanya: begitu memejamkan mata, begitu pula napas berhenti.

Begitu tenang, tanpa sakit, tak menderita. Betapa kematian yang indah!

111109
 * Judul esai ini dipinjam dari judul sebuah buku karya Dr. Handrawan Nadesul

Bentang Langit


Rasa haru menyergap hatiku dari ketinggian ini, ketika pesawatku mulai mengarungi lautan awan. Aku memandang ke bawah, kepada pulau yang tanahnya selama ini menyokongku dan airnya menghapus dahagaku. Pulau yang indah dan mungil, tetapi yang cukup besar untuk menyediakan tempat bagi jutaan kehidupan itu makin lama makin tampak mengecil. Dan akhirnya, di sebuah titik, ia hanya tinggal setitik kecil di tengah lautan.

Di sekelilingku kini hanyalah biru langit yang tak berujung. Cemerlang dan berkilau memukau. Sesekali awan gemawan melintas bagai rombongan khafilah dengan bentuk-bentuknya yang memancing daya imaji.

Wahai, kemahaluasan bentang langit

Dalam ketakjuban, tiba-tiba aku tersadar: betapa kecilnya diriku ini. Betapa tak berartinya aku bila dibandingkan dengan bentang langit yang tak terkira. Di manakah semua kecengenganku yang merasa sebagai manusia paling malang sedunia tatkala kerikil-kerikil kehidupan menghalangi jalanku? Di manakah semua rasa bangga dan sombong yang membuncah ruah ketika aku sedang menikmati manisnya pencapaian? Semuanya sirna, tak sekuku pun berarti di atas sini.

Dalam kemahaluasan bentang langit, aku hanyalah sebutir debu.

180707

Pahlawan

Apakah yang terbayang pertama kali ketika kita mendengar kata Pahlawan?

Tentu, seperti arti katanya, pertama-tama kita akan memahami pahlawan sebagai orang yang berjasa, orang yang telah meneguhkan suatu perbuatan berjasa bagi orang lain. Dalam pengertian lama, para pahlawan lebih diartikan sebagai mereka yang berjuang di bidang militer, para ksatria pembela tanah air yang memerdekakan bangsa kita dari jajahan negara lain. Pengertian seperti itu jugalah yang dulu, pada waktu saya masih kecil, hinggap di benak saya,

Sebagai anak kecil, saya membayangkan pahlawan adalah para pejuang yang gugur di medan pertempuran. Tanpa peperangan maka tidak ada pahlawan. Karena itu, saya mengkhayalkan andai negara ini mengalami peperangan dengan negara lain, saya ingin ikut maju berperang dengan mempertaruhkan nyawa saya. Dan karena saya ingin menjadi pahlawan yang dikenang oleh semua orang, saya berpikir untuk membuat sebuah baju seragam dengan nama saya tertulis di bagian dadanya. Saya tidak ingin gugur di medan perang tanpa diketahui siapa diri saya. Saya tidak ingin menjadi seorang pahlawan tak dikenal. Rugi, dong, sudah susah-susah berjuang dan gugur pula! Begitulah naif dan pamrihnya impian seorang anak kecil. J

Seiring bertambahnya usia dan wawasan, mata saya mulai terbuka perlahan-lahan pada pengertian yang lebih luas. Gelar atau sebutan pahlawan, ternyata, tidak hanya layak dan pantas untuk para pejuang di bidang militer. Setiap orang yang berjuang dengan tulus ikhlas penuh dedikasi di bidang kehidupannya masing-masing juga layak disebut pahlawan. Pahlawan lapangan hijau untuk para atlit yang mengharumkan nama bangsa, pahlawan tanpa tanda jasa (dulunya) untuk para guru dan pendidik, pahlawan devisa untuk para TKI, pahlawan lingkungan bagi para pelestari alam, dan banyak sebutan lainnya.

Pahlawan tidak harus orang-orang hebat dengan kemampuan luar biasa seperti Superhero. Pahlawan seringkali justru hanyalah orang-orang biasa yang kebetulan berada pada suatu situasi tertentu dan dia, karena kepeduliannya, merasa terpanggil untuk menyingsingkan lengan baju mengulurkan tangan merengkuh mereka yang harus direngkuh, memeluk yang perlu dipeluk dan membawakan cahaya kepada yang sedang tersesat dalam kegelapan. Pahlawan adalah dia yang peduli untuk menjadi obat bagi yang sakit, makanan bagi yang lapar, suaka bagi yang dalam ketakutan, embun bagi yang murka, dan bahtera bagi yang ingin menyeberang*.

Orang-orang seperti Haji Bambang di Kuta yang mengkoordinasikan penyelamatan para korban Bom Bali 2002, atau Mas Endang yang menyelamatkan 2 orang gadis Jepang dari bahaya kematian akibat tenggelam, juga Dr. Ni Luh Kartini yang memperjuangan nasib petani dan pertanian organik, adalah orang-orang biasa tetapi dengan hati yang dipenuhi kepedulian terhadap sesama dan lingkungannya. Masih ada sederetan panjang pahlawan-pahlawan yang “orang biasa”. Kita bisa membaca kisah-kisah mereka yang—salah satunya—biasa ditampilkan di halaman belakang dari koran utama Kompas.

Jelaslah bagi saya kini, siapa pun yang memiliki kepedulian dan mewujudkannya menjadi tindakan nyata, mereka itu pantas disebut pahlawan. Selama masih ada orang-orang yang peduli, yang masih memiliki  keberanian untuk mewujudkannya menjadi nyata, kita tidak akan kekurangan pahlawan.

Sesungguh, kehidupan kita ini disusun dari sebatu-demi-sebatu bata pengorbanan dari pahlawan-pahlawan yang tak terlihat, yang tak terbilang.

250809
* Dari lirik lagu Bodhicitta

Minggu, 16 Oktober 2011

Kata Kunci


Dari kisah kehidupan Buddha, kita tahu Beliau punya satu kebiasaan yang luar biasa: pada setiap subuh hari, setelah bangun dari tidur yang sangat singkat, Buddha bermeditasi untuk memindai seisi dunia. Bagaikan radar dahsyat, Beliau mengindra untuk mencaritahu adakah makhluk-makhluk yang hanya memiliki sedikit debu di matanya, yang berpotensi untuk mencapai pencerahan dalam hidup ini?

Tak sedikit kisah dalam kitab suci bercerita tentang makhluk-makhluk ini, tentang bagaimana lalu Buddha bertemu dengan mereka dan memberitahukan tentang sedikit debu di mata mereka. Jalan ceritanya hampir selalu sama, dan akhirnya pun selalu bahagia. Hanya saja, terkadang Buddha menunggu kedatangan mereka, tetapi di lain waktu Beliau-lah yang mendatangi di mana pun para makhluk itu tinggal.

Apa yang kita lihat dari sudut pandang kita, bahwa ketika Buddha menunjukkan, melalui sebuah pembabaran Dhamma yang kadang ringkas kadang cukup panjang pada suatu tema tertentu, setiap dari para makhluk itu dengan begitu luar biasanya langsung tercerahkan? Kita takjub! Dan di relung terdalam hati, kita mungkin merasa “iri”: betapa  beruntungnya mereka!

Bagaimana bisa hanya dengan mendengarkan suatu pembabaran dari Buddha lantas, seperti bim salabim, tercerahkan? Mengapa kita yang saban minggu dan sudah beratus-ratus kali mendengarkan pembabaran Dhamma, atau membaca setumpuk tinggi buku-buku Dhamma, atau bahkan berlatih tekun bertahun-tahun dalam mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan, hingga detik ini, masih belum tercerahkan juga?

Selain karena keluarbiasaan Buddha dalam menyampaikan Dhamma, bahwa betapa Buddha mampu membuat setiap pembabaran-Nya di dengar oleh setiap audien-Nya sebagai semata-mata ditujukan hanya untuk setiap diri mereka sendiri, Buddha pun tahu apa tema yang paling tepat untuk disampaikan kepada para makhluk itu. Beliau tahu kata kuncinya, Beliau sangat tahu aspek Dhamma yang manakah yang telah para makhluk itu latih dan renungkan berulang-ulang kali dalam kehidupan-kehidupan lampau mereka yang tak terkira. Mereka telah menimbun satu potensi pencerahan yang luar biasa, siap meledak dengan hanya dipicu oleh satu kata kunci yang tepat, pada saat yang tepat, dan oleh makhluk hebat yang tepat.

Kini di sini, kita bisa bercermin dari kisah-kisah itu. Dhamma sangat luas dan mendalam. Kita tak harus mengambil dan memahami semua bagiannya sekaligus. Seperti perumpamaan tentang air laut: bila Dhamma adalah air laut, Dhamma akan memiliki rasa yang sama tak peduli di bagian mana dari laut itu kita cicipi airnya.

Maka, misalnya, kita bisa mengambil aspek perenungan tentang kematian sebagai latihan kita, tema yang akan kita bentuk menjadi kata kunci kita. Atau kita dapat melatih perenungan dalam sifat-sifat mulia Buddha, keagungan Dhamma, atau teladan dari para suciwan sebagai latihan kita yang kita lakukan berulang-ulang tanpa kenal lelah dan bosan. Dan pada saatnya nanti, jika kita masih belum tercerahkan juga, kita pasti akan ditemukan oleh seorang makhluk hebat yang mampu memindai potensi kita dan mengetahui kata kunci yang pas untuk membuka pintu hati kita, untuk membebaslepaskan punai pencerahan kita.

Merdeka!

180607

Jalan Menuju Pencerahan


Jalan panjang menuju pencerahan dimulai dari langkah-langkah awal yang sederhana dan remeh. Permudahlah kehidupan bagi setiap orang, dan jika tidak mampu membantu, setidak-tidaknya kita tidak menghambat kebahagiaan mereka. Jangan melakukan sesuatu yang kita tidak ingin orang lain perlakukan kepada kita. Terasa sederhana, tetapi tidak selalu berarti mudah dilaksanakan.

Raih kesempatan untuk berbuat baik setiap hari. Selain menjalankan aturan moralitas (sila), berdana adalah salah satu perbuatan baik yang paling umum dan akrab dengan kehidupan sehari-hari, dan adalah semangat utama dari setiap kebajikan. Pandanglah dana sebagai kesempatan untuk berlatih mengikis kemelekatan. Sebagian orang gagal memanfaatkan kesempatan baik ini karena berpikir bahwa hanya mereka yang kaya materilah yang mampu berdana atau punya kesempatan besar untuk berdana. Dana bukanlah semata-mata soal materi, dana punya banyak bentuk dan bahkan yang tertinggi dari semuanya tidak dalam bentuk materi. Setiap orang berhak dan punya kesempatan yang sama besarnya untuk berdana.

Cobalah untuk bertekun dalam meditasi. Sebab, bila dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh, meditasi dapat membantu membentuk karakter yang lebih baik dan bijaksana, mempertajam kesadaran kita, dan memperdalam pengertian kita akan ajaran-ajaran Buddha.

Dan berlatih meditasi itu seperti kita menanam pohon. Tugas kita adalah menanam dan memeliharanya, untuk memberikan kondisi-kondisi yang baik supaya pohon itu dapat terus tumbuh berkembang. Ini memerlukan kesabaran, ketekunan dan keberlanjutan. Seseorang yang tak sabar dan tak secara kontinyu berlatih meditasi ibaratnya—sebagaimana dikatakan oleh Ajahn Chah—seperti orang yang menanam bibit pohon di sini, lalu mencabutnya dan kemudian menanam di sana, untuk selanjutnya mencabut lagi dan menanam di tempat lain. Sang pohon tak berkesempatan tumbuh, malahan dia akan mati.

Setiap langkah pertama selalu berat, tetapi seiring dengan waktu yang berlalu, melalui proses pembiasaan kita akan membentuk pola-pola yang mulia dan bijak. Setelah terbiasa berdana kita akan melakukannya dengan begitu mudah dan spontan. Bila meditasi telah menjadi sebuah hobi, suatu kebutuhan, kita akan dengan senang hati menyambut kehadirannya setiap hari. Tatkala latihan kebajikan dan pengembangan kebjaksanaan telah menjadi pola-pola yang mantap menetap, berbahagialah! Karena itu berarti kita telah menyemaikan bibit-bibit pencerahan yang kelak berbuah, cepat atau lambat tapi pasti.

241006

Dua Sisi


Seorang pria datang ke toko saya untuk membeli senar gitar. Satu bungkus senar gitar paling murah berkualitas rendah harganya hanya Rp 1.500, dan pria ini cuma membeli satu bungkus saja, dan itu pun dengan memakai uang nominal yang tidak pas bandrol sehingga saya mesti sedikit bersusah payah mencari uang kecil pengembaliannya. Ditambah dengan suasana hati yang sedari pagi agak murung, tak terhindarkan munculnya celutukan dalam hati, “Sialan, belanja cuma segini, uangnya gak pas lagi!” Untungnya, perasaan negatif itu bisa segera saya sadari sehingga ketika akhirnya saya menemukan uang kecil pengembaliannya, saya bisa menyerahkan kepada pria itu dengan ramah dan santun, tidak lagi tersisa tanda-tanda kejengkelan yang sempat melintas.

Kejadian tersebut menyadarkan saya bahwa, kita sering lupa atau pura-pura lupa dalam keseharian hidup kita seharusnya tidak hanya memandang dari sisi kita sendiri. Bagi saya, uang sejumlah Rp 1.500 bisa jadi tidak cukup bernilai, tetapi bagaimana dengan pria itu? Besar kemungkinan baginya uang sejumlah itu cukup berharga sehingga dia hanya mampu membeli sebungkus senar gitar, bukan satu set seperti harapan saya (maklum: pedagang).

Bagi kebanyakan kita, pernahkah terpikir betapa uang sejumlah 300 rupiah sangat berarti bagi seorang petani garam, jumlah yang hanya cukup untuk membayar pengiriman 2 kali SMS, nominal yang bahkan tidak cukup untuk membayar ongkos parkir sepeda motor kita? Untuk seorang petani garam, Rp 300 adalah nilai dari 1 kg garam yang dihasilkannya setelah bekerja keras banting tulang di bawah sorotan terik sinar mentari, dan itu dalam arti yang sebenarnya!

Saat melihat iklan jasa mengatasi kebotakan atau masalah rambut lainnya, saya kadang merasa heran: kok urusan beginian saja perlu diseriusi, sih! Saya lupa, dari sisi saya yang  tak pernah mengalami apa itu rambut rontok, apa itu kebotakan, kerisauan sebagian orang akan rambutnya yang menipis atau botak tampak sebagai sesuatu yang sepele benar.

Ketika keponakan datang menyela kesibukan saya untuk meminta sesuatu atau lainnya, meskipun terkadang merasa jengkel, saya menuruti permintaannya (kadang-kadang sih tidak, hehe..). Bagi saya, itu sesuatu yang sungguh remeh karena seringnya mereka hanya minta dibikinkan gambar favoritnya (minta pesawat terbang, minta bebek, minta ikan hiu), atau mengajak bermain kartu (main cangkul, main empat satu, main kwartet), atau bahkan hanya minta didengarkan ceritanya (aku tadi di sekolah diganggu teman, aku punya mainan baru, aku baru dibeliin sandal baru, Shu-shu/sanfu—panggilan untuk saya—mau gak nginap dirumahku besok?). Tapi bagi mereka, itu sangat penting dan berharga.

Dalam keseharian hidup, untuk mampu lebih mengerti dan berempati, saya mesti sering-sering melihat kehidupan dari sisi yang lainnya, tidak melulu hanya memandang hidup melalui sisi saya. Dan semoga saya selalu ingat pelajaran itu.

020909

Senyummu


barangkali senyummu
bukan yang terindah punya
tetapi bila itu terbit
di wajahmu
sungguh mati!
mekar hatiku karenanya

240801

Futsal

Akhirnya, setelah sekian lama tidak pernah lagi, tepat ketika saudara-saudara kita yang Muslim sedang berlebaran kami—saya dan para keponakan berikut teman-temannya—bermain sepakbola.

Dulu, pada masa yang sudah cukup jadoel, saya sering bermain sepakbola bersama saudara-saudara dan sepupu di lapangan pinggir pantai dekat rumah. Tanpa alas kaki, di atas matahari menyorot tajam di bawah pasir-pasir menggigiti kaki-kaki telanjang kami. Maka, tak heran kami berkulit gosong dengan kaki-kaki yang tak jarang penuh luka goresan.

Tapi kini keadaan sungguh berbeda. Lapangan itu tinggal kenangan karena di atas tanahnya akan di bangun hotel. Nasibnya tidaklah unik, terutama di negara kita di mana setiap tanah kosong di perkotaan selalu menggoda “selera” membangun para pejabat+kapitalis untuk menggusurnya atas nama “pembangunan ekonomi”.

Sebagai akibat, anak-anak gaul masa kini jarang menemukan lapangan terbuka untuk bermain sepakbola. Lapangan dalam ruangan dengan permainan yang disebut futsal adalah pilihan praktis dan nyaman: tidak panas, tidak perlu gosong oleh sinar matahari, dan kaki pun tak perlu harus lecet namun tetap bisa bersenang-senang. Tapi tentu saja, tidak ada makan siang yang gratis, he-he-he…selalu ada harga untuk kenyamanan seperti itu.

Ngomong-ngomong, setelah mencoba lagi, bermain sepakbola ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Meskipun kini memakai sepatu, sekadar menendang bola saja seperti menendang sebongkah batu seberat 100 kg. Apalagi untuk bisa menendang dengan tepat ke arah yang ingin dituju. Tambah pula harus berlari kian kemari, sebentar saja napas sudah ngos-ngosan dan peluh bercucuran. Masih untung ada atap yang menepis total sinar matahari.

Barangkali usia yang semakin menua membuat bermain sepakbola tidak semudah seperti waktu kecil dulu? Ah, rasanya saya masih belum tua-tua amat, he-he-he. Atau mungkin terlalu terbiasa dengan aktivitas keseharian yang lebih banyak duduk di depan laptop atau membaca buku, jarang bergerak dan lebih sering menggunakan mouse atau kendaraan untuk berselancar (yang pertama untuk berselancar di dunia maya dan yang kedua di dunia nyata)? Nah, ini dia biang keladinya, he-he-he…

Tapi apa pun, pengalaman itu membuat saya malu hati sekaligus salut kepada para pemain sepakbola profesional. Karena selama ini, saat menonton pertandingan bola di televisi, sebagai penonton terkadang saya merasa kesal dan tertawa penuh “hinaan” tatkala seorang pemain gagal menendang bola atau terlihat begitu bodohnya seperti tak tahu di mana letak gawang musuhnya:

Wahai penonton yang sok pintar, bermain dan menendang bola tidaklah semudah yang terlihat dari pinggir lapangan atau sofa empuk ruang keluarga! Cobalah sendiri, Anda akan tahu bagaimana rasanya dan bagaimana susahnya!

Kadang dalam keseharian kita juga berperilaku seperti penonton bola. Kita melihat masalah-masalah yang dihadapi orang lain sebagai tampak mudah dan sederhana dan seharusnya tak perlu dipusingkan. Namun saat masalah yang sama itu menimpa diri kita, kita baru merasakan seperti apa rasanya.

Seseorang yang belum pernah jatuh tak akan dapat benar-benar memahami seperti apa sakitnya jatuh itu. Tapi di sisi lain, tentu saja, tidaklah perlu mengalami patah kaki sekadar untuk tahu bagaimana rasanya kaki yang patah, bukan? Karena kita tetap bisa berempati dengan melatih kepekaan hati kita: melihat dan mendengar melalui indra-indra kita, lalu meresapkannya ke dalam hati, mengolah di sana dengan menambahkan “bumbu-bumbu” ketulusan, kepedulian, dan kasih sayang sebagai sesama pejalan sangsara.

220910

Bebek


Tiap kali datang ke rumah, keponakan perempuan bungsu saya senang minta saya menggambarkan sesuatu untuknya. Dan sesuatu itu seringkali adalah bebek.

Awal-awal dia meminta “bebek ku..bebek ku…”, saya langsung menuruti permintaannya. Tapi setelah sekian lama, setiap kalinya selalu hanya bebek yang diminta. Saya bilang banyak binatang lain yang juga bisa digambar seperti babi, anjing, kuda, kucing dan seterusnya. Tapi jawaban si kecil selalu “bebek ku..bebek ku…” Apa boleh buat, sambil duduk di pangkuan saya, begitulah sang ratu telah memerintahkan. Dan setiap perintahnya adalah wajib hukumnya. Kalau tidak,…awas!

Meskipun sedikit dongkol, dan juga bosan karena selalu menggambar si bebek, saya menemukan satu hal menarik, yang sebenarnya bukanlah hal baru dan sudah saya ketahui sebelumnya tetapi baru saya sadari kebenarannya: saya jadi mahir menggambar bebek. Itulah konsekuensi dari seringnya menggambar bebek. Seperti kata pepatah dalam Bahasa Inggris, practice makes perfect. Latihan yang berulang-ulang membuat kita semakin mahir, semakin jago. Tanpa sadar, sang ratu cilik si “bebek-minded” itu telah “memaksa” saya untuk terus belajar menggambar bebek sehingga pada hari ini, jika ada yang meminta saya menggambar bebek, dengan bangga dan narsis mode:on saya persembahkan seekor bebek seperti ini: 

(gambar bebek)

Tentu saja, kebenaran tentang efek pengulangan ini tidak hanya dapat diterapkan dalam hal meraih tujuan untuk menjadi pakar menggambar bebek kelas dunia. Apa pun yang kerap dilakukan akan mengeras menjadi suatu kebiasaan. Apa pun yang telah menjadi kebiasaan akan mudah dilakukan, dan karena mudah, kita menjadi lebih mahir daripada sebelumnya.

Mari ambil meditasi sebagai contoh.

Pada awalnya, saat kita belum terbiasa bermeditasi, praktik yang berjasa ini terasa sangat berat. Untuk duduk 5 menit menghadapi si “monyet edan” dalam kepala saja terasa sudah sangat melelahkan. Tapi jika kita berusaha bersabar (ingat: kesabaran adalah cara latihan yang tertinggi-Buddha), terus maju pantang mundur, disiplin dan terus mengulang-ulang, lagi dan lagi melakukannya dengan teguh, maka pada hari-hari selanjutnya cepat atau lambat meditasi kita menjadi semakin mudah. Si “monyet” tidak lagi terlalu edan. Bahkan pada saat-saat tertentu si “monyet” dapat bersikap sangat jinak dan bersahabat, membuat kita mengalami satu pengalaman yang sangat menarik.

Tidak percaya? Buktikan saja sendiri!

200910

NB: Kadang, si ratu cilik bosan juga minta gambar di atas media kertas. Bila kebetulan dia melihat saya sedang memakai laptop, dia akan meminta saya meluncurkan aplikasi Paint lalu, karena medianya lebih canggih maka permintaannya pun lebih “wah”: bukan bebek sembarang bebek, tapi superbebek!