Tampilkan postingan dengan label bahagia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bahagia. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 10: Membantu Yang Lain Siap




Kematian adalah salah satu bagian kehidupan yang amat memberikan tekanan kepada kita. itulah mengapa amat penting untuk belajar menghadapinya sedari awal sehingga kita bisa menjalani pengalaman ini dengan tenang dan damai. Sama halnya dengan diri kita, orang lain pun perlu bisa menghadapi kematian dengan tenang. Dan bila kita bisa membantu yang lainnya untuk siap menghadapi kematian, itu akan menjadi suatu wujud kewelasan yang besar yang bisa kita lakukan. Itu karena faktanya dalam Buddhisme momen-momen menjelang kematian adalah momen-momen yang amat krusial dalam menentukan ke mana seseorang akan menuju setelah kematian. 

Bagaimanapun, menolong seseorang yang sedang sekarat untuk bisa bersikap tenang dan damai bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak hal harus kita pertimbangkan dengan saksama agar niat baik yang didasari welas asih dapat berhasil mengantarkan mereka menuju kematian yang indah.
Ketika seseorang sedang sekarat, mereka akan mengalami pelbagai macam kesulitan dan perubahan, dan hal ini secara alamiah menyebabkan munculnya kebingungan dan juga emosi-emosi yang menyakitkan. Mereka memiliki kebutuhan fisik—untuk diringankan rasa sakit dan ketidaknyamanannya, untuk dibantu dalam melakukan sebagian besar aktivitas-aktivitas rutin seperti minum, makan, dan mandi dan sebagainya. Mereka pun memiliki kebutuhan emosional—untuk diperlakukan dengan penuh hormat, cinta dan kelembutan hati; untuk bicara dan didengarkan; atau, pada waktu-waktu tertentu, untuk dibiarkan dalam kesendiriannya. Dan tentu saja, mereka punya kebutuhan spiritual—untuk memahami kehidupan, penderitaan, dan kematian yang akan mereka alami; untuk merasa bahwa mereka akan diperhatikan dan dibimbing oleh seseorang atau sesuatu yang jauh lebih bijaksana dan berdaya mampu ketimbang diri mereka.
Jadi, salah satu keterampilan paling penting dalam membantu orang yang sedang sekarat adalah untuk berusaha memahami kebutuhan mereka dan melakukan sebaik-baiknya mampu kita untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kita akan paling berhasil melakukan hal itu apabila kita mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan kita sendiri kapan pun kita mengunjungi mereka, dan membangkitkan batin kita agar semata-mata berada di sana hanya untuk mereka, siap sedia melakukan apa pun yang perlu dilakukan, apa pun yang akan membuat mereka merasa lebih nyaman, bahagia dan damai.
Untuk buku ini, kita akan memusatkan diri pada kebutuhan spiritual bagi orang yang sedang sekarat. Berikut ini beberapa halnya: 

1.      Mengelola emosi kita sendiri
      Ketika seseorang sedang sekarat, secara umum dia akan mengalami emosi-emosi negatif seperti rasa takut, penyesalan, kesedihan, kemelekatan terhadap orang-orang atau benda-benda dalam kehidupan, dan bahkan kadang kemarahan. Mereka bisa jadi mengalami kesulitan mengatasi emosi-emosi negatif ini. Kita bisa membantu mereka dengan duduk di sisinya, mendengarkan dengan penuh kewelasan apa pun yang mereka katakan dan menghibur mereka dengan kata-kata yang menenangkan.
Tapi untuk berhasil melakukan hal ini pertama-tama kita haruslah perlu tahu bagaimana berurusan dengan emosi kita sendiri. Menyaksikan seseorang yang sedang menjelang ajal sangat mungkin juga menimbulkan emosi-emosi negatif dalam diri kita sendiri. Dan bisa jadi beberapa dari emosi itu tidak biasa atau bahkan belum pernah kita alami sehingga membuat kita terkejut bahkan bingung. Jadi kita perlu tahu bagaimana berurusan dengan emosi-emosi dalam diri kita sendiri itu sebelum kita benar-benar bisa membantu orang yang sedang sekarat.
Salah satu metodenya adalah dengan meditasi kesadaran. Metode lain adalah dengan mengingat mengenai ketidaktetapan: fakta bahwa diri  kita, orang lain, tubuh dan batin kita, segala hal di dunia ini adalah tidak tetap, tidak kekal, selalu berubah, fana. Kesadaran dan penerimaan terhadap ketidaktetapan adalah salah satu antiracun paling ampuh bagi kemelekatan dan kelekatan, seperti juga penawar untuk rasa takut yang seringkali dirasakan sebagai penolakan terhadap perubahan. Melatih pernaungan pada Triratana (tiga permata mulia) Buddha, Dhamma, dan Sangha juga bisa memberikan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi dan berurusan dengan tubrukan emosi.
Jika orang yang sedang sekarat itu adalah salah satu anggota keliuarga atau sahabat kita, kesulitan kita bertambah. Secara alamiah kita akan jauh lebih melekat pada mereka ketimbang orang-orang yang tidak kita kenal. Meskipun sulit, kita harus belajar untuk melepaskan mereka, merelakan kepindahan mereka ke alam atau kehidupan lainnya. Jika tidak begitu, kita hanya akan menambah masalah yang sudah cukup banyak bagi mereka. Camkan bahwa senantiasa mengingat ketidaktetapan adalah obat paling mujarab bagi kemelekatan.

2.      Memberi Pengharapan dan Pemaafan
Saat sekarat, banyak orang mengalami rasa bersalah, penyesalan, depresi, dan keputusasaan. Kita bisa membantu mereka dengan membolehkan mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan menyimak penuturan itu dengan penuh kewelasan tanpa penghakiman. Dorong dan semangatilah mereka untuk mengingat hal-hal baik yang telah mereka lakukan dalam kehidupan mereka, dan untuk memandang secara positif kehidupan mereka, untuk memusatkan diri pada keberhasilan-keberhasilan atau kebajikan yang telah mereka kembangkan, bukannya kegagalan atau kesalahan yang telah mereka perbuat. Jika mereka berpikiran terbuka, katakanlah bahwa pada dasarnya kesejatian kita adalah baik dan murni dan bahwa kesalahan dan kekeliruan kita itu hanyalah sementara dan dapat dihapuskan seperti debu atau noda pada kaca jendela.
Beberapa orang bisa jadi melulu mengingat kesalahan-kesalahan mereka hingga mereka merasa tak termaafkan. Pandangan seperti ini amat keliru, karena dalam Buddhisme tak ada sesuatu pun yang tak termaafkan. Selalu ada kesempatan kedua untuk memperbaiki diri. Jika dalam kehidupan ini kita belum berkesempatan untuk itu, selama ada tekad dan kemauan yang tulus, Buddhisme percaya bahwa selalu ada kehidupan lain di mana kita bisa memperbaiki diri. Bahkan sesungguhnya kenyataan bahwa kita masih terus terlahir ulang membuktikan ada sesuatu yang harus kita selesaikan namun belum selesai: dari sudut pandang ini, kelahiran ulang adalah kesempatan untuk memperbaiki diri hingga pada titik tertentu kita sungguh menjadi makhluk paripurna seutuhnya, saat mana tak ada lagi perlunya terlahir kembali. Selain itu, kita bisa juga menekankan bahwa pemaafan selalu amat melegakan, baik itu dilakukan terhadap diri maupun orang lain. Jadi, amatlah tak berguna terus membebani diri dengan penyesalan atas kesalahan-kesalahan masa lalu, lebih-lebih saat di mana kita seharusnya meringankan langkah demi menjalankan satu perjalanan yang amat penting dalam kehidupan: perjalanan menuju alam lain.
Jika kesalahan yang dilakukan itu berkaitan dengan orang lain, dan jika orang itu masih hidup, kita bisa mendorong si sekarat untuk mengungkapkan penyesalan dan meminta maaf karena orang itu. Karena, sekali lagi, pemaafan selalu memberi kelegaan baik kepada yang meminta maupun kepada yang memberikan.

3.      Mencari Pernaungan Spiritual
Jika si sekarat adalah seorang Buddhis yang “serius” (Buddhis yang mempelajari Dharma dan mempraktikkannya sebagai jalan hidup), kita bisa mengingatkan mereka untuk mencari pernaungan pada Tiga Permata (Buddha, Dharma dan Sangha). Obyek-obyek yang mengingatkan kepada Tiga Permata itu bisa kita letakkan di sekitar mereka, seperti patung atau citra Buddha. Jika dimungkinkan, kita juga bisa mengajak mereka untuk menguncarkan paritta-paritta tertentu yang menjadi favorit mereka dan mendiskusikan Dharma atau bahkan bermeditasi bersama mereka.
Jika mereka bukan Buddhis “serius”, kita mungkin bisa menawarkan untuk mengenalkan Dharma kepada mereka. Jika tawaran ini bersambut, pertama-tama kita ajarkan hal-hal kaprah yang mudah diterima pemula seperti jangan berbuat jahat, perbanyak kebajikan dan sucikan batin sendiri. Lalu dari sana kita bisa fokuskan ke ajaran mengenai ketidaktetapan hingga berlanjut terus dengan mengajarkan teknik meditasi untuk membantu mereka mampu membiarkan berlalu. Namun jika tawaran ini tak bersambut, kita tak perlu memaksakan diri.

Minggu, 27 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 9: Persiapan Duniawi

Persiapan Duniawi

Selain secara spiritual, kita perlu juga mempersiapkan hal-hal yang bersifat duniawi untuk dapat menghadapi kematian dengan tenang dan bahagia. Persiapan duniawi ini lebih menyangkut hal-hal yang melibatkan keluarga kita atau orang-orang yang berada dalam lingkaran kehidupan keseharian kita.

Surat Wasiat

Surat wasiat adalah suatu pernyataan tertulis yang dibuat oleh seseorang yang berisikan petunjuk-petunjuk mengenai apakah yang diinginkan oleh seseorang apabila dia meninggal dunia. Petunjuk-petunjuk ini biasanya berkaitan dengan harta benda yang ditinggalkan, cara atau ritual kematian yang diinginkannya, dan pesan-pesan terakhir untuk keluarga atau lingkaran terdekatnya.

Menulis surat wasiat sangatlah bermanfaat mengingat bahwa ketika seseorang meninggal dunia ada potensi masalah yang mungkin ditinggalkannya untuk keluarga atau orang-orang terdekatnya. Seperti misalnya tentang siapa yang berhak mendapatkan harta waris yang mana dan bagaimana, atau apakah almarhum/almarhumah ingin diadakan ritual kematian sesuai tradisi setempat atau menuruti ajaran agama yang dianutnya, apakah dikubur atau dikremasi dan sebagainya.Dan andai ada surat wasiat yang dtinggalkan maka masalah kemungkinan tak akan timbul karena semua orang bisa mengetahui apakah yang menjadi keinginan atau pesan-pesan dari almarhum/almarhumah. Ditambah dengan kenyataan bahwa secara umum semua ajaran menekankan penganutnya untuk menghormati apa pun yang menjadi keinginan terakhir dari orang yang meninggal sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran itu dan hukum yang berlaku, maka perlunya membuat sebuah surat wasiat demi mencegah konflik menjadi bertambah lagi.

Surat wasiat dapat dibuat dalam 2 cara yakni dinotariskan atau di bawah tangan.
Surat wasiat yang dinotariskan (akta wasiat) akan didaftarkan pada Balai Harta Peninggalan dibawah Departemen Hukum dan HAM. Kekuatan hukum akta wasiat ini tidak dapat dibatalkan secara sepihak melainkan harus melalui putusan pengadilan. Singkatnya, wasiat yang melalui akta wasiat lebih menjamin secara hukum, baik bagi si yang mengeluarkan wasiat atau bagi mereka yang menerima wasiat.

Surat wasiat yang dibuat bawah tangan tentunya cukup ditanda tangani oleh si pembuat wasiat dan dilengkapi tanda tangan para saksi minimal 2 orang. Secara hukum, surat wasiat dibawah tangan ini tidak memberikan jaminan hukum karena dapat dibatalkan secara sepihak. Lagipula, cara itu sudah banyak ditinggalkan mengingat rawan terhadap konflik hukum yang timbul dikemudian hari.

Dalam surat wasiat, baik yang dibuat di notaris maupun di bawah tangan harus menunjuk seseorang atau lebih sebagai pelaksana dari wasiat tersebut. Kepada para pelaksana wasiat, pewaris dapat memberikan penguasaan atas semua barang dari harta peninggalan, atau bagian tertentu daripadanya. Penguasaan itu meliputi baik barang-barang tetap maupun barang-barang bergerak. Berdasarkan Pasal 1007 KUHPerdata, Penguasaan itu menurut hukum tidak akan berlangsung lebih lama daripada setahun, terhitung dari hari ketika para pelaksana dapat menguasai barang-barang itu.

Asuransi Jiwa

Asuransi adalah sebuah perjanjian hukum antara perusahaan asuransi dengan pihak yang menggunakan asuransi. Pihak pengguna asuransi ini adalah orang-orang yang memiliki risiko yang sama dan sepakat menunjuk sebuah perusahaan asuransi untuk menanggung risiko yang sewaktu-waktu bisa terjadi dalam kehidupan mereka. Perjanjian dengan perusahaan asuransi ini disebut Kontrak Asuransi, dan bentuk tercetaknya (bentuk fisiknya) yang berfungsi sebagai bukti perjanjian antara pihak Penanggung (perusahaan asuransi) dan pihak Tertanggung (pengguna asuransi) disebut Polis Asuransi. Melalui perjanjian ini pihak Tertanggung (Pengguna Asuransi) wajib membayar sejumlah dana secara berkala yang disebut Premi kepada pihak Penanggung (Perusahaan Asuransi) yang besarnya sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Kontrak Asuransi.  

Dalam keseharian, asuransi ada banyak macam sesuai dengan jenis pertanggungannya. Ada asuransi jiwa, kesehatan, pendidikan, kecelakaan kerja, kebakaran, kehilangan, dan juga asuransi mobil. Bahkan ada pula asuransi khusus yang hanya menanggung bagian-bagian tertentu dari tubuh seseorang yang dianggap sebagai aset berharga. Misalnya asuransi pita suara untuk para penyanyi, asuransi jemari tangan untuk para pelukis dan ahli bedah.

Selain jenis pertanggungannya, asuransi juga dibedakan dengan asuransi  murni dan asuransi plus investasi atau biasa disebut unit link. Asuransi murni semata-mata hanyalah asuransi, tidak ada nilai investasi atau imbal hasil yang diberikan selain manfaat berupa uang pertanggungan. Untuk unit link atau asuransi yang juga investasi, pemegang polis mendapat kesempatan menikmati hasil investasi yang dipilihnya. Jadi, dari uang premi berkala yang dibayarkan, beberapa bagian dari dana itu oleh perusahaan asuransi akan diinvestasikan ke pasar modal berupa saham, atau deposito atau lainnya tergantung kesepakatan.



Mengenai asuransi jiwa, memiliki asuransi jiwa dengan memegang minimal 1 buah polis jelas adalah sebuah tindakan mempersiapkan diri menghadapi kematian yang bijaksana.

Mengapa?

Bukan, bukan karena dengan memiliki asuransi jiwa kita terlindung dari kematian dalam arti Raja Kematian tidak akan bisa mencabut nyawa kita! Tapi dengan memiliki asuransi jiwa berarti kita telah menunjukkan suatu kepedulian atau rasa tanggung jawab terhadap keluarga atau orang-orang terdekat yang kita tinggalkan ketika kita harus “pindah alamat” ke alam lain. Dengan memiliki asuransi jiwa berarti pihak perusahaan asuransi wajib membayarkan uang pertanggungan sejumlah tertentu, sesuai kesepakatan yang tertera dalam Kontrak Asuransi antara kita dengan mereka, kepada para ahli waris yang telah kita tentukan. Dengan demikian, misalnya jika kita adalah tulang punggung keluarga, pencari nafkah satu-satunya atau yang utama, maka keluaga kita tetap dapat menjalankan kehidupan mereka tanpa harus cemas akan biaya-biaya hidup karena uang pertanggungan yang kita wariskan kepada mereka itu akan cukup untuk itu.

Kini, setelah mengetahui manfaat memiliki asuransi, karena Kontrak Asuransi adalah kontrak yang berdurasi panjang dan melibatkan dana yang kadang tidak sedikit jumlahnya, kita perlu cermat memilih perusahaan asuransi yang dapat dipercaya. Untuk membantu memilih perusahaan asuransi yang dapat dipercaya, berikut ini tip-tip dari Eko Endarto, seorang Perencana Keuangan, seperti yang dikutip dari Tabloid Kontan edisi April 2008, sebagai berikut:
1.      Reasuransi
Reasuransi secara gampang bisa diartikan sebagai perusahaan asuransi-nya perusahaan asuransi. Artinya perusahaan asuransi dalam kegiatan operasionalnya, untuk mengurangi risiko yang juga bisa terjadi padanya, mengasuransikan juga risiko tersebut kepada perusahaan asuransi lainnya. Dan biasanya perusahaannya lebih besar.
Jadi perhatikan hal ini, tanyakan apakah perusahaan asuransi yang akan Anda ambil memiliki perusahaan reasuransi. Ini penting bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap perusahaan asuransi pilihan Anda, ada perusahaan lain yaitu perusahaan reasuransi tadi yang menjamin kelangsungan baik itu hak Anda atas proteksi maupun kewajiban pembayaran premi Anda. Ini juga pentingnya Anda harus mengenal pihak manajemen perusahaan agar bila terjadi sesuatu, informasinya tetap bisa Anda dapatkan.
2.      Usia
“Makin tua usianya seharusnya akan makin matang seseorang”. Walaupun sepertinya terlalu klise, tapi harus diakui usia cukup berpengaruh.Sebuah perusahaan asuransi yang berusia lebih tua dari pada perusahaan lainnya bisa diartikan bahwa perusahaan asuransi tersebut memiliki modal yang cukup kuat sehingga sampai dengan usia yang cukup tinggi tetap eksis. Selain itu juga menggambarkan bagaimana cara manajemen mengelola dana nasabahnya. Dengan makin tua usianya, dapat diartikan bahwa si perusahaan mampu mengelola dana tersebut dengan optimal. Baik itu untuk mendapatkan hasil bagi pengembangan perusahaan maupun manajemen risiko yang terukur untuk menjamin hak-hak nasabahnya. Sebab secara logika saja, mana mungkin dia bisa bertahan lama bila tidak bisa mengatur keuangannya dengan baik.
3.      Keuangan
Kalau bicara tentang perusahaan keuangan, tidak lengkap kalau tidak berbicara tentang keuangannya. Dalam perbankan kita sudah sangat awam dengan pengukuran kesehatan bank yang namanya CAR. Dan di asuransi tingkat kesehatan keuangannya biasa diukur dengan RBC atau Risk Based Capital. Tingkat RBC yang bisa dibilang sehat adalah bila RBC-nya lebih besar dari 120%. Tapi tentu saja, makin besar pasti makin baik. Bandingkan hal ini dalam memilih perusahaan asuransi karena RBC ini mengambarkan bagaimana si perusahaan mengelola keuangannya sebaik dan seaman mungkin. Sebab harus diingat, bila kita mengambil asuransi berarti kita akan berbicara mengenai kontrak jangka panjang.
4.      Nasabah
Hal keempat yang bisa dijadikan acuan adalah nasabah. Barapa besar sih basis nasabah yang mereka miliki? Ukurannya adalah makin banyak nasabah maka makin baik-lah perusahaan asuransi itu. Kenapa demikian? Karena makin banyaknya nasabah akan memperlihatkan bagaimana tingkat pelayanan yang telah dilakukan si perusahaan. Hal ini dapat berarti bagaimana perhatiannya terhadap nasabah, kemudahan klaim dan tentu saja keamanan dana yang dipercayakan.
Kalau Anda akan memilih perusahaan asuransi asing yang beroperasi di Indonesia, tanyakan juga berapa banyak nasabah lokal yang dimiliki dan tersebar di berapa kota. Hal ini penting karena bisa saja terjadi walaupun diluar negeri mereka menjadi kepercayaan; namun di Indonesia mereka kurang. Dan tingkat penyebaran juga menunjukkan bagaimana luasnya tingkat pelayanan yang mereka berikan. Tingkat penyebaran ini penting khususnya untuk Anda yang memilih asuransi kesehatan. Sebab tidak lucu kan kalau dalam perjalanan ke suatu kota dan Anda sakit, ternyata harus kembali ke kota asal untuk sekedar rawat inap.
5.      Komplain/Keluhan
Sebagai tambahan,mungkin hal ini bisa Anda lakukan. Lakukan selalu cross check kepada pihak luar terhadap rencana pilihan Anda. Pihak yang utama harus Anda hubungi adalah nasabah kalau memungkinkan, pihak ketiga yang menjadi penghubung misalnya bank atau rumah sakit bila itu adalah asuransi kesehatan, dan tidak menutup kemungkinan ada bagusnya Anda bertanya pada para financial planner independent Anda. Sebab adalah lebih bagus menerima masukan dari banyak sisi dibandingkan dari satu sisi; apalagi bila satu sisi itu hanya dari sisi perusahaan.
Atau kalau mau mudah, cermati saja berapa banyak keluhan yang dilakukan nasabah mereka di media massa dalam 6 bulan terakhir. Sebab biasanya dari banyaknya orang yang mengeluh, sekitar 20% biasanya mengungkapkannya di media massa baik itu Koran atau internet. Hari ini saya mengetik keyword asuransi + keluhan, maka yang saya peroleh adalah lebih dari 5000 artikel yang berisikan kata asuransi + keluhan dari konsumen terhadap perusahaan asuransinya. Jadi jangan malas untuk membandingkan.

Akhirnya, sama seperti pemilihan barang ataupun jasa lainnya, Anda semua sebaiknya memiliki dasar yang kuat dalam melakukan pilihan. Yang utama memang adalah selalu pilih produk yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Namun itu saja tidak cukup. Pilih juga dengan benar perusahaan yang menyediakan barang atau jasa tersebut. Walaupun barangnya bagus tapi si penyedia tidak bagus juga percuma. Jadi mulai saat ini jangan lagi memilih perusahaan asuransi hanya karena kenal kepada si penjual apalagi karena merasa tidak enak karena tidak beli. Minimal bandingkan 5 hal di atas sebagai alasan dalam memilih atau menolaknya.

Lalu, setelah menentukan perusahaan asuransi yang sesuai, kita tidak bisa langsung membeli asuransi. Kita harus mencari agen asuransi, orang yang kepada siapa kita akan berurusan dalam hal pembelian asuransi dan hal-hal lainnya yang merupakan ikutannya. Jadi, di sini agen asuransi adalah perantara antara kita dengan perusahaan asuransi. Untuk memilih agen asuransi yang terpercaya dan dapat diandalkan, berikut tip-tip yang dikutip dari solusiasuransi.com, sebagai berikut:

1. Pilihlah agen yang berintegritas
Integritas seorang agen asuransi jauh lebih penting daripada semua hal lain. Banyak fitur dalam polis asuransi yang cukup kompleks dan tidak semuanya sama pentingnya. Beberapa agen merekomendasikan produk tertentu tanpa alasan lain kecuali ingin mendapatkan komisi yang lebih tinggi. Tidak sedikit pula agen asuransi yang “hit and run”, hanya bagus ketika menjual namun tidak begitu peduli dengan layanan purna jual.
Carilah orang yang akan bertindak sebagai mitra Anda, memberikan informasi tambahan, mengusulkan alternatif, dan tidak memaksa Anda untuk membeli produk. Jika Anda mendapatkan terlalu banyak tekanan untuk cepat membeli, beralihlah ke orang lain.

Salah satu cara terbaik untuk mendapatkan agen yang bagus adalah meminta referensi dari teman-teman, anggota keluarga, rekan kerja atau profesional lain yang pernah bekerja sama dengan Anda (konsultan pajak, bankir, notaris, dll). Bila agen asuransi yang mendatangi Anda, mintalah referensi para nasabah yang telah dilayaninya. Anda bisa mengecek rekam jejak sang agen dari nasabah-nasabahnya.

2. Pilihlah agen yang profesional
Anda perlu memastikan bahwa agen yang Anda pilih memiliki keahlian untuk memenuhi kebutuhan Anda:

* Periksalah lisensi agen
Agen asuransi jiwa harus memiliki lisensi dari AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) untuk dapat menjual produk asuransi. Agen yang menjual produk asuransi unit-link harus memiliki tambahan lisensi khusus. Untuk mendapatkan lisensi-lisensi ini, seorang agen harus lulus dalam sejumlah ujian kompetensi di bidangnya. Agen yang tidak berlisensi dapat menyampaikan informasi produk yang tidak akurat atau menyesatkan kepada nasabahnya.

* Ketahuilah spesialisasi agen
Beberapa agen asuransi mengkhususkan diri dalam asuransi jiwa tradisional, sedangkan yang lain mungkin lebih mendalami bidang asuransi jiwa unit-link, asuransi kumpulan atau asuransi kesehatan.

* Ketahuilah kualifikasi agen
Gelar profesional seperti Chartered Life Underwriter (CLU), Chartered Financial Consultant (ChFC), Certified Financial Planner (CFP) dan Life Underwriter Training Council Fellow (LUTCF) menunjukkan bahwa agen tersebut telah menyelesaikan pelatihan lanjutan, lulus ujian yang ketat dan serius dengan pengembangan profesinya. Seorang agen yang menjadi anggota Million Dollar Round Table (MDRT)berarti telah memasuki jajaran elit agen papan atas. Mereka pasti telah memiliki daftar nasabah yang panjang, pengalaman yang lama dan mengikuti kode etik profesi yang ketat.

3. Pilihlah dari beberapa agen
Bila perlu, temuilah secara langsung setidaknya dua agen asuransi agar dapat melakukan perbandingan dalam hal kualifikasi dan karakter  agen serta kesesuaian produk yang ditawarkan. Tidak ada yang dapat menggantikan kontak langsung dalam menilai seseorang. Agen yang baik akan tekun mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tentang situasi Anda dan membantu menyusun solusi asuransi yang tepat untuk kebutuhan spesifik Anda. Jika Anda tidak nyaman dengan agen Anda setelah bertatap muka, atau Anda tidak yakin dia menyediakan layanan yang Anda inginkan, carilah agen lain.

bersambung ke bagian 10....


Rabu, 23 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 8: Menemukan Makna Hidup


Sebagian dari kita menjalankan kehidupan dengan tanpa suatu gagasan yang jelas mengenai apakah tujuan dan makna keberadaan kita. Kurangnya kejelasan ini bisa menjadi sebuah masalah seiring kita bertambah tua dan dekat dengan ajal kehidupan yang ini. Karena pada saat-saat seperti itu, tatkala banyak dari kemampuan jasmani kita melemah, kita menjadi semakin bergantung kepada orang lain. Ketergantungan itu, jika tak disertai dengan suatu pengertian yang benar dan jelas mengenai apakah tujuan keberadaan kita, berpotensi menimbulkan banyak masalah seperti rasa frustrasi, depresi, dan rasa ketidakbergunaan.

Jadi, sementara umur masih muda dan jasmani masih segar, penting untuk mencaritahu dan merenungkan apakah tujuan kehidupan? Apakah maknanya menjalankan kehidupan ini? Mengapa saya ada di sini? Apakah hal yang penting dan apa yang tidak penting? Ke manakah seharusnya kehidupan ini saya fokuskan sehingga dapat memberikan kebahagiaan di sini (pada kehidupan ini) dan di sana (pada kehidupan mendatang)?   

Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut amat bergantung dari latar belakang keyakinan agama, pendidikan dan budaya apa kita dibesarkan.

Menurut agama tertentu, tujuan kehidupan adalah untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan yang telah ditetapkan oleh sang pencipta. Imbalan dari kepatuhan ini berupa kebahagiaan dalam kehidupan surga yang abadi.  Ajaran lain menekankan pada mengisi kehidupan untuk berkarya di jalan yang direstui oleh sang pencipta itu, untuk menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai manusia sehingga kehadirannya di dunia dapat bermanfaat bagi diri dan orang-orang lainnya.

Bagi seorang Buddhis, tujuan kehidupan amat jelas: untuk meraih kebebasan sejati, suatu kebahagiaan tanpa tapi. Tak seperti ajaran-ajaran lainnya, Buddhisme dengan terus terang menganggap hidup adalah suatu penderitaan karena dalam kehidupan tidak ada sesuatu pun yang memuaskan. Tentu tidak berarti Buddhisme menganggap tak ada kebahagiaan yang dapat kita peroleh dalam kehidupan ini, tetapi bahwa kebahagiaan itu pun sendiri tidaklah memuaskan karena tidak kekal dan bersyarat. Kebahagiaan duniawi apa pun yang kita rasakan pada akhirnya pasti akan memudar, menghambar, dan manakala rasanya sudah tidak manis lagi, kita memerlukan “suntikan” kebahagiaan yang lebih besar lagi “dosis”-nya agar kita tetap bisa merasakan efek kesenangannya.

Sebagai contoh, ketika kita belum pernah menikmati enaknya makan nasi goreng, nasi goreng menjadi suatu tujuan kebahagiaan kita. Lalu, ketika pada suatu hari kita berhasil  menikmatinya, kita merasakan kebahagiaan yang besar. Berikutnya, saat nasi goreng sudah menjadi menu sehari-hari kita, kesenangan yang awalnya mampu diberikannya tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa: rasa nikmatnya mulai menghambar karena efek dari adaptasi kesenangan, dan kita mulai menuntut menu lain yang lebih lezat.  Ini mirip seperti keadaan seorang pencandu: demi meraih efek dari zat-zat yang mencandui itu, setiap kalinya kita harus terus menambah dosisnya.

Jadi tujuan keberadaan seorang Buddhis di dunia ini bukanlah untuk meraih sebanyak mungkin kebahagiaan duniawi: kebahagiaan duniawi hanyalah bonus dan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang lebih halus, suatu jenis kebahagiaan yang tak bersyarat dan karenanya tak akan pernah memudar. Dan kehidupan seorang Buddhis sejati dipusatkan pada segala upaya untuk meraih kebahagiaan ini.

Untuk itu, bagi Buddhis, kesempatan terlahir sebagai seorang manusia amatlah sangat berharga sekali. Keberhargaan itu dinilai berdasarkan 2 kenyataan:

1) Bahwa untuk terlahir menjadi manusia itu amatlah sulit. Buddha mengumpamakannya seperti seekor kura-kura yang muncul ke permukaan laut yang berombak dan begitu saja memasukkan kepalanya ke sebuah gelang yang mengapung terombang-ambing: berapakah kemungkinannya si kura-kura berhasil, menurut Anda?

2) Bahwa karena di alam inilah tempat paling pas untuk melatih diri. Alam-alam surga memiliki terlalu banyak kesenangan yang sangat mungkin membuat para penghuninya terlena dan mabuk akan rasa bahagianya. Sedangkan alam neraka dan alam-alam bawah lainnya memiliki terlalu banyak penderitaan yang membuat kita selalu menderita sehingga kita merasa putus asa, tak ada kesempatan yang cukup untuk melatih diri dalam kebajikan dan kebijaksanaan. Sebagai manusia, kadar penderitaan dan kebahagiaan yang kita alami dapat dikatakan berimbang dibandingkan dengan kesenjangan yang ekstrem di alam-alam lainnya.    

Senin, 21 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 6: Persiapan Spiritual

Persiapan Spiritual

Persiapan spiritual bertujuan untuk mentransformasi diri kita secara spiritual agar siap menghadapi kematian. Bagi pemeluk agama, persiapan ini amat berkaitan erat dengan doktrin-doktrin agama yang kita anut. Dan setiap ajaran di dunia memiliki metode-metodenya sendiri untuk mempersiapkan para pengikutnya menghadapi kematian. Secara garis besar tiap metode itu tidak terlalu berbeda satu dengan lainnya karena selalu ada penekanan pada mengumpulkan suatu jasa kebajikan (yang diistilahnya dengan pelbagai macam nama yang berbeda), dan mengembangkan suatu sikap berserah atau melepas.

Perenungan Kerap

Ketika ditanyakan bagaimana cara kita bersiap diri rmenghadapi kematian, Morrie sang profesor dalam buku “Selasa Bersama Morrie”, berkata, “Bertindaklah seperti yang diperbuat oleh para Buddhis. Setiap hari, bayangkan bahwa di pundak kita ada seekor burung yang bertanya, ‘Sekarangkah hari ajalku? Siapkah aku? Sudahkah aku mengerjakan semua yang perlu kuperbuat? Apakah aku telah menjadi seperti yang kukehendaki?’”

Apa yang disarankan Morrie adalah suatu cara yang berguna untuk mengingatkan diri kita akan kematian. Karena sering kali dalam keseharian hidup, mata kita begitu butanya akan kebenaran tak terbantahkan bahwa kematian itu bisa datang sewaktu-waktunya, dan bahwa betapa kehidupan ini amatlah getas, sangat rentan.

Kita dapat temukan setiap hari televisi, koran dan dunia maya dipenuhi oleh berita-berita mengenai bencana, kecelakaan, perang, wabah penyakit, bunuh diri, dan segala macam hal menakutkan lainnya yang menyebabkan tiada hari tanpa berita kematian. Dan sebagian dari kita pun, seperti mereka yang bekerja di rumah sakit sebagai perawat atau dokter, akan sering menjumpai dan melihat peristiwa kematian. Tapi semua hal itu tidak menjamin mampu menggugah kesadaran kita seperti tergugahnya kesadaran Pangeran Siddhartha ketika melihat Empat Pemandangan. Maka, tak heran kita sering “lupa” bahwa kita tak bisa hidup selamanya.   

Selain cara yang disarankan Morrie, ada satu cara lagi cara untuk membuat kita selalu ingat akan kematian. Dalam sebuah buku kumpulan ceramah Ajahn Chah yang amat berkesan bagi saya, ada sebuah nasihat dari beliau yang amat beliau tekankan untuk dipraktikkan berulang kali. Nasihat itu berkaitan dengan perenungan kerap teerhadap kematian, yang dalam naskah Buddhis disebut Maranasati. Ajahn Chah amat menekankan hal ini, dan menganjurkan siapa pun yang membaca buku itu untuk sering-sering merenungkannya. Menurut Ajahn Chah, perenungan seperti ini akan membuat kita selalu waspada, eling akan hakikat ketidaktetapan kehidupan kita. Dan kewaspadaan ini pada gilirannya akan mencegah kita hidup secara sembrono yang kelak, ketika kematian tiba, hanya akan membawa sesal dan sengsara.

Jadi, apakah isi perenungan itu? Berikut saya tulis ulang sesuai dengan ingatan dan kata-kata saya sendiri yang mungkin agak berbeda dengan versi tertulis pada buku tersebut. Inilah perenungan yang kerap saya renungkan menjelang tidur:

Aku akan menderita usia tua;
Aku belum mengatasi usia tua.

Aku akan menderita penyakit;
Aku belum mengatasi penyakit.

Aku akan menderita kematian;
Aku belum mengatasi kematian.

Segala yang kumiliki, yang kucintai;
Akan berubah, terpisah dariku.

Aku adalah pemilik dari karmaku sendiri;
Lahir dari karmaku sendiri;
Berhubungan dengan karmaku sendiri;
Terlindungi oleh karmaku sendiri;
Apa pun karma yang kuperbuat;
Baik atau buruk;
Itulah yang akan aku warisi.

Anicca, dukkha, anatta.

Seperti yang dianjurkan Ajahn Chah, lakukanlah perenungan ini dengan kerap. Setidaknya dalam sehari 1 kali, akan lebih baik seperti nasihat kaprah para dokter: 3 kali sehari; pagi saat baru bangun, siang setelah selesai makan, dan malam menjelang tidur. Jika tak sanggup, sekali sehari menjelang tidur adalah waktu yang terbaik.

Mengapa?

Karena ketika menjelang tidur, pikiran kita biasanya berada dalam keadaan yang rileks dan tenang, sehingga apa pun yang kita renungkan pada saat itu akan lebih mungkin tercamkan dengan baik dalam batin kita. Dan ketika maknanya tercamkan dengan baik dalam batin, kita akan menjadi lebih mudah waspada, eling dalam menjalankan keseharian hidup kita. Kemelekatan menjadi kurang pekat, kesadaran akan ketidaktetapan bertambah tinggi, dan kemampuan untuk melakukan kebajikan menjadi lebih spontan. Dan terutamanya, ketika kita sudah amat terbiasa merenungkan kematian, sedikit demi sedikit kita sadari bahwa ada perubahan dalam cara kita memandang kematian. Dari yang semula memandang dengan ngeri dan takut menjadi pandangan yang tenang dan tabah. Kita mengerti sepenuhnya bahwa kematian tidak layak ditangisi, karena kematian adalah konsekuensi tak terelakkan dari kelahiran.

Hal-hal itu, kualitas-kualitas positif yang kita peroleh itu akan amat mempengaruhi keseharian hidup kita. Kita akan menjadi pribadi yang lebih mudah bahagia daripada sebelumnya, karena kemampuan untuk melepas atau membiarkan berlalu yang meningkat membuat kita kurang diberati oleh beban-beban tak perlu—rasa sesal, keinginan-keinginan tak sampai, dendam, rasa kecewa—yang amat sering adalah penyebab dari penderitaan kita. Bukankah  
seringkali hidup ini sesungguhnya sudah cukup memberikan kita masalah, tapi entah mengapa kita sering mencari-cari masalah lain dengan bermuram durja, terus melekati rasa sesal atau marah kita, dan seterusnya?

Melatih Diri Dalam Moralitas, Meditasi dan Kebijaksanaan

Jangan mencari kematian. Kematian akan menemukan kita. Tapi carilah jalan yang membuat kematian menjadi indah — Dag Hammarskjöld 
Do not seek death. Death will find you.
But seek the road which makes death a fulfillment Dag Hammarskjöld

Dalam Buddhisme, kita mengenal Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Disebut demikian karena jalan ini adalah satu jalan yang memiliki 8 faktor yang bila dijalankan akan membawa seseorang mencapai suatu keadaan yang mulia. Faktor-faktor itu adalah Pandangan Benar, Perniatan Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Pengupayaan Benar, Penyadaran Benar, Pemusatan Benar  yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: moralitas (Perkataan, Perbuatan dan Penghidupan benar), meditasi (Pengupayaan, Penyadaran dan Pemusatan benar) dan kebijaksanaan (Pandangan dan Perniatan Benar). Di sini, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak akan dibahas secara terperinci untuk setiap faktornya. Fokus diletakkan pada pembahasan mengenai 3 kelompok moralitas, meditasi dan kebijaksanaan yang dikaitkan dengan manfaatnya untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Tentang bagaimana sebaiknya kita mempraktikkan jalan ini, ada suatu pengertian kurang tepat pada sebagian Buddhis bahwa faktor-faktor dari jalan ini haruslah dilaksanakan secara berurutan. Jadi disebutkan kita harus mula-mula melatih moralitas dulu sampai sempurna, baru setelah itu bisa dilanjutkan dengan melatih meditasi, dan akhirnya kebijaksanaan. Jika carai ni sungguh diterapkan, latihan kita tidak akan pernah berhasil.

Mengapa?

Karena menunggu moralitas sempurna tak akan bisa bila hanya dengan melatih moralitas. Moralitas menjadi sempurna memerlukan dukungan meditasi, meditasi menjadi sempurna memerlukan dukungan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi sempurna memerlukan dukungan moralitas. Ketiga hal ini saling dukung mendukung, membentuk satu lingkaran yang, jika dilatih secara simultan, akan terus menggelinding mengantarkan kita makin dekat, makin dekat, dan makin dekat lagi ke pencerahan sejati.

Selain dengan cara simultan, ada pendapat yang agak berbeda tentang bagaimana seharusnya kita menjalankan Jalan Mulia Berfaktor Delapan.

Menurut Ajahn Chah seperti yang tercatat dalam buku “Being Dharma”, mempraktikkan Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah seperti ketika kita memungut sebatang kayu. Kita bisa saja memungut kayu itu dengan pertama-tama memegang ujung yang satu, atau ujung lainnya, atau bahkan langsung memegang bagian tengahnya. Cara mana pun yang kita tempuh, begitu kita memungut kayu itu, keseluruhan bagian kayu akan ikut terangkat pula.

Begitu pun dengan praktik Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Kita bisa mulai dari mempraktikkan moralitas, atau mengembangkan kebijaksanaan, atau langsung saja menekuni meditasi. Ketika, misalnya, kita memilih untuk menekuni meditasi, jika meditasi kita benar maka secara otomatis seiring perkembangan latihan kita akan mulai merasakan adanya suatu keperluan untuk juga mempraktikkan dan meneguhkan moralitas. Dan selanjutkan dari sana muncul pula suatu rasa kemendesakkan untuk mengembangkan kebijaksanaan. Dan begitulah seterusnya hingga akhirnya kita pun menyelesaikan jalan ini dengan berhasil.  

Moralitas

Ada sebuah kisah di majalah anak-anak Bobo edisi lama yang pernah saya baca. Cerita ini adalah tentang dua orang perempuan bertetangga.

Perempuan pertama memiliki sebuah rumah yang kumuh, dengan kehidupan rumah tangga dan perekonomian yang “menyedihkan”. Penampilan fisiknya sendiri juga tidak rapi dan bersih. Sedangkan perempuan kedua sebaliknya: rumahnya bersih, rapi, dirinya, suami dan anaknya bahagia berkecukupan meskipun tetap sederhana. Tiap hari perempuan pertama selalu merasa iri dan penasaran mengapa tetangganya itu bisa begitu bahagia kehidupanya. Dia berusaha mencari tahu apa rahasianya, dan dia sangat ingin tahu.

Suatu hari akhirnya dia menemukan juga seseorang yang bisa memberitahukan dia apa rahasia si tetangga. Orang itu adalah seorang anak perempuan penjaja makanan. Tapi sebelum anak ini bersedia memberitahukan rahasia si tetangga, si anak meminta perempuan ini membeli semua kue dagangannya. Tanpa pikir 2x24 jam dia setuju dan membeli semua kue dagangan si anak yang masih tersisa.

Tahukah Anda, apa sesungguhnya rahasia mengapa si tetangga bisa memiliki rumah yang bersih, rapi, dan kehidupan yang bahagia lahir batin?

Bukan, bukan karena si tetangga dapat warisan dari orangtua atau mertuanya, bukan pula dia punya tuyul yang dipakai untuk mencari uang secara tidak halal, hehehehe….Tapi ternyata, si tetangga itu punya banyak pembantu yang membantu dia bekerja setiap hari mengelola rumah tangganya sehingga dia bisa memiliki rumah yang rapi dan bersih, dan suami dan anaknya pun terurus dengan baik. Tapi si perempuan pertama heran, karena selama ini tak pernah sekali pun dia melihat batang hidung para pembantu yang disebutkan oleh si anak penjaja kue. Apakah para pembantu itu makhluk-makhluk halus? Tentu saja tidak! Kalau benar begitu, ini akan menjadi kisah horor yang tak layak terbit di sebuah majalah anak-anak, hehehe…

Jadi, siapa sih para pembantu yang hebat-hebat itu sampai seperti tak terlihat orangnya tapi hasil kerjanya amat menyolok?

Anda penasaran?

Saya juga, makanya ketika membaca kisah itu saya terus membaca sampai akhir. Dan jawabannya sungguh tak terduga, membuat saya manggut-manggut sekaligus merenung: para pembantu itu adalah semua anggota badan kita yang bisa kita gunakan untuk bekerja. Mereka adalah kedua tangan dan kaki kita, dan jari jemari kita. Mereka adalah badan kita yang sehat yang memungkinkan kita bekerja keras untuk memperoleh hidup layak.

Si perempuan pertama sebenarnya juga mempunyai para pembantu seperti tetangganya itu. Hanya saja, dia tak pernah menyadarinya dan memanfaatkan para pembantu itu. Dia lebih suka duduk-duduk saja, membiarkan rumahnya kotor dan berantakan, anak-anaknya tak terurus, dan suaminya jadi tak betah di rumah. Sebagai akibatnya kehidupannya pun tak bahagia, dan rejeki ogah mampir. Karena, bahkan manusia sendiri tak betah mampir di rumah yang kotor, apalagi dewa rejeki yang standar tuntutannya pasti lebih tinggi lagi, ya kan?

Kita Buddhis diajarkan tentang hukum karma dan kelahiran ulang. Apa yang kita peroleh dan alami dalam kehidupan ini sebagian adalah karena apa yang telah kita tanam dalam kehidupan lampau yang dekat maupun jauh. Seperti misalnya tubuh dan batin ini.

Dari perspektif hukum karma dan kelahiran ulang, tubuh dan batin “sempurna” yang kita miliki kini adalah harta kekayaan yang kita warisi dari benih-benih yang telah kita tanam di kehidupan lampau. Dengan kata lain, kita memiliki harta kekayaan dari masa lampau berupa tubuh dan batin yang “sempurna” dalam kehidupan ini karena pada masa lampau kita telah cukup banyak melakukan kebajikan dan mengembangkan kebijaksanaan.

Seperti halnya kekayaan materi, harta kekayaan berupa tubuh dan batin ini pun juga bisa disia-siakan, bahkan disalahgunakan. Sebagian orang sadar dan menggunakan harta kekayaan ini sebagai kendaraan untuk mencapai kehidupan yang lebih mulia. Mereka giat dan tekun dalam mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan melalui setiap pikiran, ucapan dan tindakan. Sebagian lagi terlena, mabuk, menyia-nyiakan harta kekayaan yang mereka warisi dari kehidupan lampau. Mereka menyiksa dan meracuni tubuh dan batin dengan mengkonsumsikan zat-zat adiktif. Mereka menyalahgunakan tubuh dan batin untuk melakukan perbuatan-perbuatan kriminal yang hanya merugikan diri mereka dan membawa kesengsaraan bagi makhluk lainnya.  

Dalam Buddhisme, kita mengenal adanya sila sebagai suatu standar moral. Pelaksanaan sila adalah salah satu jalan untuk mengembangkan kebajikan dan merupakan bagian penting dalam upaya kita meraih kemuliaan. Sila-lah yang menentukan apakah kita berhak menyebut diri kita manusia atau tidak. Dan sebagai umat awam, kita memiliki 5 sila dan 8 untuk saat-saat tertentu atau dalam kondisi sebagai umat awam yang terikat komitmen sebagai anagarika/anagarini. Untuk kalangan monastik ada 10 sila yang dijalankan oleh seorang calon bhikkhu/bhikkhuni (samanera/samaneri), dan 200an sampai 300an lebih sila untuk para bhikkhu dan bhikkhuni.

Pelaksanaan sila dapat dibagi menjadi 2 aspek: pasif dan aktif. Dalam kehidupan awam, sila yang dijalankan secara pasif adalah bila kita sekadar bertekad untuk tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan seksual yang salah, tidak berdusta, dan tidak mengonsumsikan zat-zat yang dapat melemahkan kesadaran. Pada aspek aktifnya, menjalankan sila berarti kita secara aktif melindungi suatu kehidupan (termasuk juga melestarikan lingkungan), bermurah hati, menghargai dan menjaga kehormatan diri dan yang lainnya, menjunjung dan menghargai kebenaran, menghargai kesejahteraan batin dan badan.                        

Kelompok moralitas dalam formulasi Jalan Mulia Berfaktor Delapan juga menyebutkan penghidupan dan perkataan benar. Mata pencaharian adalah salah satu bagian paling dominan dalam keseharian hidup kita, sesuatu yang selalu kita lakukan terus menerus dari hari ke hari hampir sepanjang hidup kita. Karena itu, mata pencaharian memiliki pengaruh dalam membentuk karakter diri kita dan kebiasaan-kebiasaan kita. Dan pada momen menjelang kematian, apa pun yang telah mengeras sebagai karakter atau kebiasaan akan mudah sekali muncul sebagai “tanda kematian” yang amat vital dalam menentukan ke mana kita pertama-tama akan menuju setelah meninggal dunia. Dengan begitu, memiliki mata pencaharian yang benar amatlah penting. Mata pencaharian yang benar adalah mata pencaharian apa pun yang tidak melanggar sila dan hukum negara, yang tidak merugikan makhluk lain dan diri sendiri. Contohnya seperti: tidak berdagang senjata, minuman keras, narkoba, binatang untuk disembelih, racun, tidak terlibat dalam prostitusi atau perjudian.     

Begitu pun dengan perkataan benar: kehidupan kita dipenuhi oleh perkataan-perkataan yang terucap, tak terucap, maupun yang berupa celutukan atau gema-gema dalam batin. Perilaku ucapan memiliki pengaruh menentukan apakah kita akan menjalankan sebuah kehidupan yang tenang dan harmonis atau sebaliknya. Perilaku ucapan yang terbiasa benar, santun, ramah, jujur dan tidak menyakitkan tidak menciptakan beban-beban penyesalan yang dapat memberati diri kita saat melangkah pergi dari kehidupan ini menuju kehidupan berikutnya. Sebagai akibatnya, kita dapat melangkah dengan ringan dan lega menuju kehidupan berikutnya.

Begitulah. Dengan melaksanakan moralitas sebaik-baiknya, berarti kita membiasakan diri dalam kebajikan sekaligus mengumpulkan bekal kekayaan kebajikan. Dan kedua hal ini amat membantu kita bersikap tenang dalam menghadapi kematian kita. 

Bersambung ke bagian 7

Senin, 14 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 2: Mengapa Kita Harus Mati?

Mengapa Kita Harus Mati?

Dalam keseharian hidup, kita akan menemukan orang-orang meninggal pada semua besaran umur. Beberapa orang meninggal persis setelah mereka dilahirkan, atau bahkan malah sebelum dilahirkan (akibat suatu tindakan aborsi atau karena keguguran alami). Beberapa yang lainnya masih sempat muncul ke dunia dan membuka matanya, namun lantas “layu sebelum berkembang”. Beberapa lainnya panjang umur sampai sukses menjadi orang-orang T.O.P (Tua, Ompong, Peot) sebelum akhirnya berangkat untuk “pindah alamat” ke alam lain. Mereka semua meninggal karena pelbagai macam sebab yang, secara umum, dapat diringkas menjadi tiga kelompok: penyakit, kecelakaan atau bencana, dan usia lanjut.

Ketika kita ditanyakan mengapa seseorang meninggal dunia, kita bisa menjawab ada banyak penyebab seseorang meninggal dunia. Pernyataan-pernyataan seperti, “Kakekku telah meninggal dunia setahun lalu karena serangan jantung”, atau “Sepupu saya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang”, atau “Orang tua itu meninggal dunia dengan tenang di tempat tidurnya karena usia yang sudah amat lanjut”  dapat diterima sebagai pernyataan-pernyataan yang terang jelasnya dalam pengertian kebenaran sehari-hari di dunia kita.  

Tapi bila kita bertanya mengapa manusia HARUS mati, maka jawabannya akan tergantung dari latar belakang keyakinan kita.

Ajaran tertentu yang meyakini adanya makhluk adikodrati sebagai sang pencipta dan penguasa semesta mengajarkan bahwa manusia harus mati karena sang pencipta menyadari dunia akan penuh sesak bila semua manusia tak mati-mati, dan bahwa dunia ini bukanlah rumah sejati manusia, melainkan hanyalah persinggahan sementara sehingga kematian itu akan menjadi suatu perjalanan pulang menuju rumah sejati di sisi pencipta itu. Ajaran lainnya menyatakan bahwa pada mulanya manusia pertama ciptaan makhluk adikodrati itu hidup abadi di surga. Tapi karena dosa yang dilakukannya, manusia itu kemudian diusir dari surga dan jatuh ke bumi menjadi makhluk yang fana, yang masa kehidupannya dibatasi oleh kematian.   

Bagi Buddhisme, jawaban untuk pertanyaan mengapa manusia HARUS mati amatlah sederhana namun sekaligus menohok langsung ke ulu hati kesadaran:

KITA MATI karena KITA LAHIR!

Kita tidak mati lantaran cinta atau akibat masalah kesehatan atau bahkan karena usia lanjut; kita mati sebab kita lahir sebagai manusia –Percival Arland Ussher

A man does not die of love or his liver or even of old age; he dies of being a man.  ~Percival Arland Ussher 



Menurut Buddhisme, kelahiran menyebabkan kita “memiliki” lima gugus ini yang secara ringkas disebut tubuh dan batin. Tubuh adalah perpaduan dari unsur-unsur seperti tanah, air, api dan angin yang membentuk pancaindra dan seluruh bagian lainnya. Batin terdiri dari kesadaran, persepsi atau pencerapan, bentukan-bentukan mental dan perasaan. Apa yang secara umum kita sepakati sebagai “manusia” atau “makhluk” adalah perpaduan semua hal ini. Dan karena apa pun yang merupakan perpaduan adalah tidak kekal, maka cepat atau lambat perpaduan ini pasti akan berpisah, dan itulah yang disebut kematian. Tanpa adanya perpaduan lima gugus ini (lahir), maka tak ada pula perpisahan lima gugus (mati). Tanpa kelahiran tak ada kematian. Dan keadaan tanpa kematian inilah yang dalam Buddhisme disebut Nibbana, tujuan tertinggi para Buddhis.

Lalu, jika kelahiran menyebabkan kematian, maka apa yang menyebabkan kita lahir?

Menurut keyakinan dari ajaran lain, kelahiran manusia disebabkan karena adanya satu sosok makhluk adikodrati yang mahapencipta. Makhluk inilah yang dipercaya menciptakan alam semesta berikut semua isinya, yakni: manusia, hewan, tumbuhan, batu, air, udara, tanah, pelangi (ingat lagu “Pelangi Pelangi”?), bahkan es krim juga! J

Di sisi lain, Buddhisme tidak mempercayai konsep ketuhanan seperti itu. Sebagai Buddhis, kita tidak diajarkan tentang adanya satu makhluk adikodrati yang memiliki segala sifat maha, bahwa makhluk inilah yang merupakan kausa prima atau sebab pertama dari segala yang ada sekarang ini. Kita Buddhis diajarkan terbentuknya alam semesta beserta keberadaan manusia adalah buah dari hukum sebab dan akibat serta hukum-hukum alam lainnya.

Tentang kelahiran manusia, jika Buddhisme ditanya, maka sebabnya adalah kekelirutahuan atau kegelapan batin. Tapi ini bukanlah sebab pertama. Buddhisme tidak mempercayai adanya sebab pertama karena dalam lingkaran sangsara ini amat mustahil mencari satu awal untuk lingkaran lahir-mati yang sinambung ini. Kekelirutahuan berada dalam satu rangkaian lingkaran musabab yang saling bergantungan: sebab yang ini menghasilkan akibat yang itu, dan akibat yang itu pada gilirannya menjadi sebab bagi akibat lainnya lagi. Rumusan terkenal untuk proses ini kaprah dikenal dengan:


Ketika ada ini, itu ada.
Dengan munculnya ini, itu muncul.
Ketika ini tidak ada, itu tidak ada.
Dengan berhentinya ini, itu berhenti.

Pengertian yang didasarkan pada keyakinan yang berbeda ini membawa konsekuensi berupa sikap yang berlainan pula dalam menghadapi kematian.

Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada suatu pengalaman kematian yang menyangkut keluarga atau orang-orang terkasihnya, sebagian orang dari keyakinan lain sering terjebak ke sikap mengutuki atau menyumpahi makhluk adikodrati itu. Mereka tak bisa memahami bagaimana suatu makhluk adikodrati yang diyakininya mahakuasa dan mahapengasih, begitu “tega” mencabut nyawa dari seorang bayi atau anak manis yang—menurut standar keyakinan mereka—tak berdosa, atau memisahkan seorang ibu amat pengasih dari anak-anak yang amat memerlukan curahan kasih sayangnya.

Tentu saja, di sebagian kalangan para Buddhis pun kita bisa menemukan kemarahan seperti itu. Karena dilandasi oleh kekelirutahuan dan pekatnya kemelekatan, sebagai orang awam kita mungkin saja tak bisa menahan diri. Kita begitu geram dan meradang atas kematian dari seorang anak yang amat kita sayangi, yang padanya kita curahkan segala kasih dan pengharapan. Tapi bedanya di Buddhisme, lantaran kita tak mempercayai adanya makhluk adikodrati seperti itu, kita tak memiliki “oknum sial” yang terpaksa harus rela menjadi kambing hitam untuk kita sumpahi atau kutuki sebagai pelampiasan rasa derita kita gara-gara kehilangan orang-orang yang kita kasihi.

Namun, justru hal itu membuat para Buddhis seperti kita lebih bisa bersikap tenang dan rasional dalam menghadapi kematian, lebih kurang emosional dibandingkan dengan para penganut keyakinan lain. Tiiadanya kepercayaan bahwa ada satu makhluk adikodrati mahakuasa + mahapengasih + mahatahu + mahapencipta yang mengatur kehidupan kita membuat kita Buddhis tidak terserang oleh kompleksitas rasa penasaran dan rasa tak habis mengerti yang menyangkut kontradiksi-kontradiksi yang terkandung dalam kepercayaan itu sendiri. Dengan begitu, derita yang kita rasakan akibat masih pekatnya kemelekatan kita terhadap orang-orang terkasih yang meninggalkan kita tak dilipatgandakan dengan beban-beban rasa penasaran itu.

Ditambah dengan kenyataan bahwa dalam Buddhisme kita diajarkan bahwa kematian itu adalah sesuatu yang amat alami, bagian dari lingkaran kehidupan yang tak terelakkan, maka sebagai Buddhis kita lebih bisa menerima kenyataan “pahit” tersebut, lebih bisa bersikap rasional dan tenang ketimbang mereka yang “terpaksa” diberati oleh rasa penasaran dan ketidakpuasan karena pandangan seperti itu.

Kita tidak akan sampai bertanya dan menuntut mengapa Tuhan yang mahapengasih dan penyayang (katanya) begitu tega mencabut nyawa anak kita, seorang anak yang kemarin masih sehat-sehat dan ceria tapi dalam semalam berubah menjadi sosok mayat? Mengapa kemalangan seperti ini menimpa kita yang rajin beribadah dan selalu berusaha untuk menjadi orang baik? Dan itu menciptakan suatu perbedaan besar antara kita dengan mereka. 

Bersambung ke bagian 3...Join blog ini untuk mendapatkan update


Kamis, 03 November 2011

Senyum, Dong! Dunia Belum Kiamat, lho

Salah satu kecenderungan kita yang cukup merugikan, terutama bila dikaitkan dengan kemampuan untuk keluar dari depresi dan meraih kebahagiaan hidup, adalah sikap kita yang cenderung mendramatisir setiap kemalangan atau penderitaan yang kita rasakan.

Dalam kesaharian, ketika kita mengalami suatu peristiwa buruk, kita merasa bahwa kitalah orang yang paling sial sedunia. Seakan-akan tidak ada persoalan lain yang lebih berat dan menyedihkan ketimbang persoalan yang kita hadapi.

Seorang anak ABG yang putus cinta merasa sangat sedih, nelangsa, dan demikian sedihnya dia hingga dia merasa dunia sudah kiamat dan kehidupannya tiada arti lagi tanpa pujaan hatinya. Dalam kasus yang ekstrem, dan hal ini tidak jarang sungguh-sungguh terjadi, kumpulan orang-orang patah hati ini sampai tega memutuskan kontrak hidupnya sendiri di dunia fana ini.

Ketika kesebelasan nasional Inggris kalah adu penalti dari Portugal di kejuaraan Piala Dunia 2006, salah satu koran di Inggris menulis judul besar-besar di halaman mukanya: The End of The World. Demikian juga, ada berita tentang seorang wanita jatuh pingsan ketika tahu tim Samba harus segera pulang kampung, atau seorang pria di Bangladesh yang mati mendadak karena kaget tim kesayangannya harus menyerah kalah.

Dalam rangka menerapkan seni hidup bahagia, dan supaya kita tak berlama-lama berkumbang dalam lumpur kesedihan yang sia-sia, kita perlu berpikir positif dalam memandang setiap peristiwa buruk yang kita alami. Alih-alih merasa dunia sudah kiamat dan kehidupan kita harus berakhir menyedihkan, kita bisa memilih untuk tetap menegakkan kepala dan menghiasi wajah kita dengan seulas senyum:


Mereka yang memilih berpikir positif kadang memang terkesan tidak realistik. Juga bukan berarti dengan berpikir positif masalah-masalah yang mereka hadapi secara sim salabim tuntas seketika. Persoalan-persoalan tetap saja memerlukan solusi-solusinya. Tetapi sementara mereka telah berusaha mencari solusinya dan belum berhasil, mereka akan menunggu dengan tenang dan tidak cemas. Bagi orang-orang seperti ini, masalah bukanlah masalah jika tidak ada solusinya. Dan mengapa harus mencemaskan sesuatu yang bukan masalah? Juga sebaliknya, mengapa harus mencemaskan  suatu masalah karena pasti ada solusinya (kalau tidak begitu, itu bukan masalah).  

Karena susah (hati) itu tiada gunanya.

030706

Selasa, 01 November 2011

Syukur Sejati


Bila kita berbicara tentang rasa syukur dan bagaimana cara mempraktikkannya, kita dapat mengenali adanya suatu pola umum yang sudah dianggap lazim. Pola itu adalah memunculkan rasa syukur melalui membandingkan keadaan diri kita dengan mereka yang lebih susah atau buruk keadaannya.

Sudah beberapa kali saya mendapatkan posting atau email presentasi yang bertemakan rasa syukur. Dalam posting atau presentasi seperti itu selalu termuat satu alur kisah yang sama: di satu sisi ditampilkan gambar dari kehidupan dunia modern dengan segala kenyamanannya, sementara sisi lainnya pada bidang yang sama atau yang berurutan, kita disuguhi gambaran-gambaran memprihatinkan dari kelaparan, kesengsaraan, dan segala macam hal buruk yang bagi orang-orang dunia modern nan beruntung bisa jadi akan terasa bagai gambaran neraka di bumi. Ditambah dengan kalimat narasi singkat pada bagian bawah setiap gambar, presentasi itu berharap bisa menggugah kesadaran syukur kita. Dan memang, rasanya, bagi sebagian besar orang tujuan itu bisa tercapai.

Meskipun begitu, saya pribadi merasakan ada sesuatu yang kurang benar di sini.

Tentu, saya setuju bahwa kita patut mengembangkan rasa syukur dan kecukupan hati atas apa pun yang kita miliki kini dalam kehidupan keseharian kita. Karena memang kenyataannya di dunia ada orang-orang yang keadaannya, dengan memakai standar tertentu, mungkin kita nilai lebih buruk daripada keadaan kita. Ada banyak penderitaan yang lebih besar daripada sekadar putus cinta, misalnya, atau daripada sekadar harapan yang tak kesampaian. Tapi di sisi lain, tidakkah perbandingan seperti itu menempatkan mereka—yang kita nilai atau anggap lebih buruk keadaannya itu—sebagai semacam “obyek penderitaan” demi memampukan kita membangkitkan rasa syukur atas kehidupan kita sendiri? Tidakkah bahwa cara seperti ini adalah pembangkitkan rasa syukur yang artifisial, buatan, palsu, yang bukan berasal dari kesadaran dan atas dasar pengetahuan sejati bahwa kehidupan, apa pun keadaannya dan bagaimanapun rupanya terlepas dari ada atau tidak orang-orang yang kita anggap sebagai “kurang beruntung”, adalah patut disyukuri karena keberhargaannya, karena kita masih bisa menjalankannya, karena kita masih sehat, dan karena kita masih mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri. 

Cukup! Berhenti di sini!

Jangan melanjutkan dengan membandingkan “..sementara orang lain tidak bisa lagi menjalaninya dan tidak memiliki kesehatan yang baik….” Jangan menggantungkan diri pada orang lain! Jangan jadikan orang lain sebagai “obyek penderitaan” demi memperoleh rasa syukur!

Percayalah pada diri sendiri bahwa diri kita dapat membangkitkan rasa syukur semata-mata dari merenungkan dan sungguh-sungguh menghargai apa yang telah kita miliki kini. Fokuslah merenung, dan rasakan saat rasa itu mulai mekar, membuncah, terasa hangat di dada, maka setelahnya kita bisa membagi rasa itu dengan memancarkannya kepada, pertama-tama, orang-orang yang terdekat dengan kita, berharap semoga mereka pun dapat bersyukur juga dan bahagia. Lalu dari sana kita meluaskannya ke seluruh penjuru dunia, kepada makhluk-makhluk yang tampak maupun tak nampak, yang ada di alam ini maupun alam lainnya….tanpa batas, tanpa diskriminasi, tanpa menganggap mereka sebagai “lebih kurang beruntung daripada kita”…tanpa suatu rasa kesedihan dan kasihan, serta keangkuhan halus yang menganggap diri lebih beruntung.

010111

Sehat itu Murah*

Tadi pagi saat saya coba menawarkan sari kurma kepada seorang pembeli yang datang ke toko, saya katakan kepadanya bahwa sari kurma bisa mencegah pengeroposan tulang (osteoporosis) pada orang dewasa. Si gadis cantik menjawab, “Saya masih muda.”

“Justru,” balas saya, “karena masih muda-lah kita harus mulai mencegahnya. Karena sehat itu sebenarnya murah, sakitlah yang mahal.” Si gadis hanya tersenyum. Meskipun tidak tertarik membeli dagangan saya, bagi saya senyumnya tetap terasa manis (he-he-he…).

Tampaknya kita mulai melupakan bahwa kita punya satu ujaran bijak warisan dari nenek moyang kita: lebih baik mencegah daripada mengobati.

Ada kesalahkaprahan yang menganggap sehat itu mahal. Makanya sadar atau tidak, kita maklumi bila produk-produk kesehatan seperti suplemen dan vitamin bila semakin mahal harganya berarti semakin bagus. Padahal, jika kita lihat lebih dekat, sesungguhnya untuk menjadi sehat tidaklah mahal. Kuncinya kembali kepada ujaran bijak itu: cegahlah, daripada mengobati. Dan pencegahan itu tidak harus menguras modal yang besar, tetapi hanya perlu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik.

Saat usia muda seperti sekarang inilah saat terbaik untuk menabung modal sehat demi masa tua yang lebih terjamin. Jika untuk urusan keuangan kita siap menabung dana pensiun, mengapa untuk urusan kesehatan yang lebih berarti daripada materi apa pun kita sering lupa menabung sedari dini? Jangan terlena oleh kemudaan itu dan lantas menyia-nyiakan atau bahkan merusaknya dengan perilaku yang tak sehat.

Mulailah dari hal-hal sederhana seperti mengunyah makanan dengan baik. Kunyahlah makanan minimal 30 kali setiap kali suap untuk jenis yang biasa, tapi untuk makanan keras paling tidak 50 kali.

Wah, cape deh!

Cape sedikit demi kesehatan kan tidak ada apa-apanya, setuju? Karena dari mengunyah makanan dengan baik, apa yang masuk ke usus kita akan menjadi mudah dicerna dan usus bekerja dengan lebih ringan. Jika kita peduli pada usus, membantu meringankan kerjanya, maka dia akan membalas kita dengan memberikan kita kesehatan yang baik. Tidak percaya? Asal tahu, dokter terkenal bernama Hiromi Shinya MD dalam buku sangat terkenal “Miracle Enzyme”, menulis bahwa usus dan lambung adalah garis pertahanan pertama tubuh dan fondasi bagi kesehatan kita!

Kurangi makan daging dan perbanyak sayuran, kacang-kacangan dan buah-buahan. Jika mampu, jadilah seorang vegetarian. Beberapa orang percaya daging membuat kita kuat dan bertubuh besar, jika hanya memakan sayuran dan buah kita akan lemah dan bertubuh kecil. Itu jelas salah, karena gajah si raksasa darat dan kuda si pelari tangguh adalah para herbivora. Dengan pengaturan menu yang baik dan bervariasi, sayuran dan jenis-jenis kacang-kacangan mampu menyediakan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh kita.

Ketika ginjal masih berfungsi baik, pelihara dan sayangi dia baik-baik dengan minumlah air putih dalam jumlah yang cukup. Jangan tergoda memperlakukan minuman ringan atau lainnya yang sejenis itu, yang sering berteriak-teriak sebagai penghilang haus nomer 1, sebagai pengganti air minum kita. Air putih yang baik dan sehat, bagaimanapun, masih yang terbaik!

Semasih jantung sehat dan semangat memompakan darah, pedulilah kepadanya. Berolahraga teratur (tidak perlu di fitness centre mahal, di halaman rumah pun jadi), tidak merokok (rokok sangat berbahaya dan adalah candu yang melanggar sila ke-5 Pancasila Buddhis), dan jauhi gaya hidup yang hanya menghasilkan stress berat.

Demikian juga dengan bagian tubuh kita yang lainnya. Kita wajib memelihara dan memperlakukan mereka dengan baik dan pantas. Karena kita tidak berhak memiliki tubuh ini, tetapi hanya sekadar hak guna untuk memanfaatkannya sebagai kendaraan menuju tujuan hidup kita. Jika kita sembrono memakainya, sangat mungkin “pemiliknya” yang sejati akan langsung mencabut hak guna kita!  

Mari Kita tabung modal sehat kita tatkala masih muda, supaya di senja hari kita petik hasilnya dengan menjalani masa tua dalam kesehatan dan kedamaian yang baik. Maka, meskipun kematian itu tak terelakkan bagi siapa pun yang pernah lahir, kita boleh berharap, ketika saat itu tiba, kita dapat pergi seperti seseorang yang berangkat tidur untuk selama-lamanya: begitu memejamkan mata, begitu pula napas berhenti.

Begitu tenang, tanpa sakit, tak menderita. Betapa kematian yang indah!

111109
 * Judul esai ini dipinjam dari judul sebuah buku karya Dr. Handrawan Nadesul

Rabu, 19 Oktober 2011

Cerita Meditasi


Pada sekitar 10 atau 20 tahun lalu, jika kita ingin mencari informasi mengenai meditasi, kita akan mengalami betapa sulitnya menemukan petunjuk tentang apa dan bagaimana bermeditasi. Sekarang? Wow…silakan googling dan nikmati luapan informasi tentang meditasi yang disediakan dalam pelbagai macam nama, bentuk dan rasa!

Saya mulai mengenal kata meditasi dari buku-buku Dhamma yang saya baca ketika saya masih duduk di bangku SMK (d/h STM) dulu. Karena masih asing, meditasi terasa begitu jauh dan tak terjangkau, dan ada prasangka buruk yang melingkupinya.

Sebagai contoh, ketika tahu saya tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang meditasi, salah seorang kerabat memperingati saya bahwa meditasi itu bisa membuat orang jadi gila. Untuk menegaskan keyakinannya, dia menunjukkan bukti salah seorang adik iparnya yang menjadi gila karena, menurutnya, bermeditasi.

Ternyata, anggapan salah seperti itu tidak hanya milik kerabat saya seorang.

Dalam bukunya, Don’t Worry Be Healthy (Karaniya), Dr.Phang Cheng Kar menceritakan tentang adanya anggapan keliru di kalangan Buddhis bahwa meditasi itu bisa membuat orang menjadi gila. Lebih jauh, beliau menjelaskan mengapa bisa terjadi anggapan seperti itu dan mengapa anggapan itu sangat keliru. Jelas saja keliru, karena ternyata kasus-kasus yang disangka kegilaan akibat meditasi sesungguhnya disebabkan oleh praktisi itu sendiri sudah mengalami gangguan jiwa sebelum dia berlatih meditasi. Jadi bukan meditasi yang menyebabkan kegilaan itu. Dalam kata-kata Ajahn Brahm: justru kalau kita tidak bermeditasilah kita bisa menjadi gila, he-he-he….

Ngomong-ngomong soal Ajahn Brahm, memang sudah menjadi ciri khasnya dalam setiap lontaran humor selalu terkandung suatu pesan moral yang tidak main-main. Tidak terkecuali yang tersebut di atas tadi. Sudah banyak bukti yang menyatakan bahwa orang-orang yang berlatih meditasi menjadi lebih bahagia, lebih waras, dan tentu saja, lebih sukses. Meditasi juga membuat kita menjadi lebih peka, lebih penuh pengertian dan lebih bisa berempati. Bila manfaat meditasi dideretkan di sini akan menjadi panjaaaaaaannngg! Tidak percaya? Cobalah sendiri, he-he-he…

Tetapi tentu saja, seperti halnya segala sesuatu di dunia, manfaat meditasi pun memerlukan proses. Untuk meraih dan menikmati manfaat-manfaat tersebut kita tidak bisa berharap secara sim salabim dengan satu kali sesi meditasi duduk 5 menit kita sudah bisa menjadi pribadi yang tercerahkan, bahagia, sehat, waras. Meditasi memerlukan latihan yang sinambung, tekun dan pantang menyerah. Sama seperti seseorang yang melatih otot-ototnya dengan secara rutin melakukan olah otot, meditasi pun juga begitu: semakin kita rajin berlatih dan terus berlatih, semakin hari “otot-otot” kesadaran kita akan semakin terbentuk. Dan semakin terbentuk “otot-otot” kesadaran kita, semakin kita merasakan manfaat-manfaat nyata dari meditasi.

Tidak percaya?

Ehipassiko, deh! Gitu aja kok repot*, he-he-he…


040310
* Gus, minta ijin pinjam ya…