Tampilkan postingan dengan label kebahagiaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kebahagiaan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 7: Meditasi


Meditasi

Dalam bahasa Indonesia, kata “semedi” kadang dipakai untuk menyebutkan meditasi. Kata “semedi” ini kemungkinan besar berasal dari kata bahasa Pali samadhi. Samadhi berarti kestabilan konsentrasi atau ketenangan. Samadhi bisa dicapai melalui menjalankan suatu latihan meditasi. Dalam hal meditasi Buddhis, secara umum orang mengenalnya dalam 2 kategori: meditasi samatha atau meditasi ketenangan, dan meditasi vipassana atau meditasi pandangan cerah. Tapi guru meditasi seperti Ajahn Chah berpendapat, samatha dan vipassana itu tak dapat dipisahkan ibarat dua sisi telapak tangan dari satu tangan yang sama, atau dua sisi dari sekeping koin. Jadi menurut Ajahn Chah, tidak ada meditasi samatha dan tidak ada meditasi vipassana, meditasi itu hanya satu saja.

Mengenai meditasi, saya ingat bahwa pada sekitar 10 atau 20 tahun lalu, jika kita ingin mencari informasi mengenai meditasi, kita akan mengalami betapa sulitnya menemukan petunjuk tentang apa dan bagaimana bermeditasi. Sekarang? Wow…silakan googling dan nikmati luapan informasi tentang meditasi yang disediakan dalam pelbagai macam nama, bentuk dan rasa!

Saya sendiri mulai mengenal kata meditasi dari buku-buku Dhamma yang saya baca ketika saya masih duduk di bangku SMK (d/h STM) dulu. Karena masih asing, meditasi terasa begitu jauh dan tak terjangkau, dan ada prasangka buruk yang melingkupinya.

Sebagai contoh, ketika tahu saya tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang meditasi, salah seorang kerabat memperingati saya bahwa meditasi itu bisa membuat orang jadi gila. Untuk menegaskan keyakinannya, dia menunjukkan bukti salah seorang adik iparnya yang menjadi gila karena, menurutnya, bermeditasi.

Ternyata, anggapan salah seperti itu tidak hanya milik kerabat saya seorang.

Dalam bukunya, Don’t Worry Be Healthy (Karaniya), Dr.Phang Cheng Kar menceritakan tentang adanya anggapan keliru di kalangan Buddhis bahwa meditasi itu bisa membuat orang menjadi gila. Lebih jauh, beliau menjelaskan mengapa bisa terjadi anggapan seperti itu dan mengapa anggapan itu sangat keliru. Jelas saja keliru, karena ternyata kasus-kasus yang disangka kegilaan akibat meditasi sesungguhnya disebabkan oleh praktisi itu sendiri sudah mengalami gangguan jiwa sebelum dia berlatih meditasi. Jadi bukan meditasi yang menyebabkan kegilaan itu. Dalam kata-kata Ajahn Brahm: justru kalau kita tidak bermeditasilah kita bisa menjadi gila, he-he-he….

Ngomong-ngomong soal Ajahn Brahm, memang sudah menjadi ciri khasnya dalam setiap lontaran humor selalu terkandung suatu pesan moral yang tidak main-main. Tidak terkecuali yang tersebut di atas tadi. Sudah banyak bukti yang menyatakan bahwa orang-orang yang berlatih meditasi menjadi lebih bahagia, lebih waras, lebih sukses, lebih peka, lebih penuh pengertian dan lebih bisa berempati. Meditasi juga membuat kita menjadi lebih bisa melepas atau membiarkan berlalu, dan kemampuan inilah yang amat penting artinya tatkala kita menghadapi kematian. Pada tradisi Buddhisme seperti Tibetan Buddhis bahkan ada metode meditasi yang mengajarkan praktisinya untuk mengakrabi tahapan-tahapan kematian, sehingga dengan begitu dapat diharapkan praktisinya akan bisa bersikap tenang dan damai saat kematian tiba. Mengapa? Karena secara alamiah kita akan merasa lebih takut pada sesuatu yang tak kita kenal.  

Tetapi tentu saja, seperti halnya segala sesuatu di dunia, manfaat meditasi pun memerlukan proses. Untuk meraih dan menikmati manfaat-manfaat tersebut kita tidak bisa berharap secara sim salabim dengan satu kali sesi meditasi duduk 5 menit kita sudah bisa menjadi pribadi yang tercerahkan, bahagia, sehat, waras. Meditasi memerlukan latihan yang sinambung, tekun dan pantang menyerah. Sama seperti seseorang yang melatih otot-ototnya dengan secara rutin melakukan olah otot, meditasi pun juga begitu: semakin kita rajin berlatih dan terus berlatih, semakin hari “otot-otot” kesadaran kita akan semakin terbentuk. Dan semakin terbentuk “otot-otot” kesadaran kita, semakin kita merasakan manfaat-manfaat nyata dari meditasi.

Dan berkaitan dengan persiapan diri menghadapi kematian, seperti telah disebutkan di atas, menjadi penting sekali memiliki salah satu manfaat dari latihan meditasi. Yaitu, meditasi membuat kita lebih bisa melepas.

Mengapa begitu penting untuk mampu melepas?

Karena ketika kita sedang sekarat, jika pada saat yang amat genting itu kita masih terus menggenggam dunia, kita tidak akan bisa meninggal dengan tenang. Akibatnya, seperti yang kita yakini dalam Buddhisme, ada kemungkinan
kita akan terjatuh ke alam-alam rendah meskipun kita sebenarnya punya banyak timbunan jasa kebajikan yang membuat kita pantas mendapat 1 unit apartemen di surga. Tatkala kita telah terbiasa untuk melepas, kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan kita. dan karena kita melepas, kita tak membawa beban-beban penyesalan atau kemelekatan bersama kita. itu membuat langkah kita menjadi ringan, memungkinkan kita terbang membubung tinggi menuju alam atau kehidupan yang lebih mulia, dan dari sana kita menjadi semakin dekat dengan kebebasan sejati.  


Jadi, latihan meditasi membuat kita lebih mampu melepas atau membiarkan berlalu, dan lebih mengenal tahapan-tahapan kematian sehingga kita tak lagi takut atau cemas menghadapinya ketika waktunya telah tiba, cepat atau lambat tapi pasti. 

Kebijaksanaan

Kebijaksanaan berarti mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana tampaknya. Kebijaksanaanlah yang mencegah kita tertipu oleh delusi, oleh suatu imaji yang tampak seolah-olah berharga padahal tidak, indah padahal tidak, dan membahagiakan padahal tidak.

Dalam keseharian hidup, kita bisa mengembangkan kebijaksanaan dengan tak pernah bosan untuk belajar dari buku-buku dan bahkan dari mereka yang secara akademis diragukan namun memiliki segudang kebijaksanaan yang lahir dari pergulatan hidup. Kita juga harus bergaul dengan mereka yang bijak, banyak berdiskusi tentang Dhamma dan hal-hal yang berguna untuk kemajuan spiritual, dan melatih diri dalam keheningan meditatif. Meskipun kebijaksanaan bisa dipelajari melalui buku-buku dan diskusi, kebijaksanaan sejati itu sendiri hanya dapat kita raih melalui pengalaman langsung kita. karena buku-buku dan diskusi hanyalah teori, kebijaksanaan yang berasal dari pengalaman orang lain. Dalam Buddhisme, kita diajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan tanpa tapi, kebebasan sejati, menjadi bajik saja tidaklah cukup. Kebajikan tanpa disertai dengan kebijaksanaan akan menjadikan kita orang baik hati yang bodoh. Demikian juga kebijaksanaan sendiri tak dapat membawa kita menyeberang ke pantai seberang. Karena kebijaksanaan tanpa kebajikan akan menjadikan kita orang bijak yang tidak berbelas kasih. Dengan demikian, kebajikan dan kebijaksanaan dapat diumpamakan sebagai sepasang sayap, dan kita terbang membubung ke pantai seberang dengan menggunakannya.    

Mengembangkan Cinta Kasih

Empat sifat luhur yang dalam bahasa Pali disebut Empat Brahma Vihara adalah empat kualitas luhur yang Buddha ingin kita latih dan kembangkan. Mengapa Buddha ingin kita begitu? Karena Beliau mahapengasih dan mahatahu. Beliau mengasihi kita, ingin kita murid-murid-Nya ini bebas dari derita, dan Beliau tahu jika kita melatih dan mengembangkan empat kualitas ini maka kita akan hidup bahagia di dunia ini maupun berikutnya.

Dari keempat kualitas luhur ini—cinta kasih (metta), welas asih (karuna), belasuka (mudita), dan ketenangseimbangan (upekkha)—yang paling dekat kaitannya berkenaan dengan mempersiapkan diri menghadapi kematian adalah cinta kasih. Karena salah satu manfaat dari mengembangkan cinta kasih menyebabkan pelakunya tidak mengalami kesulitan ketika ajal tiba.

Dalam naskah-naskah suci kita bisa temukan petunjuk yang telah diberikan untuk melatih dan mengembangkan empat kualitas luhur ini. Khususnya untuk mengembangkan cinta kasih, salah cara kita dapat melatihnya melalui mempraktikkan meditasi cinta kasih.

Meskipun pada intinya sama, dalam praktiknya ada banyak macam cara mempraktikkan meditasi cinta kasih. Petunjuk dari guru tertentu, misalnya, tak mengharuskan kita untuk pertama-tama memancarkan cinta kasih kepada diri kita dulu. Guru lain menyarankan sebaiknya diri kita dulu yang kita pancarkan cinta kasih sebelum ke orang-orang di sekitar kita dengan alasan bahwa kita tak mungkin bisa memancarkan cinta kasih kepada orang lain apabila diri kita

sendiri belum kita cinta kasihi terlebih dulu. Menurut petunjuk ini, kita melakukan suatu pemancaran cinta kasih yang pertama-tama ke diri sendiri, lalu ke orang-orang terdekat kita seperti kepada orangtua kita, kemudian kepada saudara dekat, teman dan kerabat jauh, dan terakhir kepada semua makhluk. Pemancaraan ini dipandu dengan suatu rumusan tertentu yang diucapkan berulang-ulang dalam hati. Jika dipancarkan pertama-tama pada diri sendiri, contohnya adalah seperti berikut:

Semoga saya bebas dari marabahaya
Semoga saya bebas dari penderitaan batin
Semoga saya bebas dari penderitaan jasmani
Semoga saya dapat menjalankan kehidupan dengan bahagia      

Dan untuk langkah selanjutnya ketika dipancarkan kepada orangtua, kata “saya” diganti dengan sebutan kita untuk mereka, dan selanjutnya. Jika memungkinkan, akan lebih baik disertai juga dengan visualisasi atau membayangkan wajah dari orang yang kepada siapa kita pancarkan cinta kasih kita. Dan seperti pada metodenya, rumusan itu pun bisa berbeda-beda, tidak harus baku seperti itu. Untuk keterangan lebih jauh tentang meditasi cinta kasih, buku yang bagus dan perlu dibaca adalah “Meredam Marah Menebar Metta” karya Ven. Visuddhacara dan “Superpower Mindfulness” karya Ajahn Brahm.     




bersambung ke bagian 8

Jumat, 18 November 2011

Mati Itu pasti Bagian 5: Mempersiapkan diri menghadapi kematian

Apakah penting mempersiapkan diri menghadapi kematian? Semua pemeluk agama yang benar akan menjawab dengan pasti: jelas amat penting! Karena dalam agama mana pun kematian selalu menjadi salah satu peristiwa dalam kehidupan yang amat penting, jadi mempersiapkan diri untuk menghadapinya juga amatlah penting. Lebih-lebih dalam Buddhisme.

Menurut Buddhisme, momen-momen menjelang ajal berperan amat dominan dalam menentukan ke alam mana pertama-tama kita akan menuju. Meskipun sepanjang hayat kita adalah seorang yang selalu berusaha mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan, tapi karena suatu kejahatan yang pernah kita lakukan dan amat mendalam membekas dalam batin kita menyebabkan pada menjelang ajal kita mengalami suatu batin yang gelisah, yang negatif, maka bila kita meninggal dunia dengan batin yang seperti itu kita akan pertama-tama menuju alam yang sesuai dengan keadaan batin itu: alam rendah, alam sengsara. Baru setelah masa hidup di alam rendah itu habis akibat habisnya kekuatan buah karma yang menyebabkannya kita bisa terlahir di alam yang lebih baik sesuai dengan timbunan jasa-jasa baik yang telah kita kumpulkan.

Pentingnya memiliki batin yang tenang dan damai saat menjelang mati dapat ditunjukkan oleh beberapa kisah yang terjadi di masa kehidupan Buddha. Misalnya kisah yang menyangkut Ratu Mallika, permaisuri dari Raja Pasenadi Kosala. 

 
Ratu Mallika adalah salah satu pengikut Buddha yang amat berbakti. Sepanjang hidupnya dia banyak melakukan perbuatan berjasa. Tapi ada satu kejahatan
yang pernah dilakukannya dan yang amat membekas dalam bentuk penyesalan di dalam dirinya hingga terbawa ke momen menjelang ajalnya. Dan karena dikuasai oleh batin tak sehat seperti itu, Ratu Mallika langsung terlahir kembali di alam rendah, dan baru setelah lewat 1 minggu dia meninggal di alam itu dan pindah ke alam surga sesuai dengan timbunan jasa kebajikan yang telah dikumpulkannya.

Untuk kisah pada masa modern, kita bisa membaca pengalaman Bhante Rastrapal Mahathera dalam bukunya “Five Visions of A Dying Man”. Buku itu bercerita tentang pengalaman beliau menangani seorang umat awam pria yang ketika menjelang ajalnya melihat 5 penampakan, dan setiap penampakan itu adalah perlambang dari ke alam mana si umat akan terlahirkan kembali apabila pada saat itu—ketika penampakan itu terlihat—dia meninggal dunia. Penampakan itu berasal dari keadaan batin dari orang yang sedang sekarat itu. Ketika keadaan batinnya tenang dan damai, dia melihat penampakan berupa dewa-dewi surgawi, atau pohon Bodhi dan kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Saat keadaan batinnya berubah gelisah atau penuh kemelekatan, dia pun melihat penampakan burung gagak yang menakutkan.

Selain itu, amat penting mempersiapkan diri menghadapi kematian karena, sebagaimana dengan kehidupan, kematian pun sering diumpamakan sebagai suatu perjalanan. Hanya saja, kehidupan adalah perjalanan menuju kematian, dan kematian adalah perjalanan menuju kehidupan berikutnya. Sebuah perjalanan tentu memerlukan suatu persiapan agar berhasil sampai di tujuan yang direncanakan, bukan? Demikian pula dengan kematian. Agar kematian dapat kita hadapi dengan tenang dan berhasil sampai di kehidupan berikutnya yang lebih baik, kita harus mempersiapkan diri kita dengan sebaik-baiknya. Kita perlu membawa perbekalan yang memadai dan mempersiapkan batin kita untuk menerima kematian sebagaimana adanya.

Semua itu pada akhirnya hanya demi satu tujuan: mencapai kebahagiaan. Karena jika kita, misalnya, ditanyakan tujuan menjalankan kehidupan, semua dari kita akan sepakat bahwa kita menjalankan kehidupan demi meraih suatu kebahagiaan, dan demi tujuan itu mempersiapkan diri menghadapi kematian semestinya menjadi bagian dari menjalankan kehidupan. Memanglah definisi kebahagiaan dan macamnya ada beraneka ragam, tapi kita bisa menarik satu benang merah yang sama: kita semua menginginkan kehidupan yang damai, tenteram, dan harmonis.

Orang-orang bajik pasti mati, tapi kematian tidak bisa membunuh nama harum mereka – Pepatah
Good men must die, but death can not kill their names —Proverbs

Jadi, seseorang yang mengisi kehidupan dengan persiapan untuk menghadapi kematian berarti dia menjalankan kehidupan dengan semestinya. Dan kehidupan yang dijalankan dengan semestinya akan membuat kita memperoleh kebahagiaan di sini (ketika masih hidup), dan di sana (setelah kematian) sebab buah dari kebajikan yang telah dilakukan selama hidup akan menjadi bekal dalam perjalanan menuju kehidupan berikutnya, memungkinkan si pembuat memetik hasilnya dalam bentuk kelahiran ulang di salah satu alam yang membahagiakan. Seperti yang tertulis dalam sutta dari Dhammapada 18:


Di dunia ini ia bahagia.
Di dunia sana ia berbahagia.
Pelaku kebajikan berbahagia di kedua dunia itu.
Ia akan berbahagia ketika berpikir "Aku telah berbuat bajik",
dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia
.

Dalam hal ini, persiapan menghadapi kematian dapat kita bagi menjadi 2 jenis: 1) persiapan secara spiritual, dan 2) persiapan secara duniawi. Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan tidak hanya mempersiapkan diri kita sendiri, tetapi juga orang-orang terdekat kita supaya mereka pun siap menghadapi kematian bila sudah tiba waktunya, baik untuk kematian mereka sendiri maupun kematian kita dan keluarga lainnya.

Uraian berikut ini tidak dimaksudkan memberi paparan yang mendetail tentang setiap tahap persiapan yang disarankan. Untuk penjelasan lebih rinci yang disertai dengan tip-tip dalam melakukan kebajikan (dan juga mengembangkan kebijaksanaan), pembaca bisa membaca buku “Berbuat Baik itu Mudah” dari penulis yang sama dengan buku ini. Buku itu adalah salah satu seri dari penerbitan Dharma Putra Indonesia yang diwujudkan oleh Yayasan Ehipassiko (www.ehipassiko.net)

Selasa, 01 November 2011

Syukur Sejati


Bila kita berbicara tentang rasa syukur dan bagaimana cara mempraktikkannya, kita dapat mengenali adanya suatu pola umum yang sudah dianggap lazim. Pola itu adalah memunculkan rasa syukur melalui membandingkan keadaan diri kita dengan mereka yang lebih susah atau buruk keadaannya.

Sudah beberapa kali saya mendapatkan posting atau email presentasi yang bertemakan rasa syukur. Dalam posting atau presentasi seperti itu selalu termuat satu alur kisah yang sama: di satu sisi ditampilkan gambar dari kehidupan dunia modern dengan segala kenyamanannya, sementara sisi lainnya pada bidang yang sama atau yang berurutan, kita disuguhi gambaran-gambaran memprihatinkan dari kelaparan, kesengsaraan, dan segala macam hal buruk yang bagi orang-orang dunia modern nan beruntung bisa jadi akan terasa bagai gambaran neraka di bumi. Ditambah dengan kalimat narasi singkat pada bagian bawah setiap gambar, presentasi itu berharap bisa menggugah kesadaran syukur kita. Dan memang, rasanya, bagi sebagian besar orang tujuan itu bisa tercapai.

Meskipun begitu, saya pribadi merasakan ada sesuatu yang kurang benar di sini.

Tentu, saya setuju bahwa kita patut mengembangkan rasa syukur dan kecukupan hati atas apa pun yang kita miliki kini dalam kehidupan keseharian kita. Karena memang kenyataannya di dunia ada orang-orang yang keadaannya, dengan memakai standar tertentu, mungkin kita nilai lebih buruk daripada keadaan kita. Ada banyak penderitaan yang lebih besar daripada sekadar putus cinta, misalnya, atau daripada sekadar harapan yang tak kesampaian. Tapi di sisi lain, tidakkah perbandingan seperti itu menempatkan mereka—yang kita nilai atau anggap lebih buruk keadaannya itu—sebagai semacam “obyek penderitaan” demi memampukan kita membangkitkan rasa syukur atas kehidupan kita sendiri? Tidakkah bahwa cara seperti ini adalah pembangkitkan rasa syukur yang artifisial, buatan, palsu, yang bukan berasal dari kesadaran dan atas dasar pengetahuan sejati bahwa kehidupan, apa pun keadaannya dan bagaimanapun rupanya terlepas dari ada atau tidak orang-orang yang kita anggap sebagai “kurang beruntung”, adalah patut disyukuri karena keberhargaannya, karena kita masih bisa menjalankannya, karena kita masih sehat, dan karena kita masih mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri. 

Cukup! Berhenti di sini!

Jangan melanjutkan dengan membandingkan “..sementara orang lain tidak bisa lagi menjalaninya dan tidak memiliki kesehatan yang baik….” Jangan menggantungkan diri pada orang lain! Jangan jadikan orang lain sebagai “obyek penderitaan” demi memperoleh rasa syukur!

Percayalah pada diri sendiri bahwa diri kita dapat membangkitkan rasa syukur semata-mata dari merenungkan dan sungguh-sungguh menghargai apa yang telah kita miliki kini. Fokuslah merenung, dan rasakan saat rasa itu mulai mekar, membuncah, terasa hangat di dada, maka setelahnya kita bisa membagi rasa itu dengan memancarkannya kepada, pertama-tama, orang-orang yang terdekat dengan kita, berharap semoga mereka pun dapat bersyukur juga dan bahagia. Lalu dari sana kita meluaskannya ke seluruh penjuru dunia, kepada makhluk-makhluk yang tampak maupun tak nampak, yang ada di alam ini maupun alam lainnya….tanpa batas, tanpa diskriminasi, tanpa menganggap mereka sebagai “lebih kurang beruntung daripada kita”…tanpa suatu rasa kesedihan dan kasihan, serta keangkuhan halus yang menganggap diri lebih beruntung.

010111

Rabu, 19 Oktober 2011

Kadang, Cinta Ada di Kakimu*


Suatu ketika Lao Tze sang filsuf membolehkan seorang murid menemaninya berjalan-jalan di pegunungan. Ketika mereka sampai di suatu tempat yang amat indah pemandangannya, si murid berkata dengan penuh kekaguman, “Betapa indahnya!” Sejak saat itu, Lao Tze tak pernah lagi mengijinkan si murid menemaninya berjalan-jalan.

Brian adalah seorang kepala keluarga dari sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang istri, dua orang anak, dan Kevin si anjing. Brian mengasihi mereka semua, sebagaimana istri dan anak-anaknya mencintai Brian. Tapi Brian tak pernah mengatakan bahwa dia mencintai istrinya, anak-anaknya. Toh begitu, anak-anak dan istrinya tahu, tanpa perlu kata-kata, bahwa Brian mengasihi mereka.

Tentang Kevin si anjing, dia sangat memuja Brian sampai-sampai Kevin menganggap Brian sebagai Tuhan. Kevin selalu berusaha menjadi yang pertama menyambut Brian saat dia pulang bekerja. Tapi Brian seringnya tak menggubris, kecuali jika dia nyaris menginjak ekor Kevin.

Sampai pada suatu hari ketika Brian sedang dalam pemulihan dari sakitnya, tiba-tiba saja segalanya berubah. Kevin mendapatkan perhatian dari Brian seperti yang selama ini dia angan-angankan. Tanpa kata-kata, hanya tindakan sederhana namun bermakna mendalam melampaui kata-kata terindah sekalipun, Brian menunjukkan kasihnya kepada Kevin. Dan Kevin tahu itu: kata-kata tak diperlukan di sini.

Apakah Brian pernah membaca Lao Tze?

Mungkin saja.

Selain ilustrasinya yang keren dengan gaya karikartural, sangat menarik membaca cerita dalam buku ini, mengingat penulisnya berasal dari suatu kebudayaan yang secara umum menghargai ungkapan-ungkapan seperti “Aku cinta kamu” atau “Aku menyayangimu” sebagai cara menunjukkan rasa kasih kepada yang lainnya. Hal ini berbeda dalam kebudayaan Asia yang lebih mengutamakan isyarat tubuh dan tindakan untuk mengungkapkan perasaan ketimbang kata-kata.

Kata-kata memiliki keterbatasan, baik dalam makna apalagi bunyi. Kata-kata tak selamanya mampu menggambarkan sesuatu dengan seutuhnya, setepat-tepatnya. Dan dalam situasi-situasi tertentu, kata-kata justru akan merusak, mendangkalkan apa yang sedang kita alami, rasakan, dan saksikan. Seperti ketika kita larut dalam keheningan kontemplatif, jika mendadak muncul kata-kata dalam hati maupun luar hati yang berseru “Hening!, saat itu juga keheningan akan pergi tanpa pamit.

Kadang, cinta ada di kakimu. Dan seringkali, cinta tak harus diucapkan dengan kata-kata. Saat hati telah tertaut rapat dalam harmoni dan pengertian, dengan sendirinya cinta akan terasa begitu kuat dan mendalam, tak terkatakan, tak terlukiskan….

291010

* Diilhami oleh buku anak-anak berjudul “Kadang, Cinta Ada di Kakimu” (Sometimes Love Is Under Your Foot), karya Colin Thompsonm, Penerbit KidClassic Publication

Sehat itu Murah*


Tadi pagi saat saya coba menawarkan sari kurma kepada seorang pembeli yang datang ke toko, saya katakan kepadanya bahwa sari kurma bisa mencegah pengeroposan tulang (osteoporosis) pada orang dewasa. Si gadis cantik menjawab, “Saya masih muda.”

“Justru,” balas saya, “karena masih muda-lah kita harus mulai mencegahnya. Karena sehat itu sebenarnya murah, sakitlah yang mahal.” Si gadis hanya tersenyum. Meskipun tidak tertarik membeli dagangan saya, bagi saya senyumnya tetap terasa manis (he-he-he…).

Tampaknya kita mulai melupakan bahwa kita punya satu ujaran bijak warisan dari nenek moyang kita: lebih baik mencegah daripada mengobati.

Ada kesalahkaprahan yang menganggap sehat itu mahal. Makanya sadar atau tidak, kita maklumi bila produk-produk kesehatan seperti suplemen dan vitamin bila semakin mahal harganya berarti semakin bagus. Padahal, jika kita lihat lebih dekat, sesungguhnya untuk menjadi sehat tidaklah mahal. Kuncinya kembali kepada ujaran bijak itu: cegahlah, daripada mengobati. Dan pencegahan itu tidak harus menguras modal yang besar, tetapi hanya perlu mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang baik.

Saat usia muda seperti sekarang inilah saat terbaik untuk menabung modal sehat demi masa tua yang lebih terjamin. Jika untuk urusan keuangan kita siap menabung dana pensiun, mengapa untuk urusan kesehatan yang lebih berarti daripada materi apa pun kita sering lupa menabung sedari dini? Jangan terlena oleh kemudaan itu dan lantas menyia-nyiakan atau bahkan merusaknya dengan perilaku yang tak sehat.

Mulailah dari hal-hal sederhana seperti mengunyah makanan dengan baik. Kunyahlah makanan minimal 30 kali setiap kali suap untuk jenis yang biasa, tapi untuk makanan keras paling tidak 50 kali.

Wah, cape deh!

Cape sedikit demi kesehatan kan tidak ada apa-apanya, setuju? Karena dari mengunyah makanan dengan baik, apa yang masuk ke usus kita akan menjadi mudah dicerna dan usus bekerja dengan lebih ringan. Jika kita peduli pada usus, membantu meringankan kerjanya, maka dia akan membalas kita dengan memberikan kita kesehatan yang baik. Tidak percaya? Asal tahu, dokter terkenal bernama Hiromi Shinya MD dalam buku sangat terkenal “Miracle Enzyme”, menulis bahwa usus dan lambung adalah garis pertahanan pertama tubuh dan fondasi bagi kesehatan kita!

Kurangi makan daging dan perbanyak sayuran, kacang-kacangan dan buah-buahan. Jika mampu, jadilah seorang vegetarian. Beberapa orang percaya daging membuat kita kuat dan bertubuh besar, jika hanya memakan sayuran dan buah kita akan lemah dan bertubuh kecil. Itu jelas salah, karena gajah si raksasa darat dan kuda si pelari tangguh adalah para herbivora. Dengan pengaturan menu yang baik dan bervariasi, sayuran dan jenis-jenis kacang-kacangan mampu menyediakan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh kita.

Ketika ginjal masih berfungsi baik, pelihara dan sayangi dia baik-baik dengan minumlah air putih dalam jumlah yang cukup. Jangan tergoda memperlakukan minuman ringan atau lainnya yang sejenis itu, yang sering berteriak-teriak sebagai penghilang haus nomer 1, sebagai pengganti air minum kita. Air putih yang baik dan sehat, bagaimanapun, masih yang terbaik!

Semasih jantung sehat dan semangat memompakan darah, pedulilah kepadanya. Berolahraga teratur (tidak perlu di fitness centre mahal, di halaman rumah pun jadi), tidak merokok (rokok sangat berbahaya dan adalah candu yang melanggar sila ke-5 Pancasila Buddhis), dan jauhi gaya hidup yang hanya menghasilkan stress berat.

Demikian juga dengan bagian tubuh kita yang lainnya. Kita wajib memelihara dan memperlakukan mereka dengan baik dan pantas. Karena kita tidak berhak memiliki tubuh ini, tetapi hanya sekadar hak guna untuk memanfaatkannya sebagai kendaraan menuju tujuan hidup kita. Jika kita sembrono memakainya, sangat mungkin “pemiliknya” yang sejati akan langsung mencabut hak guna kita!  

Mari Kita tabung modal sehat kita tatkala masih muda, supaya di senja hari kita petik hasilnya dengan menjalani masa tua dalam kesehatan dan kedamaian yang baik. Maka, meskipun kematian itu tak terelakkan bagi siapa pun yang pernah lahir, kita boleh berharap, ketika saat itu tiba, kita dapat pergi seperti seseorang yang berangkat tidur untuk selama-lamanya: begitu memejamkan mata, begitu pula napas berhenti.

Begitu tenang, tanpa sakit, tak menderita. Betapa kematian yang indah!

111109
 * Judul esai ini dipinjam dari judul sebuah buku karya Dr. Handrawan Nadesul

Minggu, 16 Oktober 2011

Jalan Menuju Pencerahan


Jalan panjang menuju pencerahan dimulai dari langkah-langkah awal yang sederhana dan remeh. Permudahlah kehidupan bagi setiap orang, dan jika tidak mampu membantu, setidak-tidaknya kita tidak menghambat kebahagiaan mereka. Jangan melakukan sesuatu yang kita tidak ingin orang lain perlakukan kepada kita. Terasa sederhana, tetapi tidak selalu berarti mudah dilaksanakan.

Raih kesempatan untuk berbuat baik setiap hari. Selain menjalankan aturan moralitas (sila), berdana adalah salah satu perbuatan baik yang paling umum dan akrab dengan kehidupan sehari-hari, dan adalah semangat utama dari setiap kebajikan. Pandanglah dana sebagai kesempatan untuk berlatih mengikis kemelekatan. Sebagian orang gagal memanfaatkan kesempatan baik ini karena berpikir bahwa hanya mereka yang kaya materilah yang mampu berdana atau punya kesempatan besar untuk berdana. Dana bukanlah semata-mata soal materi, dana punya banyak bentuk dan bahkan yang tertinggi dari semuanya tidak dalam bentuk materi. Setiap orang berhak dan punya kesempatan yang sama besarnya untuk berdana.

Cobalah untuk bertekun dalam meditasi. Sebab, bila dilakukan dengan benar dan sungguh-sungguh, meditasi dapat membantu membentuk karakter yang lebih baik dan bijaksana, mempertajam kesadaran kita, dan memperdalam pengertian kita akan ajaran-ajaran Buddha.

Dan berlatih meditasi itu seperti kita menanam pohon. Tugas kita adalah menanam dan memeliharanya, untuk memberikan kondisi-kondisi yang baik supaya pohon itu dapat terus tumbuh berkembang. Ini memerlukan kesabaran, ketekunan dan keberlanjutan. Seseorang yang tak sabar dan tak secara kontinyu berlatih meditasi ibaratnya—sebagaimana dikatakan oleh Ajahn Chah—seperti orang yang menanam bibit pohon di sini, lalu mencabutnya dan kemudian menanam di sana, untuk selanjutnya mencabut lagi dan menanam di tempat lain. Sang pohon tak berkesempatan tumbuh, malahan dia akan mati.

Setiap langkah pertama selalu berat, tetapi seiring dengan waktu yang berlalu, melalui proses pembiasaan kita akan membentuk pola-pola yang mulia dan bijak. Setelah terbiasa berdana kita akan melakukannya dengan begitu mudah dan spontan. Bila meditasi telah menjadi sebuah hobi, suatu kebutuhan, kita akan dengan senang hati menyambut kehadirannya setiap hari. Tatkala latihan kebajikan dan pengembangan kebjaksanaan telah menjadi pola-pola yang mantap menetap, berbahagialah! Karena itu berarti kita telah menyemaikan bibit-bibit pencerahan yang kelak berbuah, cepat atau lambat tapi pasti.

241006