Senin, 14 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 1: Apakah Kematian Itu?


MATI ITU PASTI
Bagaimana Mempersiapkan Diri Menghadapi Kematian

Saya tahu seseorang yang suatu kali berkata, “Kematian tersenyum kepada kita semua; yang bisa kita lakukan hanyalah balas tersenyum kepadanya.” – Dari Film “Gladiator”

I knew a man who once said, "death smiles at us all; all a man can do is smile back."  ~From the movie Gladiator


Untuk semua
yang sudah dan pasti akan “pindah alamat”
ke alam
atau
kehidupan berikutnya.
Dan terutama,
untuk Almh. Mamaku,
semoga senantiasa berbahagia
di mana pun kini berada.


PROLOG

Syahdan pada masa kehidupan Buddha terdapatlah seorang perempuan muda bernama Kisa Gotami. Setelah beberapa lama menikah dia pun akhirnya hamil, dan pada waktunya lahirnya seorang bayi lelaki yang sehat. Tapi mendadak pada suatu hari, begitu anak itu mulai akan belajar berjalan, dia terserang penyakit yang menyebabkannya mati.

Kisa Gotami amat sedih. Dia menolak menerima kenyataan bahwa anak yang sangat dikasihinya itu telah mati. Dengan mendekap mayat bayinya, Kisa Gotami pergi berkeliling kota untuk mencari obat agar anaknya bisa “sembuh” kembali. Setiap orang di kota menganggap Kisa Gotami telah gila. Namun ada seseorang baik hati yang bersimpati padanya. Orang itu menyarankan Kisa Gotami pergi menghadap Buddha, karena hanya Buddha satu-satunya orang yang bisa memberikan obat bagi anaknya.

Tanpa membuang waktu, Kisa Gotami bergegas pergi menghadap Buddha. Sesampainya di hadapan Buddha, dengan bercucuran air mata Kisa Gotami memohon Buddha untuk menyembuhkan anaknya. Buddha mengetahui keadaan batin Kisa Gotami tak siap menerima penjelasan apa pun mengenai hakikat kehidupan dan kematian. Karena itu, Buddha menyanggupi permohonan dengan meminta Kisa Gotami mencari segenggam biji sawi dengan syarat biji-biji itu berasal dari rumah tangga yang belum pernah mengalami kematian anggota keluarganya.

Dengan harapan yang membubung tinggi Kisa Gotami pergi dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu untuk memperoleh sengenggam biji sawi yang diminta Buddha. Tapi setiap kalinya, meskipun orang-orang dengan senang hati bersedia memberikan segenggam biji sawi, Kisa Gotami tak dapat menerima pemberian itu sebab biji-biji itu selalu berasal dari rumah tangga yang pernah mengalami kematian satu atau lebih anggota keluarganya.

Pada akhirnya, seiring makin lanjutnya proses pencarian segenggam biji sawi itu, perlahan-lahan Kisa Gotami mulai menyadari bahwa kematian bukan hanya milik satu orang. Kematian adalah kenyataan tak terelakkan bagi semua yang hidup, bahwa kehidupan selalu berdampingan dengan kematian. Dan dengan pemahaman itu dia pun terbebas dari dukacita atas kematian anak satu-satunya.





Apakah Kematian Itu?

Pada sebagian besar kebudayaan di dunia, kematian dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk dibicarakan, sesuatu yang diratapi dengan tangisan dan kesedihan. Beberapa kebudayaan yang dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan tertentu juga menganggap bila suatu keluarga sedang mengalami kematian salah satu anggotanya, maka keluarga itu dianggap berada dalam status “tidak suci” atau “sial” dan harus dijauhkan dari segala upacara yang menyangkut agama sampai batas waktu tertentu atau ketika suatu ritual “pembersihan” telah dilaksanakan untuk mengembalikan keadaan kembali “normal”. Jadi, selain menakutkan, kematian pun dianggap sebagai sesuatu yang “sial” atau “kotor”.

Sikap dan cara pandang seperti ini membuat kematian menjadi sesuatu yang harus dijauhi sebisa-bisanya dari kehidupan, dibenci, sesuatu yang tidak menguntungkan. Orang-orang menyembunyikan pekuburan di pinggiran kota dengan harapan tidak akan sering melintasinya, dan jenazah dari almarhum/almarhumah dirias sedemikian rupa hingga bisa jadi kita mengira itu bukanlah orang mati, melainkan hanya sedang tertidur pulas. Dan pembicaraan tentang kematian sering dianggap sama tabunya dengan membicarakan tentang seks atau pornografi.

Sesungguhnya jika saja kita bersedia merenung, kematian tidaklah pantas dipandang sedemikian buruknya. Kematian pun mempunyai segi-segi positif yang dapat kita hargai bahkan syukuri. Misalnya, dengan adanya kematian kita menjadi memiliki suatu perasaan kemendesakkan untuk tidak menyia-nyiakan kehidupan ini: adanya kematian membuat kehidupan menjadi lebih bermakna. Kematian juga adalah sebuah penyeimbang hebat yang membuat kita semua setara di hadapannya. Tak peduli siapa pun kita dalam kehidupan ini, apa pun pencapaian kita, pada akhirnya kita semua sama saja tak terelakkan menghadapi kematian. Dan karena adanya kematianlah dimungkinkan terjadinya pergantian generasi, yang pada gilirannya membuat kehidupan terus berputar dan kemajuan pun dapat dicapai.
   
Tapi bagaimanapun, pertama-tama penting untuk mencari tahu apakah sebenarnya kematian itu yang secara awam dianggap menakutkan dan tabu, sesuatu yang tak menguntungkan siapa pun kecuali mungkin mereka yang bergerak di bidang jasa pelayanan kematian? Dengan kata lain, apakah definisi kematian?

Itu adalah suatu pertanyaan sederhana yang kedengarannya sangat mudah untuk dijawab. Jika seseorang tahu apa definisi “kehidupan” , secara otomatis ia dapat mendefinisikan kematian. Sebab, definisi kematian tidak lain adalah kebalikan dari definisi kehidupan itu sendiri. Tapi dalam kenyataannya, definisi kematian jauh lebih pelik daripada yang diprakirakan oleh kebanyakan orang.



Secara umum orang percaya bahwa seseorang disebut telah meninggal dunia ketika dia berhenti bernapas. Ungkapan lazim seperti “menghembuskan napas terakhir” untuk orang yang meninggal dunia secara tidak langsung menggambarkan betapa kita memandang napas sebagai sumber kehidupan. Keyakinan seperti ini dapat dipahami mengingat bahwa bila kita merunut ke belakang, kita akan temukan keyakinan seperti ini bermula dari suatu kepercayaan bahwa sang pencipta dunia dan seisinya, ketika menciptakan manusia, menghembuskan napas kehidupan ke apa yang sebelumnya adalah patung-patung tanah liat berbentuk manusia.

Tapi ternyata keberadaan napas sebagai penentu mati atau hidupnya seseorang, yang sekian lama diyakini oleh banyak orang, pada akhirnya tidak lagi mencukupi.

Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, manakala orang mulai bisa menciptakan alat pernapasan mekanis (respirator), saat itu pula napas sebagai penentu mati atau hidup mulai dipertanyakan. Karena terbukti napas berhenti bukanlah akhir segalanya, ada respirator yang bisa menggantikannya, dan sosok yang berabad-abad lalu pasti sudah dianggap telah mati kini tak lagi begitu saja bisa “diwisuda” menjadi almarhum/almarhumah.  

Karena itu, orang-orang mulai mencari rumusan kematian yang lebih bisa diterima. Dan untuk sementara ini, secara hukum dan medis kita menganggap seseorang telah meninggal dunia apabila dia mengalami apa yang disebut sebagai “kematian batang otak” yang dapat dideteksi oleh suatu alat yang bernama Electroencephalograph (EEG).

Masalahnya adalah, jika pernapasan dan detak jantung dipertahankan dengan memakai mesin atau obat-obatan, seseorang yang mengalami mati batang otak akan tampak hidup. Kulit orang itu mungkin terasa hangat, dadanya naik dan turun dalam gerakan pernapasan dan denyut jantung terlihat di monitor. Tetapi, jika tidak ada aktivitas otak yang terekam oleh electroencephalograph (EEG) orang tersebut mati otak dan oleh karenanya secara medis dan hukum dianggap telah meninggal dunia.

Lalu, akankah pada kasus seperti itu melepas mesin penunjang kehidupan seperti ventilator berarrti sama dengan menyebabkan kematian pada anggota keluarga kita atau dianggap tidak memberikan seluruh harapan yang mungkin kepada mereka?

Sekali seseorang mati batang otak, maka orang itu telah meninggal dunia. Otak tidak akan pernah dapat dipulihkan kembali. Karena si pasien telah meninggal dunia, kita tidak dapat membunuhnya dengan melepaskan mesin pernapasan. Mesin pernapasan hanyalah menjaga paru-paru tetap bergerak dan jantung berdenyut, yang memberi penampakan seolah-olah orang tersebut masih hidup.

Dalam kejadian seperti itu, kita tidak semestinya mengatakan bahwa kita akan mematikan sistem pendukung kehidupan, karena hal itu seharusnya dikatakan sebagai kita akan mematikan sistem pendukung kematian.

Jika uraian tersebut di atas adalah definisi kematian menurut medis dan hukum, lalu bagaimana definisi kematian menurut Buddhisme?

Buddhisme secara tegas menolak definisi kematian yang merujuk pada pernafasan. Apakah ini berarti Agama Buddha mengikuti definisi modern yang mengacu pada fungsi kerja otak? Jawabannya juga tidak. Definisi kematian dalam Ajaran Buddha tidak hanya sekadar ditentukan dari unsur-unsur jasmaniah –entah paru-paru, jantung ataupun otak. 

Ketakberfungsian ketiga organ tubuh itu hanya merupakan “gejala”, “akibat” atau “pertanda” yang tampak dari kematian, tapi bukan kematian itu sendiri. Faktor terpenting yang menentukan kematian ialah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup. Walaupun organ-organ tertentu masih dapat berfungsi sebagaimana layaknya –secara alamiah ataupun melalui bantuan peralatan medis–, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuticitta) telah muncul dalam dirinya. Begitu muncul sesaat, kesadaran ajal akan langsung padam. 

Kepadaman kesadaran ajal merupakan “the point of no return” bagi suatu makhluk dalam kehidupan ini. Pada unsur-unsur jasmaniah, kematian ditandai dengan terputusnya kemampuan hidup (jîvitindriya). Inilah definisi kematian menurut pandangan Buddhisme.


Kematian adalah cara kehidupan memberitahukan Anda bahwa Anda dipecat – Penulis tak dikenal

Death is life's way of telling you you're fired.  ~Author Unknown

Bersambung ke bagian 2…Join blog ini untuk mendapatkan informasi update

Tidak ada komentar:

Posting Komentar