Jumat, 18 November 2011

Mati Itu pasti Bagian 5: Mempersiapkan diri menghadapi kematian

Apakah penting mempersiapkan diri menghadapi kematian? Semua pemeluk agama yang benar akan menjawab dengan pasti: jelas amat penting! Karena dalam agama mana pun kematian selalu menjadi salah satu peristiwa dalam kehidupan yang amat penting, jadi mempersiapkan diri untuk menghadapinya juga amatlah penting. Lebih-lebih dalam Buddhisme.

Menurut Buddhisme, momen-momen menjelang ajal berperan amat dominan dalam menentukan ke alam mana pertama-tama kita akan menuju. Meskipun sepanjang hayat kita adalah seorang yang selalu berusaha mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan, tapi karena suatu kejahatan yang pernah kita lakukan dan amat mendalam membekas dalam batin kita menyebabkan pada menjelang ajal kita mengalami suatu batin yang gelisah, yang negatif, maka bila kita meninggal dunia dengan batin yang seperti itu kita akan pertama-tama menuju alam yang sesuai dengan keadaan batin itu: alam rendah, alam sengsara. Baru setelah masa hidup di alam rendah itu habis akibat habisnya kekuatan buah karma yang menyebabkannya kita bisa terlahir di alam yang lebih baik sesuai dengan timbunan jasa-jasa baik yang telah kita kumpulkan.

Pentingnya memiliki batin yang tenang dan damai saat menjelang mati dapat ditunjukkan oleh beberapa kisah yang terjadi di masa kehidupan Buddha. Misalnya kisah yang menyangkut Ratu Mallika, permaisuri dari Raja Pasenadi Kosala. 

 
Ratu Mallika adalah salah satu pengikut Buddha yang amat berbakti. Sepanjang hidupnya dia banyak melakukan perbuatan berjasa. Tapi ada satu kejahatan
yang pernah dilakukannya dan yang amat membekas dalam bentuk penyesalan di dalam dirinya hingga terbawa ke momen menjelang ajalnya. Dan karena dikuasai oleh batin tak sehat seperti itu, Ratu Mallika langsung terlahir kembali di alam rendah, dan baru setelah lewat 1 minggu dia meninggal di alam itu dan pindah ke alam surga sesuai dengan timbunan jasa kebajikan yang telah dikumpulkannya.

Untuk kisah pada masa modern, kita bisa membaca pengalaman Bhante Rastrapal Mahathera dalam bukunya “Five Visions of A Dying Man”. Buku itu bercerita tentang pengalaman beliau menangani seorang umat awam pria yang ketika menjelang ajalnya melihat 5 penampakan, dan setiap penampakan itu adalah perlambang dari ke alam mana si umat akan terlahirkan kembali apabila pada saat itu—ketika penampakan itu terlihat—dia meninggal dunia. Penampakan itu berasal dari keadaan batin dari orang yang sedang sekarat itu. Ketika keadaan batinnya tenang dan damai, dia melihat penampakan berupa dewa-dewi surgawi, atau pohon Bodhi dan kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Saat keadaan batinnya berubah gelisah atau penuh kemelekatan, dia pun melihat penampakan burung gagak yang menakutkan.

Selain itu, amat penting mempersiapkan diri menghadapi kematian karena, sebagaimana dengan kehidupan, kematian pun sering diumpamakan sebagai suatu perjalanan. Hanya saja, kehidupan adalah perjalanan menuju kematian, dan kematian adalah perjalanan menuju kehidupan berikutnya. Sebuah perjalanan tentu memerlukan suatu persiapan agar berhasil sampai di tujuan yang direncanakan, bukan? Demikian pula dengan kematian. Agar kematian dapat kita hadapi dengan tenang dan berhasil sampai di kehidupan berikutnya yang lebih baik, kita harus mempersiapkan diri kita dengan sebaik-baiknya. Kita perlu membawa perbekalan yang memadai dan mempersiapkan batin kita untuk menerima kematian sebagaimana adanya.

Semua itu pada akhirnya hanya demi satu tujuan: mencapai kebahagiaan. Karena jika kita, misalnya, ditanyakan tujuan menjalankan kehidupan, semua dari kita akan sepakat bahwa kita menjalankan kehidupan demi meraih suatu kebahagiaan, dan demi tujuan itu mempersiapkan diri menghadapi kematian semestinya menjadi bagian dari menjalankan kehidupan. Memanglah definisi kebahagiaan dan macamnya ada beraneka ragam, tapi kita bisa menarik satu benang merah yang sama: kita semua menginginkan kehidupan yang damai, tenteram, dan harmonis.

Orang-orang bajik pasti mati, tapi kematian tidak bisa membunuh nama harum mereka – Pepatah
Good men must die, but death can not kill their names —Proverbs

Jadi, seseorang yang mengisi kehidupan dengan persiapan untuk menghadapi kematian berarti dia menjalankan kehidupan dengan semestinya. Dan kehidupan yang dijalankan dengan semestinya akan membuat kita memperoleh kebahagiaan di sini (ketika masih hidup), dan di sana (setelah kematian) sebab buah dari kebajikan yang telah dilakukan selama hidup akan menjadi bekal dalam perjalanan menuju kehidupan berikutnya, memungkinkan si pembuat memetik hasilnya dalam bentuk kelahiran ulang di salah satu alam yang membahagiakan. Seperti yang tertulis dalam sutta dari Dhammapada 18:


Di dunia ini ia bahagia.
Di dunia sana ia berbahagia.
Pelaku kebajikan berbahagia di kedua dunia itu.
Ia akan berbahagia ketika berpikir "Aku telah berbuat bajik",
dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia
.

Dalam hal ini, persiapan menghadapi kematian dapat kita bagi menjadi 2 jenis: 1) persiapan secara spiritual, dan 2) persiapan secara duniawi. Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan tidak hanya mempersiapkan diri kita sendiri, tetapi juga orang-orang terdekat kita supaya mereka pun siap menghadapi kematian bila sudah tiba waktunya, baik untuk kematian mereka sendiri maupun kematian kita dan keluarga lainnya.

Uraian berikut ini tidak dimaksudkan memberi paparan yang mendetail tentang setiap tahap persiapan yang disarankan. Untuk penjelasan lebih rinci yang disertai dengan tip-tip dalam melakukan kebajikan (dan juga mengembangkan kebijaksanaan), pembaca bisa membaca buku “Berbuat Baik itu Mudah” dari penulis yang sama dengan buku ini. Buku itu adalah salah satu seri dari penerbitan Dharma Putra Indonesia yang diwujudkan oleh Yayasan Ehipassiko (www.ehipassiko.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar