Senin, 14 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 2: Mengapa Kita Harus Mati?

Mengapa Kita Harus Mati?

Dalam keseharian hidup, kita akan menemukan orang-orang meninggal pada semua besaran umur. Beberapa orang meninggal persis setelah mereka dilahirkan, atau bahkan malah sebelum dilahirkan (akibat suatu tindakan aborsi atau karena keguguran alami). Beberapa yang lainnya masih sempat muncul ke dunia dan membuka matanya, namun lantas “layu sebelum berkembang”. Beberapa lainnya panjang umur sampai sukses menjadi orang-orang T.O.P (Tua, Ompong, Peot) sebelum akhirnya berangkat untuk “pindah alamat” ke alam lain. Mereka semua meninggal karena pelbagai macam sebab yang, secara umum, dapat diringkas menjadi tiga kelompok: penyakit, kecelakaan atau bencana, dan usia lanjut.

Ketika kita ditanyakan mengapa seseorang meninggal dunia, kita bisa menjawab ada banyak penyebab seseorang meninggal dunia. Pernyataan-pernyataan seperti, “Kakekku telah meninggal dunia setahun lalu karena serangan jantung”, atau “Sepupu saya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang”, atau “Orang tua itu meninggal dunia dengan tenang di tempat tidurnya karena usia yang sudah amat lanjut”  dapat diterima sebagai pernyataan-pernyataan yang terang jelasnya dalam pengertian kebenaran sehari-hari di dunia kita.  

Tapi bila kita bertanya mengapa manusia HARUS mati, maka jawabannya akan tergantung dari latar belakang keyakinan kita.

Ajaran tertentu yang meyakini adanya makhluk adikodrati sebagai sang pencipta dan penguasa semesta mengajarkan bahwa manusia harus mati karena sang pencipta menyadari dunia akan penuh sesak bila semua manusia tak mati-mati, dan bahwa dunia ini bukanlah rumah sejati manusia, melainkan hanyalah persinggahan sementara sehingga kematian itu akan menjadi suatu perjalanan pulang menuju rumah sejati di sisi pencipta itu. Ajaran lainnya menyatakan bahwa pada mulanya manusia pertama ciptaan makhluk adikodrati itu hidup abadi di surga. Tapi karena dosa yang dilakukannya, manusia itu kemudian diusir dari surga dan jatuh ke bumi menjadi makhluk yang fana, yang masa kehidupannya dibatasi oleh kematian.   

Bagi Buddhisme, jawaban untuk pertanyaan mengapa manusia HARUS mati amatlah sederhana namun sekaligus menohok langsung ke ulu hati kesadaran:

KITA MATI karena KITA LAHIR!

Kita tidak mati lantaran cinta atau akibat masalah kesehatan atau bahkan karena usia lanjut; kita mati sebab kita lahir sebagai manusia –Percival Arland Ussher

A man does not die of love or his liver or even of old age; he dies of being a man.  ~Percival Arland Ussher 



Menurut Buddhisme, kelahiran menyebabkan kita “memiliki” lima gugus ini yang secara ringkas disebut tubuh dan batin. Tubuh adalah perpaduan dari unsur-unsur seperti tanah, air, api dan angin yang membentuk pancaindra dan seluruh bagian lainnya. Batin terdiri dari kesadaran, persepsi atau pencerapan, bentukan-bentukan mental dan perasaan. Apa yang secara umum kita sepakati sebagai “manusia” atau “makhluk” adalah perpaduan semua hal ini. Dan karena apa pun yang merupakan perpaduan adalah tidak kekal, maka cepat atau lambat perpaduan ini pasti akan berpisah, dan itulah yang disebut kematian. Tanpa adanya perpaduan lima gugus ini (lahir), maka tak ada pula perpisahan lima gugus (mati). Tanpa kelahiran tak ada kematian. Dan keadaan tanpa kematian inilah yang dalam Buddhisme disebut Nibbana, tujuan tertinggi para Buddhis.

Lalu, jika kelahiran menyebabkan kematian, maka apa yang menyebabkan kita lahir?

Menurut keyakinan dari ajaran lain, kelahiran manusia disebabkan karena adanya satu sosok makhluk adikodrati yang mahapencipta. Makhluk inilah yang dipercaya menciptakan alam semesta berikut semua isinya, yakni: manusia, hewan, tumbuhan, batu, air, udara, tanah, pelangi (ingat lagu “Pelangi Pelangi”?), bahkan es krim juga! J

Di sisi lain, Buddhisme tidak mempercayai konsep ketuhanan seperti itu. Sebagai Buddhis, kita tidak diajarkan tentang adanya satu makhluk adikodrati yang memiliki segala sifat maha, bahwa makhluk inilah yang merupakan kausa prima atau sebab pertama dari segala yang ada sekarang ini. Kita Buddhis diajarkan terbentuknya alam semesta beserta keberadaan manusia adalah buah dari hukum sebab dan akibat serta hukum-hukum alam lainnya.

Tentang kelahiran manusia, jika Buddhisme ditanya, maka sebabnya adalah kekelirutahuan atau kegelapan batin. Tapi ini bukanlah sebab pertama. Buddhisme tidak mempercayai adanya sebab pertama karena dalam lingkaran sangsara ini amat mustahil mencari satu awal untuk lingkaran lahir-mati yang sinambung ini. Kekelirutahuan berada dalam satu rangkaian lingkaran musabab yang saling bergantungan: sebab yang ini menghasilkan akibat yang itu, dan akibat yang itu pada gilirannya menjadi sebab bagi akibat lainnya lagi. Rumusan terkenal untuk proses ini kaprah dikenal dengan:


Ketika ada ini, itu ada.
Dengan munculnya ini, itu muncul.
Ketika ini tidak ada, itu tidak ada.
Dengan berhentinya ini, itu berhenti.

Pengertian yang didasarkan pada keyakinan yang berbeda ini membawa konsekuensi berupa sikap yang berlainan pula dalam menghadapi kematian.

Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada suatu pengalaman kematian yang menyangkut keluarga atau orang-orang terkasihnya, sebagian orang dari keyakinan lain sering terjebak ke sikap mengutuki atau menyumpahi makhluk adikodrati itu. Mereka tak bisa memahami bagaimana suatu makhluk adikodrati yang diyakininya mahakuasa dan mahapengasih, begitu “tega” mencabut nyawa dari seorang bayi atau anak manis yang—menurut standar keyakinan mereka—tak berdosa, atau memisahkan seorang ibu amat pengasih dari anak-anak yang amat memerlukan curahan kasih sayangnya.

Tentu saja, di sebagian kalangan para Buddhis pun kita bisa menemukan kemarahan seperti itu. Karena dilandasi oleh kekelirutahuan dan pekatnya kemelekatan, sebagai orang awam kita mungkin saja tak bisa menahan diri. Kita begitu geram dan meradang atas kematian dari seorang anak yang amat kita sayangi, yang padanya kita curahkan segala kasih dan pengharapan. Tapi bedanya di Buddhisme, lantaran kita tak mempercayai adanya makhluk adikodrati seperti itu, kita tak memiliki “oknum sial” yang terpaksa harus rela menjadi kambing hitam untuk kita sumpahi atau kutuki sebagai pelampiasan rasa derita kita gara-gara kehilangan orang-orang yang kita kasihi.

Namun, justru hal itu membuat para Buddhis seperti kita lebih bisa bersikap tenang dan rasional dalam menghadapi kematian, lebih kurang emosional dibandingkan dengan para penganut keyakinan lain. Tiiadanya kepercayaan bahwa ada satu makhluk adikodrati mahakuasa + mahapengasih + mahatahu + mahapencipta yang mengatur kehidupan kita membuat kita Buddhis tidak terserang oleh kompleksitas rasa penasaran dan rasa tak habis mengerti yang menyangkut kontradiksi-kontradiksi yang terkandung dalam kepercayaan itu sendiri. Dengan begitu, derita yang kita rasakan akibat masih pekatnya kemelekatan kita terhadap orang-orang terkasih yang meninggalkan kita tak dilipatgandakan dengan beban-beban rasa penasaran itu.

Ditambah dengan kenyataan bahwa dalam Buddhisme kita diajarkan bahwa kematian itu adalah sesuatu yang amat alami, bagian dari lingkaran kehidupan yang tak terelakkan, maka sebagai Buddhis kita lebih bisa menerima kenyataan “pahit” tersebut, lebih bisa bersikap rasional dan tenang ketimbang mereka yang “terpaksa” diberati oleh rasa penasaran dan ketidakpuasan karena pandangan seperti itu.

Kita tidak akan sampai bertanya dan menuntut mengapa Tuhan yang mahapengasih dan penyayang (katanya) begitu tega mencabut nyawa anak kita, seorang anak yang kemarin masih sehat-sehat dan ceria tapi dalam semalam berubah menjadi sosok mayat? Mengapa kemalangan seperti ini menimpa kita yang rajin beribadah dan selalu berusaha untuk menjadi orang baik? Dan itu menciptakan suatu perbedaan besar antara kita dengan mereka. 

Bersambung ke bagian 3...Join blog ini untuk mendapatkan update


Tidak ada komentar:

Posting Komentar