Sebagian dari kita menjalankan kehidupan dengan tanpa suatu gagasan yang jelas mengenai apakah tujuan dan makna keberadaan kita. Kurangnya kejelasan ini bisa menjadi sebuah masalah seiring kita bertambah tua dan dekat dengan ajal kehidupan yang ini. Karena pada saat-saat seperti itu, tatkala banyak dari kemampuan jasmani kita melemah, kita menjadi semakin bergantung kepada orang lain. Ketergantungan itu, jika tak disertai dengan suatu pengertian yang benar dan jelas mengenai apakah tujuan keberadaan kita, berpotensi menimbulkan banyak masalah seperti rasa frustrasi, depresi, dan rasa ketidakbergunaan.
Jadi, sementara umur masih muda dan jasmani masih segar, penting untuk mencaritahu dan merenungkan apakah tujuan kehidupan? Apakah maknanya menjalankan kehidupan ini? Mengapa saya ada di sini? Apakah hal yang penting dan apa yang tidak penting? Ke manakah seharusnya kehidupan ini saya fokuskan sehingga dapat memberikan kebahagiaan di sini (pada kehidupan ini) dan di sana (pada kehidupan mendatang)?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut amat bergantung dari latar belakang keyakinan agama, pendidikan dan budaya apa kita dibesarkan.
Menurut agama tertentu, tujuan kehidupan adalah untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan yang telah ditetapkan oleh sang pencipta. Imbalan dari kepatuhan ini berupa kebahagiaan dalam kehidupan surga yang abadi. Ajaran lain menekankan pada mengisi kehidupan untuk berkarya di jalan yang direstui oleh sang pencipta itu, untuk menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai manusia sehingga kehadirannya di dunia dapat bermanfaat bagi diri dan orang-orang lainnya.
Bagi seorang Buddhis, tujuan kehidupan amat jelas: untuk meraih kebebasan sejati, suatu kebahagiaan tanpa tapi. Tak seperti ajaran-ajaran lainnya, Buddhisme dengan terus terang menganggap hidup adalah suatu penderitaan karena dalam kehidupan tidak ada sesuatu pun yang memuaskan. Tentu tidak berarti Buddhisme menganggap tak ada kebahagiaan yang dapat kita peroleh dalam kehidupan ini, tetapi bahwa kebahagiaan itu pun sendiri tidaklah memuaskan karena tidak kekal dan bersyarat. Kebahagiaan duniawi apa pun yang kita rasakan pada akhirnya pasti akan memudar, menghambar, dan manakala rasanya sudah tidak manis lagi, kita memerlukan “suntikan” kebahagiaan yang lebih besar lagi “dosis”-nya agar kita tetap bisa merasakan efek kesenangannya.
Sebagai contoh, ketika kita belum pernah menikmati enaknya makan nasi goreng, nasi goreng menjadi suatu tujuan kebahagiaan kita. Lalu, ketika pada suatu hari kita berhasil menikmatinya, kita merasakan kebahagiaan yang besar. Berikutnya, saat nasi goreng sudah menjadi menu sehari-hari kita, kesenangan yang awalnya mampu diberikannya tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa: rasa nikmatnya mulai menghambar karena efek dari adaptasi kesenangan, dan kita mulai menuntut menu lain yang lebih lezat. Ini mirip seperti keadaan seorang pencandu: demi meraih efek dari zat-zat yang mencandui itu, setiap kalinya kita harus terus menambah dosisnya.
Jadi tujuan keberadaan seorang Buddhis di dunia ini bukanlah untuk meraih sebanyak mungkin kebahagiaan duniawi: kebahagiaan duniawi hanyalah bonus dan sarana untuk mencapai kebahagiaan yang lebih halus, suatu jenis kebahagiaan yang tak bersyarat dan karenanya tak akan pernah memudar. Dan kehidupan seorang Buddhis sejati dipusatkan pada segala upaya untuk meraih kebahagiaan ini.
Untuk itu, bagi Buddhis, kesempatan terlahir sebagai seorang manusia amatlah sangat berharga sekali. Keberhargaan itu dinilai berdasarkan 2 kenyataan:
1) Bahwa untuk terlahir menjadi manusia itu amatlah sulit. Buddha mengumpamakannya seperti seekor kura-kura yang muncul ke permukaan laut yang berombak dan begitu saja memasukkan kepalanya ke sebuah gelang yang mengapung terombang-ambing: berapakah kemungkinannya si kura-kura berhasil, menurut Anda?
2) Bahwa karena di alam inilah tempat paling pas untuk melatih diri. Alam-alam surga memiliki terlalu banyak kesenangan yang sangat mungkin membuat para penghuninya terlena dan mabuk akan rasa bahagianya. Sedangkan alam neraka dan alam-alam bawah lainnya memiliki terlalu banyak penderitaan yang membuat kita selalu menderita sehingga kita merasa putus asa, tak ada kesempatan yang cukup untuk melatih diri dalam kebajikan dan kebijaksanaan. Sebagai manusia, kadar penderitaan dan kebahagiaan yang kita alami dapat dikatakan berimbang dibandingkan dengan kesenjangan yang ekstrem di alam-alam lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar