Rabu, 16 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 4 Mati Itu Pasti

Mati Itu Pasti

Dalam kehidupan, kita sering mendambakan suatu kepastian. Para pedagang dan investor, jika bisa, dengan senang hati bersedia membayar harga berapa pun asalkan mereka mendapatkan suatu kepastian bisnis atau investasi mereka tidak akan merugi. Para pelajar akan berusaha sekuat tenaga, belajar mati-matian siang malam untuk mendapatkan kepastian bisa diterima di universitas terkemuka yang amat diidamkan. Pasangan kekasih atau mereka yang sedang mencari jodoh, mendatangi para penasihat perjodohan atau peramal demi memastikan jodoh yang tepat untuk mereka. Dalam banyak aspek kehidupan, semua orang amat menyukai kepastian.

Mengapa?

Karena hidup itu tak pasti maka kita membuat pelbagai macam rencana untuk memastikan apa yang kita inginkan atau harapkan bisa tercapai, dan untuk memastikan kita terhindar dari hal-hal yang tak kita inginkan. Kecuali satu:
begitu menyangkut kematian, kepastian menjadi sesuatu yang secara umum dianggap menakutkan, ditolak, dijauhi, dan dianggap seolah-olah tak ada.

Sebenarnya, layakkah kita takut terhadap kematian? Layakkah kematian itu dijauhi, ditolak, dan kita pura-pura tak tahu bahwa kematian itu nyata adanya, bisa datang sewaktu-waktu tanpa perlu diundang?

Kematian memang sesuatu yang pasti, tapi pada saat yang sama juga tidak pasti. Bila dilihat dari sifatnya yang pasti, yang tak terelakkan, ketakutan seperti itu terasa konyol: apa ada gunanya kita takut pada sesuatu yang tak terelakkan, yang tak dapat kita hindari dengan cara apa pun?

Dan bila dilihat dari keyakinan Buddhis yang mengakui adanya kelahiran ulang, bahwa kehidupan ini bukanlah yang pertama kali dan bukan yang terakhir kecuali kita telah mencapai tingkatan kesucian tertinggi, maka peristiwa yang disebut kematian pada dasarnya tidak pernah ada. Kematian sesungguhnya dapat dipandang hanya sebagai suatu peristiwa “pindah alamat”: seseorang yang meninggal dalam kehidupan ini pergi “pindah alamat” menuju alam lain atau kehidupan berikutnya di bumi ini (bila terlahir sebagai manusia lagi). Dan andai yang terakhir ini yang terjadi, seperti yang pernah dikatakan oleh Ajahn Chah dalam salah satu ceramahnya, almarhum/almarhumah yang kita sayangi itu biasanya akan terlahir kembali dalam lingkungan keluarga kita sendiri. Dengan begitu kita kemungkinan besar akan bisa bertemu lagi dengan mereka, jadi tak ada alasan untuk takut atau sedih. 



Mati? Ah, cuma pindah alamat saja, kok!

Dalam keseharian secara umum, kematian dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan untuk dibicarakan. Kebudyaaan kita kini didominasi oleh keyakinan bahwa kematian harus disambut dengan dukacita, ratap tangis dan kesedihan. Padahal, sedari sejak manusia ada di dunia, tak terelakkan bagi kita untuk menghadapi pengalaman kematian. Kematian dari anggota keluarga inti, sanak saudara yang cukup jauh, teman, kerabat, dan nantinya—cepat atau lambat—kematian kita sendiri.

Saya pun juga, seperti semua orang, punya pengalaman kematian. Mulai dari kematian nenek, bibi, paman, dan terakhir yang amat dekat, mama saya sendiri.

Dan dari pengalaman terakhir ini, saya baru benar-benar melihat bagaimana seseorang berjuang untuk tetap hidup, tapi yang pada akhirnya karena waktunya telah tiba tetap harus berangkat pergi meninggalkan segala yang ia kasihi. Saya pun menyadari satu pelajaran amat penting, yang meski sebelum ini telah mendapatkan perhatian saya, tapi melalui kematian mama arti penting pelajaran itu semakin ditekankan: sedari awal kehidupan, kita semestinya membiasakan diri untuk melepas, membiarkan berlalu. Karena di sepanjang keseharian hidup dan lebih-lebih lagi kelak ketika kita menghadapi kematian, kemampuan melepas itu sungguh amat berguna sekali.

Seperti yang telah saya sebutkan di awal, ada suatu anggapan anggapan umum bahwa kematian itu seharusnya menyedihkan. Karena itulah, ketika kematian mama, beberapa kerabat mungkin merasa heran mengapa saya tidak menangis atau menampakkan wajah sedih. Mengapa saya bisa bersikap tenang, bahkan meminjam kata seorang kerabat, “santai sekali”? Apakah saya tidak menyayangi mama saya? Hahaha, apakah kasih harus berarti kesedihan ketika kita ditinggal pergi oleh yang terkasih?….. J

Tentu saja, saya belumlah suciwan, bahkan masih amat jauh dari itu. Tapi ada beberapa hal yang bisa menjelaskan mengapa saya tidak menangis seperti peran yang dituntut oleh anggapan umum bagi orang yang mengalami kematian keluarganya.

Pertama, mama meninggal di waktu yang tepat. Maksud saya, beliau meninggal ketika saya telah memiliki suatu tingkat pemahaman terhadap apa sesungguhnya hakikat kehidupan ini. Pemahaman yang saya peroleh melalui perenungan, pembacaan, dan meditasi. Saya membayangkan, andai mama meninggal 10 tahun lalu, saat mana saya masih amat “cengeng” (sekarang pun masih, tapi sudah tidak amat-amat banget, sih, hehehehehe….), saya pasti sudah menangis dan bahkan mungkin mengalami depresi.

Kedua, mama meninggal tidak secara mendadak. Beliau mengalami sakit yang cukup lama sehingga sedari awalnya beliau masuk rumah sakit saya sudah mempersiapkan batin saya untuk bersedia menerima apa pun yang terjadi. Saya selalu mengingat-ingat satu pelajaran penting tapi mungkin terasa terlalu “kasar” bagi sebagian orang yang tak siap dengan keterusterangan seperti ini: nasihat Ajahn Chah bahwa, “Hanya ada dua kemungkinan bagi seseorang yang sakit, dan kedua kemungkinan itu sama-sama baik: sembuh, atau mati!”

Itulah mengapa saya bisa bersikap tenang. Termasuk juga ketika seorang kenalan mama saya yang tak tahu menahu bahwa mama saya telah meninggal, bertanya tentang kabar beliau. Ketika saya bertahukan mama saya sudah meninggal, kenalan itu, seperti adegan klise di film-film Hollywood, meminta maaf. Saya bilang, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kematian itu wajar, amat alami, karena bagian dari kelahiran.

Sesungguhnya dari perspektif kelahiran ulang, kematian itu tidak ada. Kematian hanyalah satu proses pindah alamat ke alam lain. Dan dari keyakinan Buddhis, orang-orang yang kita kasihi yang telah berangkat pergi tak akan pergi jauh-jauh dari lingkaran keluarga kita sendiri. mereka bisa jadi, jika karmanya memungkinkan, terlahir ulang sebagai kerabat dekat atau jauh kita, dan kita pun bisa bertemu kembali dengan mereka jika jalinan karma kita dan mereka masih belum usai.

Jadi, gak perlu sedih, lahh…. J

Tapi bila kita mempertimbangkan bahwa tak seorang pun tahu kapankah kematian tiba dan apa yang terjadi setelah kematian, bahwa ada suatu tabir gelap yang tak seorang pun bisa pastikan karena hal ini berada di luar pengetahuan awam kita, kita bisa memahami mengapa orang-orang secara umum takut terhadap kematian.

Selain itu, ada ketakutan setelah kematian keberadaan diri kita akan dilupakan oleh mereka yang masih hidup. Karena bagi manusia awam, eksistensi, suatu keberadaan, hasrat untuk dumadi, pengakuan bahwa seseorang itu ada, amat penting. Ketika dilupakan, saat itu pula kita merasa seperti mengalami kematian yang kedua.

Karena itulah kita menghindari membicarakannya. Kita cenderung menipu diri kita sendiri bahwa kematian itu memang tak terelakkan tapi kematian tidak akan datang sebelum kita benar-benar tua. Dan itu pun, pada saat kita telah sungguh tua, sebagian dari kita masih bersikeras tak bersedia menerima kepastian kematian.

Karenanya, tak heran untuk sesuatu yang amat pasti seperti kematian, kita cenderung abai mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangannya yang cepat atau lambat tapi pasti. Dan sikap abai ini, yang pada dasarnya sudah buruk, dalam derajat tertentu bisa menjadi amat gawat konsekuensinya: sebagian dari kita yang abai berat menjalani kehidupan seolah-olah kita tak akan pernah mati, dan karena itu kita terus mengejar kesenangan-kesenangan duniawi dengan menghalalkan segala cara. Kita tak peduli pada hal-hal baik dan mulia, hal-hal yang melampaui dan lebih berharga daripada kesenangan-kesenangan duniawi yang terus membuat kita selalu haus, haus, haus, tak terpuaskan. Tentu kita tak ingin seperti para rusa bodoh yang menjadi santapan empuk para serigala dalam kisah berikut ini, bukan?

Serigala, Rusa dan Kematian

Barangkali selama ini sebagian besar dari kita hanya tahu bahwa serigala adalah binatang yang kejam, licik, dan jahat. Seperti ular, serigala diperlakukan sebagai binatang dari neraka, bahkan mungkin malah serigala itulah setan yang menyamar jadi binatang. Anggapan seperti itu bisa dipahami mengingat sedari kecil kita telah disuguhi oleh cerita-cerita tentang serigala sebagai tokoh antagonis. Hanya dalam sedikit kebudayaan saja serigala dihormati sebagai binatang yang sesungguhnya amat cerdas, penyayang keluarga, setia kawan, dan pemburu yang luar biasa. Seperti misalnya dalam kebudayaan Mongolia. Percayakah Anda jika disebutkan bahwa Jengis Khan dulu mampu menaklukkan dunia karena dia dan rakyatnya banyak belajar dari para serigala?

Dari sebuah novel, WoftTotem , yang ditulis berdasarkan kisah nyata pengalaman penulisnya sendiri, saya mengetahui sedikit banyak fakta kehebatan serigala. Dan satu hal dari novel itu yang amat mengesankan saya adalah tentang bagaimana cara serigala berburu rusa.

Ketika segerombolan serigala memutuskan untuk memburu kawanan rusa, pemimpin mereka akan memandu kawanannya ke sebuah padang rumput tempat di mana para rusa berkumpul untuk makan. Mereka tidak langsung menyerbu begitu saja karena mereka sadar dalam hal kecepatan lari mereka akan kalah oleh para rusa itu. Jadi, dengan sabar mereka mengintai dari balik rerumputan yang tinggi dan dari jarak yang cukup jauh, menunggu para rusa itu makan sepuas-puasnya, diam hening nyaris tanpa bergerak selama berjam-jam agar buruan mereka tak menyadari bahaya yang sedang mengintipnya. Dan sementara para serigala mengintai, beberapa rusa dengan bodohnya makan sampai perut mereka kenyang kembung seperti balon, tapi beberapa yang lain cukup cerdas dan eling untuk hanya makan secukupnya.

Ketika para rusa bodoh telah makan sekenyang-kenyangnya, saat itulah dengan serentak para serigala menyerbu. Dan karena perutnya terisi penuh, rusa-rusa itu tak mampu berlari. Sebagian dari mereka langsung jatuh lemas, sebagian lagi berusaha lari tapi sia-sia saja. Tanpa kesulitan berarti para serigala bisa berpesta daging rusa gemuk yang masih segar dengan rumput belum tercerna sempurna dalam perut-perutnya.

Sangat luar biasa, bukan, cara para serigala berburu? Amat cerdas, taktis, terorganisir dengan baik, dan sabar menunggu momentum yang tepat.

Dalam renungan saya, para serigala bisa diumpamakan sebagai dewa kematian. Dan rusa-rusa itu adalah kita, padang rumput adalah dunia ini. Sebagian dari kita begitu bodohnya, terlena, mabuk oleh kesenangan-kesenangan duniawi sampai tak waspada pada dewa kematian yang sedang mengintai, menunggu kita “makan” sekenyang-kenyangnya dan setelah itu menyerbu masuk untuk “membantai” kita. Sebagian lagi, dan biasanya minoritas, cukup sadar untuk selalu ingat bahwa kematian dapat datang kapan pun, dan karena itu mereka menggunakan kesempatan terlahir sebagai manusia dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan. Dan dengan bekal kebajikan dan kebijaksanaan itu, meskipun dalam kehidupan ini belum mampu melarikan diri dari raja kematian, pada akhirnya kematian tak dapat lagi menangkap mereka.

Sesungguhnya, andai saja kita tak abai terhadap kematian, andai kita senantiasa ingat padanya dan menjalankan kehidupan dengan sepenuh-penuhnya, kita tak akan begitu saja menjadi santapan empuk raja kematian. Meskipun pada akhirnya toh kita harus mati juga, paling tidak saat itu tiba kita telah sungguh siap dengan bekal yang memadai. Karenanya, kita tak perlu merasa takut terhadap kematian. Apa pun yang terjadi pada saat dan setelah kematian tak lagi mencemaskan kita. Dengan selalu mengingat kematian itu pasti, dengan selalu mengingat bahwa setiap momen kehidupan kita bisa saja berakhir, kita mempersiapkan diri kita dengan bekal kekayaan kebajikan dan kebijaksanaan, melatih diri dalam meditasi yang mengajari kita untuk mampu melepas, membiarkan berlalu segalanya. 

Begitu kita ingin tahu bagaimana kita akan mati, kita belajar bagaimana seharusnya kita hidup — Morrie dalam “Selasa Bersama Morrie” 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar