Senin, 21 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 6: Persiapan Spiritual

Persiapan Spiritual

Persiapan spiritual bertujuan untuk mentransformasi diri kita secara spiritual agar siap menghadapi kematian. Bagi pemeluk agama, persiapan ini amat berkaitan erat dengan doktrin-doktrin agama yang kita anut. Dan setiap ajaran di dunia memiliki metode-metodenya sendiri untuk mempersiapkan para pengikutnya menghadapi kematian. Secara garis besar tiap metode itu tidak terlalu berbeda satu dengan lainnya karena selalu ada penekanan pada mengumpulkan suatu jasa kebajikan (yang diistilahnya dengan pelbagai macam nama yang berbeda), dan mengembangkan suatu sikap berserah atau melepas.

Perenungan Kerap

Ketika ditanyakan bagaimana cara kita bersiap diri rmenghadapi kematian, Morrie sang profesor dalam buku “Selasa Bersama Morrie”, berkata, “Bertindaklah seperti yang diperbuat oleh para Buddhis. Setiap hari, bayangkan bahwa di pundak kita ada seekor burung yang bertanya, ‘Sekarangkah hari ajalku? Siapkah aku? Sudahkah aku mengerjakan semua yang perlu kuperbuat? Apakah aku telah menjadi seperti yang kukehendaki?’”

Apa yang disarankan Morrie adalah suatu cara yang berguna untuk mengingatkan diri kita akan kematian. Karena sering kali dalam keseharian hidup, mata kita begitu butanya akan kebenaran tak terbantahkan bahwa kematian itu bisa datang sewaktu-waktunya, dan bahwa betapa kehidupan ini amatlah getas, sangat rentan.

Kita dapat temukan setiap hari televisi, koran dan dunia maya dipenuhi oleh berita-berita mengenai bencana, kecelakaan, perang, wabah penyakit, bunuh diri, dan segala macam hal menakutkan lainnya yang menyebabkan tiada hari tanpa berita kematian. Dan sebagian dari kita pun, seperti mereka yang bekerja di rumah sakit sebagai perawat atau dokter, akan sering menjumpai dan melihat peristiwa kematian. Tapi semua hal itu tidak menjamin mampu menggugah kesadaran kita seperti tergugahnya kesadaran Pangeran Siddhartha ketika melihat Empat Pemandangan. Maka, tak heran kita sering “lupa” bahwa kita tak bisa hidup selamanya.   

Selain cara yang disarankan Morrie, ada satu cara lagi cara untuk membuat kita selalu ingat akan kematian. Dalam sebuah buku kumpulan ceramah Ajahn Chah yang amat berkesan bagi saya, ada sebuah nasihat dari beliau yang amat beliau tekankan untuk dipraktikkan berulang kali. Nasihat itu berkaitan dengan perenungan kerap teerhadap kematian, yang dalam naskah Buddhis disebut Maranasati. Ajahn Chah amat menekankan hal ini, dan menganjurkan siapa pun yang membaca buku itu untuk sering-sering merenungkannya. Menurut Ajahn Chah, perenungan seperti ini akan membuat kita selalu waspada, eling akan hakikat ketidaktetapan kehidupan kita. Dan kewaspadaan ini pada gilirannya akan mencegah kita hidup secara sembrono yang kelak, ketika kematian tiba, hanya akan membawa sesal dan sengsara.

Jadi, apakah isi perenungan itu? Berikut saya tulis ulang sesuai dengan ingatan dan kata-kata saya sendiri yang mungkin agak berbeda dengan versi tertulis pada buku tersebut. Inilah perenungan yang kerap saya renungkan menjelang tidur:

Aku akan menderita usia tua;
Aku belum mengatasi usia tua.

Aku akan menderita penyakit;
Aku belum mengatasi penyakit.

Aku akan menderita kematian;
Aku belum mengatasi kematian.

Segala yang kumiliki, yang kucintai;
Akan berubah, terpisah dariku.

Aku adalah pemilik dari karmaku sendiri;
Lahir dari karmaku sendiri;
Berhubungan dengan karmaku sendiri;
Terlindungi oleh karmaku sendiri;
Apa pun karma yang kuperbuat;
Baik atau buruk;
Itulah yang akan aku warisi.

Anicca, dukkha, anatta.

Seperti yang dianjurkan Ajahn Chah, lakukanlah perenungan ini dengan kerap. Setidaknya dalam sehari 1 kali, akan lebih baik seperti nasihat kaprah para dokter: 3 kali sehari; pagi saat baru bangun, siang setelah selesai makan, dan malam menjelang tidur. Jika tak sanggup, sekali sehari menjelang tidur adalah waktu yang terbaik.

Mengapa?

Karena ketika menjelang tidur, pikiran kita biasanya berada dalam keadaan yang rileks dan tenang, sehingga apa pun yang kita renungkan pada saat itu akan lebih mungkin tercamkan dengan baik dalam batin kita. Dan ketika maknanya tercamkan dengan baik dalam batin, kita akan menjadi lebih mudah waspada, eling dalam menjalankan keseharian hidup kita. Kemelekatan menjadi kurang pekat, kesadaran akan ketidaktetapan bertambah tinggi, dan kemampuan untuk melakukan kebajikan menjadi lebih spontan. Dan terutamanya, ketika kita sudah amat terbiasa merenungkan kematian, sedikit demi sedikit kita sadari bahwa ada perubahan dalam cara kita memandang kematian. Dari yang semula memandang dengan ngeri dan takut menjadi pandangan yang tenang dan tabah. Kita mengerti sepenuhnya bahwa kematian tidak layak ditangisi, karena kematian adalah konsekuensi tak terelakkan dari kelahiran.

Hal-hal itu, kualitas-kualitas positif yang kita peroleh itu akan amat mempengaruhi keseharian hidup kita. Kita akan menjadi pribadi yang lebih mudah bahagia daripada sebelumnya, karena kemampuan untuk melepas atau membiarkan berlalu yang meningkat membuat kita kurang diberati oleh beban-beban tak perlu—rasa sesal, keinginan-keinginan tak sampai, dendam, rasa kecewa—yang amat sering adalah penyebab dari penderitaan kita. Bukankah  
seringkali hidup ini sesungguhnya sudah cukup memberikan kita masalah, tapi entah mengapa kita sering mencari-cari masalah lain dengan bermuram durja, terus melekati rasa sesal atau marah kita, dan seterusnya?

Melatih Diri Dalam Moralitas, Meditasi dan Kebijaksanaan

Jangan mencari kematian. Kematian akan menemukan kita. Tapi carilah jalan yang membuat kematian menjadi indah — Dag Hammarskjöld 
Do not seek death. Death will find you.
But seek the road which makes death a fulfillment Dag Hammarskjöld

Dalam Buddhisme, kita mengenal Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Disebut demikian karena jalan ini adalah satu jalan yang memiliki 8 faktor yang bila dijalankan akan membawa seseorang mencapai suatu keadaan yang mulia. Faktor-faktor itu adalah Pandangan Benar, Perniatan Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Pengupayaan Benar, Penyadaran Benar, Pemusatan Benar  yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: moralitas (Perkataan, Perbuatan dan Penghidupan benar), meditasi (Pengupayaan, Penyadaran dan Pemusatan benar) dan kebijaksanaan (Pandangan dan Perniatan Benar). Di sini, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak akan dibahas secara terperinci untuk setiap faktornya. Fokus diletakkan pada pembahasan mengenai 3 kelompok moralitas, meditasi dan kebijaksanaan yang dikaitkan dengan manfaatnya untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Tentang bagaimana sebaiknya kita mempraktikkan jalan ini, ada suatu pengertian kurang tepat pada sebagian Buddhis bahwa faktor-faktor dari jalan ini haruslah dilaksanakan secara berurutan. Jadi disebutkan kita harus mula-mula melatih moralitas dulu sampai sempurna, baru setelah itu bisa dilanjutkan dengan melatih meditasi, dan akhirnya kebijaksanaan. Jika carai ni sungguh diterapkan, latihan kita tidak akan pernah berhasil.

Mengapa?

Karena menunggu moralitas sempurna tak akan bisa bila hanya dengan melatih moralitas. Moralitas menjadi sempurna memerlukan dukungan meditasi, meditasi menjadi sempurna memerlukan dukungan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi sempurna memerlukan dukungan moralitas. Ketiga hal ini saling dukung mendukung, membentuk satu lingkaran yang, jika dilatih secara simultan, akan terus menggelinding mengantarkan kita makin dekat, makin dekat, dan makin dekat lagi ke pencerahan sejati.

Selain dengan cara simultan, ada pendapat yang agak berbeda tentang bagaimana seharusnya kita menjalankan Jalan Mulia Berfaktor Delapan.

Menurut Ajahn Chah seperti yang tercatat dalam buku “Being Dharma”, mempraktikkan Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah seperti ketika kita memungut sebatang kayu. Kita bisa saja memungut kayu itu dengan pertama-tama memegang ujung yang satu, atau ujung lainnya, atau bahkan langsung memegang bagian tengahnya. Cara mana pun yang kita tempuh, begitu kita memungut kayu itu, keseluruhan bagian kayu akan ikut terangkat pula.

Begitu pun dengan praktik Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Kita bisa mulai dari mempraktikkan moralitas, atau mengembangkan kebijaksanaan, atau langsung saja menekuni meditasi. Ketika, misalnya, kita memilih untuk menekuni meditasi, jika meditasi kita benar maka secara otomatis seiring perkembangan latihan kita akan mulai merasakan adanya suatu keperluan untuk juga mempraktikkan dan meneguhkan moralitas. Dan selanjutkan dari sana muncul pula suatu rasa kemendesakkan untuk mengembangkan kebijaksanaan. Dan begitulah seterusnya hingga akhirnya kita pun menyelesaikan jalan ini dengan berhasil.  

Moralitas

Ada sebuah kisah di majalah anak-anak Bobo edisi lama yang pernah saya baca. Cerita ini adalah tentang dua orang perempuan bertetangga.

Perempuan pertama memiliki sebuah rumah yang kumuh, dengan kehidupan rumah tangga dan perekonomian yang “menyedihkan”. Penampilan fisiknya sendiri juga tidak rapi dan bersih. Sedangkan perempuan kedua sebaliknya: rumahnya bersih, rapi, dirinya, suami dan anaknya bahagia berkecukupan meskipun tetap sederhana. Tiap hari perempuan pertama selalu merasa iri dan penasaran mengapa tetangganya itu bisa begitu bahagia kehidupanya. Dia berusaha mencari tahu apa rahasianya, dan dia sangat ingin tahu.

Suatu hari akhirnya dia menemukan juga seseorang yang bisa memberitahukan dia apa rahasia si tetangga. Orang itu adalah seorang anak perempuan penjaja makanan. Tapi sebelum anak ini bersedia memberitahukan rahasia si tetangga, si anak meminta perempuan ini membeli semua kue dagangannya. Tanpa pikir 2x24 jam dia setuju dan membeli semua kue dagangan si anak yang masih tersisa.

Tahukah Anda, apa sesungguhnya rahasia mengapa si tetangga bisa memiliki rumah yang bersih, rapi, dan kehidupan yang bahagia lahir batin?

Bukan, bukan karena si tetangga dapat warisan dari orangtua atau mertuanya, bukan pula dia punya tuyul yang dipakai untuk mencari uang secara tidak halal, hehehehe….Tapi ternyata, si tetangga itu punya banyak pembantu yang membantu dia bekerja setiap hari mengelola rumah tangganya sehingga dia bisa memiliki rumah yang rapi dan bersih, dan suami dan anaknya pun terurus dengan baik. Tapi si perempuan pertama heran, karena selama ini tak pernah sekali pun dia melihat batang hidung para pembantu yang disebutkan oleh si anak penjaja kue. Apakah para pembantu itu makhluk-makhluk halus? Tentu saja tidak! Kalau benar begitu, ini akan menjadi kisah horor yang tak layak terbit di sebuah majalah anak-anak, hehehe…

Jadi, siapa sih para pembantu yang hebat-hebat itu sampai seperti tak terlihat orangnya tapi hasil kerjanya amat menyolok?

Anda penasaran?

Saya juga, makanya ketika membaca kisah itu saya terus membaca sampai akhir. Dan jawabannya sungguh tak terduga, membuat saya manggut-manggut sekaligus merenung: para pembantu itu adalah semua anggota badan kita yang bisa kita gunakan untuk bekerja. Mereka adalah kedua tangan dan kaki kita, dan jari jemari kita. Mereka adalah badan kita yang sehat yang memungkinkan kita bekerja keras untuk memperoleh hidup layak.

Si perempuan pertama sebenarnya juga mempunyai para pembantu seperti tetangganya itu. Hanya saja, dia tak pernah menyadarinya dan memanfaatkan para pembantu itu. Dia lebih suka duduk-duduk saja, membiarkan rumahnya kotor dan berantakan, anak-anaknya tak terurus, dan suaminya jadi tak betah di rumah. Sebagai akibatnya kehidupannya pun tak bahagia, dan rejeki ogah mampir. Karena, bahkan manusia sendiri tak betah mampir di rumah yang kotor, apalagi dewa rejeki yang standar tuntutannya pasti lebih tinggi lagi, ya kan?

Kita Buddhis diajarkan tentang hukum karma dan kelahiran ulang. Apa yang kita peroleh dan alami dalam kehidupan ini sebagian adalah karena apa yang telah kita tanam dalam kehidupan lampau yang dekat maupun jauh. Seperti misalnya tubuh dan batin ini.

Dari perspektif hukum karma dan kelahiran ulang, tubuh dan batin “sempurna” yang kita miliki kini adalah harta kekayaan yang kita warisi dari benih-benih yang telah kita tanam di kehidupan lampau. Dengan kata lain, kita memiliki harta kekayaan dari masa lampau berupa tubuh dan batin yang “sempurna” dalam kehidupan ini karena pada masa lampau kita telah cukup banyak melakukan kebajikan dan mengembangkan kebijaksanaan.

Seperti halnya kekayaan materi, harta kekayaan berupa tubuh dan batin ini pun juga bisa disia-siakan, bahkan disalahgunakan. Sebagian orang sadar dan menggunakan harta kekayaan ini sebagai kendaraan untuk mencapai kehidupan yang lebih mulia. Mereka giat dan tekun dalam mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan melalui setiap pikiran, ucapan dan tindakan. Sebagian lagi terlena, mabuk, menyia-nyiakan harta kekayaan yang mereka warisi dari kehidupan lampau. Mereka menyiksa dan meracuni tubuh dan batin dengan mengkonsumsikan zat-zat adiktif. Mereka menyalahgunakan tubuh dan batin untuk melakukan perbuatan-perbuatan kriminal yang hanya merugikan diri mereka dan membawa kesengsaraan bagi makhluk lainnya.  

Dalam Buddhisme, kita mengenal adanya sila sebagai suatu standar moral. Pelaksanaan sila adalah salah satu jalan untuk mengembangkan kebajikan dan merupakan bagian penting dalam upaya kita meraih kemuliaan. Sila-lah yang menentukan apakah kita berhak menyebut diri kita manusia atau tidak. Dan sebagai umat awam, kita memiliki 5 sila dan 8 untuk saat-saat tertentu atau dalam kondisi sebagai umat awam yang terikat komitmen sebagai anagarika/anagarini. Untuk kalangan monastik ada 10 sila yang dijalankan oleh seorang calon bhikkhu/bhikkhuni (samanera/samaneri), dan 200an sampai 300an lebih sila untuk para bhikkhu dan bhikkhuni.

Pelaksanaan sila dapat dibagi menjadi 2 aspek: pasif dan aktif. Dalam kehidupan awam, sila yang dijalankan secara pasif adalah bila kita sekadar bertekad untuk tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan seksual yang salah, tidak berdusta, dan tidak mengonsumsikan zat-zat yang dapat melemahkan kesadaran. Pada aspek aktifnya, menjalankan sila berarti kita secara aktif melindungi suatu kehidupan (termasuk juga melestarikan lingkungan), bermurah hati, menghargai dan menjaga kehormatan diri dan yang lainnya, menjunjung dan menghargai kebenaran, menghargai kesejahteraan batin dan badan.                        

Kelompok moralitas dalam formulasi Jalan Mulia Berfaktor Delapan juga menyebutkan penghidupan dan perkataan benar. Mata pencaharian adalah salah satu bagian paling dominan dalam keseharian hidup kita, sesuatu yang selalu kita lakukan terus menerus dari hari ke hari hampir sepanjang hidup kita. Karena itu, mata pencaharian memiliki pengaruh dalam membentuk karakter diri kita dan kebiasaan-kebiasaan kita. Dan pada momen menjelang kematian, apa pun yang telah mengeras sebagai karakter atau kebiasaan akan mudah sekali muncul sebagai “tanda kematian” yang amat vital dalam menentukan ke mana kita pertama-tama akan menuju setelah meninggal dunia. Dengan begitu, memiliki mata pencaharian yang benar amatlah penting. Mata pencaharian yang benar adalah mata pencaharian apa pun yang tidak melanggar sila dan hukum negara, yang tidak merugikan makhluk lain dan diri sendiri. Contohnya seperti: tidak berdagang senjata, minuman keras, narkoba, binatang untuk disembelih, racun, tidak terlibat dalam prostitusi atau perjudian.     

Begitu pun dengan perkataan benar: kehidupan kita dipenuhi oleh perkataan-perkataan yang terucap, tak terucap, maupun yang berupa celutukan atau gema-gema dalam batin. Perilaku ucapan memiliki pengaruh menentukan apakah kita akan menjalankan sebuah kehidupan yang tenang dan harmonis atau sebaliknya. Perilaku ucapan yang terbiasa benar, santun, ramah, jujur dan tidak menyakitkan tidak menciptakan beban-beban penyesalan yang dapat memberati diri kita saat melangkah pergi dari kehidupan ini menuju kehidupan berikutnya. Sebagai akibatnya, kita dapat melangkah dengan ringan dan lega menuju kehidupan berikutnya.

Begitulah. Dengan melaksanakan moralitas sebaik-baiknya, berarti kita membiasakan diri dalam kebajikan sekaligus mengumpulkan bekal kekayaan kebajikan. Dan kedua hal ini amat membantu kita bersikap tenang dalam menghadapi kematian kita. 

Bersambung ke bagian 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar