Rabu, 30 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 10: Membantu Yang Lain Siap




Kematian adalah salah satu bagian kehidupan yang amat memberikan tekanan kepada kita. itulah mengapa amat penting untuk belajar menghadapinya sedari awal sehingga kita bisa menjalani pengalaman ini dengan tenang dan damai. Sama halnya dengan diri kita, orang lain pun perlu bisa menghadapi kematian dengan tenang. Dan bila kita bisa membantu yang lainnya untuk siap menghadapi kematian, itu akan menjadi suatu wujud kewelasan yang besar yang bisa kita lakukan. Itu karena faktanya dalam Buddhisme momen-momen menjelang kematian adalah momen-momen yang amat krusial dalam menentukan ke mana seseorang akan menuju setelah kematian. 

Bagaimanapun, menolong seseorang yang sedang sekarat untuk bisa bersikap tenang dan damai bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak hal harus kita pertimbangkan dengan saksama agar niat baik yang didasari welas asih dapat berhasil mengantarkan mereka menuju kematian yang indah.
Ketika seseorang sedang sekarat, mereka akan mengalami pelbagai macam kesulitan dan perubahan, dan hal ini secara alamiah menyebabkan munculnya kebingungan dan juga emosi-emosi yang menyakitkan. Mereka memiliki kebutuhan fisik—untuk diringankan rasa sakit dan ketidaknyamanannya, untuk dibantu dalam melakukan sebagian besar aktivitas-aktivitas rutin seperti minum, makan, dan mandi dan sebagainya. Mereka pun memiliki kebutuhan emosional—untuk diperlakukan dengan penuh hormat, cinta dan kelembutan hati; untuk bicara dan didengarkan; atau, pada waktu-waktu tertentu, untuk dibiarkan dalam kesendiriannya. Dan tentu saja, mereka punya kebutuhan spiritual—untuk memahami kehidupan, penderitaan, dan kematian yang akan mereka alami; untuk merasa bahwa mereka akan diperhatikan dan dibimbing oleh seseorang atau sesuatu yang jauh lebih bijaksana dan berdaya mampu ketimbang diri mereka.
Jadi, salah satu keterampilan paling penting dalam membantu orang yang sedang sekarat adalah untuk berusaha memahami kebutuhan mereka dan melakukan sebaik-baiknya mampu kita untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kita akan paling berhasil melakukan hal itu apabila kita mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan kita sendiri kapan pun kita mengunjungi mereka, dan membangkitkan batin kita agar semata-mata berada di sana hanya untuk mereka, siap sedia melakukan apa pun yang perlu dilakukan, apa pun yang akan membuat mereka merasa lebih nyaman, bahagia dan damai.
Untuk buku ini, kita akan memusatkan diri pada kebutuhan spiritual bagi orang yang sedang sekarat. Berikut ini beberapa halnya: 

1.      Mengelola emosi kita sendiri
      Ketika seseorang sedang sekarat, secara umum dia akan mengalami emosi-emosi negatif seperti rasa takut, penyesalan, kesedihan, kemelekatan terhadap orang-orang atau benda-benda dalam kehidupan, dan bahkan kadang kemarahan. Mereka bisa jadi mengalami kesulitan mengatasi emosi-emosi negatif ini. Kita bisa membantu mereka dengan duduk di sisinya, mendengarkan dengan penuh kewelasan apa pun yang mereka katakan dan menghibur mereka dengan kata-kata yang menenangkan.
Tapi untuk berhasil melakukan hal ini pertama-tama kita haruslah perlu tahu bagaimana berurusan dengan emosi kita sendiri. Menyaksikan seseorang yang sedang menjelang ajal sangat mungkin juga menimbulkan emosi-emosi negatif dalam diri kita sendiri. Dan bisa jadi beberapa dari emosi itu tidak biasa atau bahkan belum pernah kita alami sehingga membuat kita terkejut bahkan bingung. Jadi kita perlu tahu bagaimana berurusan dengan emosi-emosi dalam diri kita sendiri itu sebelum kita benar-benar bisa membantu orang yang sedang sekarat.
Salah satu metodenya adalah dengan meditasi kesadaran. Metode lain adalah dengan mengingat mengenai ketidaktetapan: fakta bahwa diri  kita, orang lain, tubuh dan batin kita, segala hal di dunia ini adalah tidak tetap, tidak kekal, selalu berubah, fana. Kesadaran dan penerimaan terhadap ketidaktetapan adalah salah satu antiracun paling ampuh bagi kemelekatan dan kelekatan, seperti juga penawar untuk rasa takut yang seringkali dirasakan sebagai penolakan terhadap perubahan. Melatih pernaungan pada Triratana (tiga permata mulia) Buddha, Dhamma, dan Sangha juga bisa memberikan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi dan berurusan dengan tubrukan emosi.
Jika orang yang sedang sekarat itu adalah salah satu anggota keliuarga atau sahabat kita, kesulitan kita bertambah. Secara alamiah kita akan jauh lebih melekat pada mereka ketimbang orang-orang yang tidak kita kenal. Meskipun sulit, kita harus belajar untuk melepaskan mereka, merelakan kepindahan mereka ke alam atau kehidupan lainnya. Jika tidak begitu, kita hanya akan menambah masalah yang sudah cukup banyak bagi mereka. Camkan bahwa senantiasa mengingat ketidaktetapan adalah obat paling mujarab bagi kemelekatan.

2.      Memberi Pengharapan dan Pemaafan
Saat sekarat, banyak orang mengalami rasa bersalah, penyesalan, depresi, dan keputusasaan. Kita bisa membantu mereka dengan membolehkan mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan menyimak penuturan itu dengan penuh kewelasan tanpa penghakiman. Dorong dan semangatilah mereka untuk mengingat hal-hal baik yang telah mereka lakukan dalam kehidupan mereka, dan untuk memandang secara positif kehidupan mereka, untuk memusatkan diri pada keberhasilan-keberhasilan atau kebajikan yang telah mereka kembangkan, bukannya kegagalan atau kesalahan yang telah mereka perbuat. Jika mereka berpikiran terbuka, katakanlah bahwa pada dasarnya kesejatian kita adalah baik dan murni dan bahwa kesalahan dan kekeliruan kita itu hanyalah sementara dan dapat dihapuskan seperti debu atau noda pada kaca jendela.
Beberapa orang bisa jadi melulu mengingat kesalahan-kesalahan mereka hingga mereka merasa tak termaafkan. Pandangan seperti ini amat keliru, karena dalam Buddhisme tak ada sesuatu pun yang tak termaafkan. Selalu ada kesempatan kedua untuk memperbaiki diri. Jika dalam kehidupan ini kita belum berkesempatan untuk itu, selama ada tekad dan kemauan yang tulus, Buddhisme percaya bahwa selalu ada kehidupan lain di mana kita bisa memperbaiki diri. Bahkan sesungguhnya kenyataan bahwa kita masih terus terlahir ulang membuktikan ada sesuatu yang harus kita selesaikan namun belum selesai: dari sudut pandang ini, kelahiran ulang adalah kesempatan untuk memperbaiki diri hingga pada titik tertentu kita sungguh menjadi makhluk paripurna seutuhnya, saat mana tak ada lagi perlunya terlahir kembali. Selain itu, kita bisa juga menekankan bahwa pemaafan selalu amat melegakan, baik itu dilakukan terhadap diri maupun orang lain. Jadi, amatlah tak berguna terus membebani diri dengan penyesalan atas kesalahan-kesalahan masa lalu, lebih-lebih saat di mana kita seharusnya meringankan langkah demi menjalankan satu perjalanan yang amat penting dalam kehidupan: perjalanan menuju alam lain.
Jika kesalahan yang dilakukan itu berkaitan dengan orang lain, dan jika orang itu masih hidup, kita bisa mendorong si sekarat untuk mengungkapkan penyesalan dan meminta maaf karena orang itu. Karena, sekali lagi, pemaafan selalu memberi kelegaan baik kepada yang meminta maupun kepada yang memberikan.

3.      Mencari Pernaungan Spiritual
Jika si sekarat adalah seorang Buddhis yang “serius” (Buddhis yang mempelajari Dharma dan mempraktikkannya sebagai jalan hidup), kita bisa mengingatkan mereka untuk mencari pernaungan pada Tiga Permata (Buddha, Dharma dan Sangha). Obyek-obyek yang mengingatkan kepada Tiga Permata itu bisa kita letakkan di sekitar mereka, seperti patung atau citra Buddha. Jika dimungkinkan, kita juga bisa mengajak mereka untuk menguncarkan paritta-paritta tertentu yang menjadi favorit mereka dan mendiskusikan Dharma atau bahkan bermeditasi bersama mereka.
Jika mereka bukan Buddhis “serius”, kita mungkin bisa menawarkan untuk mengenalkan Dharma kepada mereka. Jika tawaran ini bersambut, pertama-tama kita ajarkan hal-hal kaprah yang mudah diterima pemula seperti jangan berbuat jahat, perbanyak kebajikan dan sucikan batin sendiri. Lalu dari sana kita bisa fokuskan ke ajaran mengenai ketidaktetapan hingga berlanjut terus dengan mengajarkan teknik meditasi untuk membantu mereka mampu membiarkan berlalu. Namun jika tawaran ini tak bersambut, kita tak perlu memaksakan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar