Rabu, 23 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 7: Meditasi


Meditasi

Dalam bahasa Indonesia, kata “semedi” kadang dipakai untuk menyebutkan meditasi. Kata “semedi” ini kemungkinan besar berasal dari kata bahasa Pali samadhi. Samadhi berarti kestabilan konsentrasi atau ketenangan. Samadhi bisa dicapai melalui menjalankan suatu latihan meditasi. Dalam hal meditasi Buddhis, secara umum orang mengenalnya dalam 2 kategori: meditasi samatha atau meditasi ketenangan, dan meditasi vipassana atau meditasi pandangan cerah. Tapi guru meditasi seperti Ajahn Chah berpendapat, samatha dan vipassana itu tak dapat dipisahkan ibarat dua sisi telapak tangan dari satu tangan yang sama, atau dua sisi dari sekeping koin. Jadi menurut Ajahn Chah, tidak ada meditasi samatha dan tidak ada meditasi vipassana, meditasi itu hanya satu saja.

Mengenai meditasi, saya ingat bahwa pada sekitar 10 atau 20 tahun lalu, jika kita ingin mencari informasi mengenai meditasi, kita akan mengalami betapa sulitnya menemukan petunjuk tentang apa dan bagaimana bermeditasi. Sekarang? Wow…silakan googling dan nikmati luapan informasi tentang meditasi yang disediakan dalam pelbagai macam nama, bentuk dan rasa!

Saya sendiri mulai mengenal kata meditasi dari buku-buku Dhamma yang saya baca ketika saya masih duduk di bangku SMK (d/h STM) dulu. Karena masih asing, meditasi terasa begitu jauh dan tak terjangkau, dan ada prasangka buruk yang melingkupinya.

Sebagai contoh, ketika tahu saya tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang meditasi, salah seorang kerabat memperingati saya bahwa meditasi itu bisa membuat orang jadi gila. Untuk menegaskan keyakinannya, dia menunjukkan bukti salah seorang adik iparnya yang menjadi gila karena, menurutnya, bermeditasi.

Ternyata, anggapan salah seperti itu tidak hanya milik kerabat saya seorang.

Dalam bukunya, Don’t Worry Be Healthy (Karaniya), Dr.Phang Cheng Kar menceritakan tentang adanya anggapan keliru di kalangan Buddhis bahwa meditasi itu bisa membuat orang menjadi gila. Lebih jauh, beliau menjelaskan mengapa bisa terjadi anggapan seperti itu dan mengapa anggapan itu sangat keliru. Jelas saja keliru, karena ternyata kasus-kasus yang disangka kegilaan akibat meditasi sesungguhnya disebabkan oleh praktisi itu sendiri sudah mengalami gangguan jiwa sebelum dia berlatih meditasi. Jadi bukan meditasi yang menyebabkan kegilaan itu. Dalam kata-kata Ajahn Brahm: justru kalau kita tidak bermeditasilah kita bisa menjadi gila, he-he-he….

Ngomong-ngomong soal Ajahn Brahm, memang sudah menjadi ciri khasnya dalam setiap lontaran humor selalu terkandung suatu pesan moral yang tidak main-main. Tidak terkecuali yang tersebut di atas tadi. Sudah banyak bukti yang menyatakan bahwa orang-orang yang berlatih meditasi menjadi lebih bahagia, lebih waras, lebih sukses, lebih peka, lebih penuh pengertian dan lebih bisa berempati. Meditasi juga membuat kita menjadi lebih bisa melepas atau membiarkan berlalu, dan kemampuan inilah yang amat penting artinya tatkala kita menghadapi kematian. Pada tradisi Buddhisme seperti Tibetan Buddhis bahkan ada metode meditasi yang mengajarkan praktisinya untuk mengakrabi tahapan-tahapan kematian, sehingga dengan begitu dapat diharapkan praktisinya akan bisa bersikap tenang dan damai saat kematian tiba. Mengapa? Karena secara alamiah kita akan merasa lebih takut pada sesuatu yang tak kita kenal.  

Tetapi tentu saja, seperti halnya segala sesuatu di dunia, manfaat meditasi pun memerlukan proses. Untuk meraih dan menikmati manfaat-manfaat tersebut kita tidak bisa berharap secara sim salabim dengan satu kali sesi meditasi duduk 5 menit kita sudah bisa menjadi pribadi yang tercerahkan, bahagia, sehat, waras. Meditasi memerlukan latihan yang sinambung, tekun dan pantang menyerah. Sama seperti seseorang yang melatih otot-ototnya dengan secara rutin melakukan olah otot, meditasi pun juga begitu: semakin kita rajin berlatih dan terus berlatih, semakin hari “otot-otot” kesadaran kita akan semakin terbentuk. Dan semakin terbentuk “otot-otot” kesadaran kita, semakin kita merasakan manfaat-manfaat nyata dari meditasi.

Dan berkaitan dengan persiapan diri menghadapi kematian, seperti telah disebutkan di atas, menjadi penting sekali memiliki salah satu manfaat dari latihan meditasi. Yaitu, meditasi membuat kita lebih bisa melepas.

Mengapa begitu penting untuk mampu melepas?

Karena ketika kita sedang sekarat, jika pada saat yang amat genting itu kita masih terus menggenggam dunia, kita tidak akan bisa meninggal dengan tenang. Akibatnya, seperti yang kita yakini dalam Buddhisme, ada kemungkinan
kita akan terjatuh ke alam-alam rendah meskipun kita sebenarnya punya banyak timbunan jasa kebajikan yang membuat kita pantas mendapat 1 unit apartemen di surga. Tatkala kita telah terbiasa untuk melepas, kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan kita. dan karena kita melepas, kita tak membawa beban-beban penyesalan atau kemelekatan bersama kita. itu membuat langkah kita menjadi ringan, memungkinkan kita terbang membubung tinggi menuju alam atau kehidupan yang lebih mulia, dan dari sana kita menjadi semakin dekat dengan kebebasan sejati.  


Jadi, latihan meditasi membuat kita lebih mampu melepas atau membiarkan berlalu, dan lebih mengenal tahapan-tahapan kematian sehingga kita tak lagi takut atau cemas menghadapinya ketika waktunya telah tiba, cepat atau lambat tapi pasti. 

Kebijaksanaan

Kebijaksanaan berarti mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana tampaknya. Kebijaksanaanlah yang mencegah kita tertipu oleh delusi, oleh suatu imaji yang tampak seolah-olah berharga padahal tidak, indah padahal tidak, dan membahagiakan padahal tidak.

Dalam keseharian hidup, kita bisa mengembangkan kebijaksanaan dengan tak pernah bosan untuk belajar dari buku-buku dan bahkan dari mereka yang secara akademis diragukan namun memiliki segudang kebijaksanaan yang lahir dari pergulatan hidup. Kita juga harus bergaul dengan mereka yang bijak, banyak berdiskusi tentang Dhamma dan hal-hal yang berguna untuk kemajuan spiritual, dan melatih diri dalam keheningan meditatif. Meskipun kebijaksanaan bisa dipelajari melalui buku-buku dan diskusi, kebijaksanaan sejati itu sendiri hanya dapat kita raih melalui pengalaman langsung kita. karena buku-buku dan diskusi hanyalah teori, kebijaksanaan yang berasal dari pengalaman orang lain. Dalam Buddhisme, kita diajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan tanpa tapi, kebebasan sejati, menjadi bajik saja tidaklah cukup. Kebajikan tanpa disertai dengan kebijaksanaan akan menjadikan kita orang baik hati yang bodoh. Demikian juga kebijaksanaan sendiri tak dapat membawa kita menyeberang ke pantai seberang. Karena kebijaksanaan tanpa kebajikan akan menjadikan kita orang bijak yang tidak berbelas kasih. Dengan demikian, kebajikan dan kebijaksanaan dapat diumpamakan sebagai sepasang sayap, dan kita terbang membubung ke pantai seberang dengan menggunakannya.    

Mengembangkan Cinta Kasih

Empat sifat luhur yang dalam bahasa Pali disebut Empat Brahma Vihara adalah empat kualitas luhur yang Buddha ingin kita latih dan kembangkan. Mengapa Buddha ingin kita begitu? Karena Beliau mahapengasih dan mahatahu. Beliau mengasihi kita, ingin kita murid-murid-Nya ini bebas dari derita, dan Beliau tahu jika kita melatih dan mengembangkan empat kualitas ini maka kita akan hidup bahagia di dunia ini maupun berikutnya.

Dari keempat kualitas luhur ini—cinta kasih (metta), welas asih (karuna), belasuka (mudita), dan ketenangseimbangan (upekkha)—yang paling dekat kaitannya berkenaan dengan mempersiapkan diri menghadapi kematian adalah cinta kasih. Karena salah satu manfaat dari mengembangkan cinta kasih menyebabkan pelakunya tidak mengalami kesulitan ketika ajal tiba.

Dalam naskah-naskah suci kita bisa temukan petunjuk yang telah diberikan untuk melatih dan mengembangkan empat kualitas luhur ini. Khususnya untuk mengembangkan cinta kasih, salah cara kita dapat melatihnya melalui mempraktikkan meditasi cinta kasih.

Meskipun pada intinya sama, dalam praktiknya ada banyak macam cara mempraktikkan meditasi cinta kasih. Petunjuk dari guru tertentu, misalnya, tak mengharuskan kita untuk pertama-tama memancarkan cinta kasih kepada diri kita dulu. Guru lain menyarankan sebaiknya diri kita dulu yang kita pancarkan cinta kasih sebelum ke orang-orang di sekitar kita dengan alasan bahwa kita tak mungkin bisa memancarkan cinta kasih kepada orang lain apabila diri kita

sendiri belum kita cinta kasihi terlebih dulu. Menurut petunjuk ini, kita melakukan suatu pemancaran cinta kasih yang pertama-tama ke diri sendiri, lalu ke orang-orang terdekat kita seperti kepada orangtua kita, kemudian kepada saudara dekat, teman dan kerabat jauh, dan terakhir kepada semua makhluk. Pemancaraan ini dipandu dengan suatu rumusan tertentu yang diucapkan berulang-ulang dalam hati. Jika dipancarkan pertama-tama pada diri sendiri, contohnya adalah seperti berikut:

Semoga saya bebas dari marabahaya
Semoga saya bebas dari penderitaan batin
Semoga saya bebas dari penderitaan jasmani
Semoga saya dapat menjalankan kehidupan dengan bahagia      

Dan untuk langkah selanjutnya ketika dipancarkan kepada orangtua, kata “saya” diganti dengan sebutan kita untuk mereka, dan selanjutnya. Jika memungkinkan, akan lebih baik disertai juga dengan visualisasi atau membayangkan wajah dari orang yang kepada siapa kita pancarkan cinta kasih kita. Dan seperti pada metodenya, rumusan itu pun bisa berbeda-beda, tidak harus baku seperti itu. Untuk keterangan lebih jauh tentang meditasi cinta kasih, buku yang bagus dan perlu dibaca adalah “Meredam Marah Menebar Metta” karya Ven. Visuddhacara dan “Superpower Mindfulness” karya Ajahn Brahm.     




bersambung ke bagian 8

1 komentar:

  1. Belajar bermeditasi yg aman hanya bisa lewat bimbingan yg benar dan berlatih dgn tekun setiap hari sepanjang waktu.

    BalasHapus