Selasa, 01 November 2011

Syukur Sejati


Bila kita berbicara tentang rasa syukur dan bagaimana cara mempraktikkannya, kita dapat mengenali adanya suatu pola umum yang sudah dianggap lazim. Pola itu adalah memunculkan rasa syukur melalui membandingkan keadaan diri kita dengan mereka yang lebih susah atau buruk keadaannya.

Sudah beberapa kali saya mendapatkan posting atau email presentasi yang bertemakan rasa syukur. Dalam posting atau presentasi seperti itu selalu termuat satu alur kisah yang sama: di satu sisi ditampilkan gambar dari kehidupan dunia modern dengan segala kenyamanannya, sementara sisi lainnya pada bidang yang sama atau yang berurutan, kita disuguhi gambaran-gambaran memprihatinkan dari kelaparan, kesengsaraan, dan segala macam hal buruk yang bagi orang-orang dunia modern nan beruntung bisa jadi akan terasa bagai gambaran neraka di bumi. Ditambah dengan kalimat narasi singkat pada bagian bawah setiap gambar, presentasi itu berharap bisa menggugah kesadaran syukur kita. Dan memang, rasanya, bagi sebagian besar orang tujuan itu bisa tercapai.

Meskipun begitu, saya pribadi merasakan ada sesuatu yang kurang benar di sini.

Tentu, saya setuju bahwa kita patut mengembangkan rasa syukur dan kecukupan hati atas apa pun yang kita miliki kini dalam kehidupan keseharian kita. Karena memang kenyataannya di dunia ada orang-orang yang keadaannya, dengan memakai standar tertentu, mungkin kita nilai lebih buruk daripada keadaan kita. Ada banyak penderitaan yang lebih besar daripada sekadar putus cinta, misalnya, atau daripada sekadar harapan yang tak kesampaian. Tapi di sisi lain, tidakkah perbandingan seperti itu menempatkan mereka—yang kita nilai atau anggap lebih buruk keadaannya itu—sebagai semacam “obyek penderitaan” demi memampukan kita membangkitkan rasa syukur atas kehidupan kita sendiri? Tidakkah bahwa cara seperti ini adalah pembangkitkan rasa syukur yang artifisial, buatan, palsu, yang bukan berasal dari kesadaran dan atas dasar pengetahuan sejati bahwa kehidupan, apa pun keadaannya dan bagaimanapun rupanya terlepas dari ada atau tidak orang-orang yang kita anggap sebagai “kurang beruntung”, adalah patut disyukuri karena keberhargaannya, karena kita masih bisa menjalankannya, karena kita masih sehat, dan karena kita masih mempunyai kesempatan untuk mengembangkan diri. 

Cukup! Berhenti di sini!

Jangan melanjutkan dengan membandingkan “..sementara orang lain tidak bisa lagi menjalaninya dan tidak memiliki kesehatan yang baik….” Jangan menggantungkan diri pada orang lain! Jangan jadikan orang lain sebagai “obyek penderitaan” demi memperoleh rasa syukur!

Percayalah pada diri sendiri bahwa diri kita dapat membangkitkan rasa syukur semata-mata dari merenungkan dan sungguh-sungguh menghargai apa yang telah kita miliki kini. Fokuslah merenung, dan rasakan saat rasa itu mulai mekar, membuncah, terasa hangat di dada, maka setelahnya kita bisa membagi rasa itu dengan memancarkannya kepada, pertama-tama, orang-orang yang terdekat dengan kita, berharap semoga mereka pun dapat bersyukur juga dan bahagia. Lalu dari sana kita meluaskannya ke seluruh penjuru dunia, kepada makhluk-makhluk yang tampak maupun tak nampak, yang ada di alam ini maupun alam lainnya….tanpa batas, tanpa diskriminasi, tanpa menganggap mereka sebagai “lebih kurang beruntung daripada kita”…tanpa suatu rasa kesedihan dan kasihan, serta keangkuhan halus yang menganggap diri lebih beruntung.

010111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar