Tampilkan postingan dengan label mati itu pasti. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mati itu pasti. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 10: Membantu Yang Lain Siap




Kematian adalah salah satu bagian kehidupan yang amat memberikan tekanan kepada kita. itulah mengapa amat penting untuk belajar menghadapinya sedari awal sehingga kita bisa menjalani pengalaman ini dengan tenang dan damai. Sama halnya dengan diri kita, orang lain pun perlu bisa menghadapi kematian dengan tenang. Dan bila kita bisa membantu yang lainnya untuk siap menghadapi kematian, itu akan menjadi suatu wujud kewelasan yang besar yang bisa kita lakukan. Itu karena faktanya dalam Buddhisme momen-momen menjelang kematian adalah momen-momen yang amat krusial dalam menentukan ke mana seseorang akan menuju setelah kematian. 

Bagaimanapun, menolong seseorang yang sedang sekarat untuk bisa bersikap tenang dan damai bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak hal harus kita pertimbangkan dengan saksama agar niat baik yang didasari welas asih dapat berhasil mengantarkan mereka menuju kematian yang indah.
Ketika seseorang sedang sekarat, mereka akan mengalami pelbagai macam kesulitan dan perubahan, dan hal ini secara alamiah menyebabkan munculnya kebingungan dan juga emosi-emosi yang menyakitkan. Mereka memiliki kebutuhan fisik—untuk diringankan rasa sakit dan ketidaknyamanannya, untuk dibantu dalam melakukan sebagian besar aktivitas-aktivitas rutin seperti minum, makan, dan mandi dan sebagainya. Mereka pun memiliki kebutuhan emosional—untuk diperlakukan dengan penuh hormat, cinta dan kelembutan hati; untuk bicara dan didengarkan; atau, pada waktu-waktu tertentu, untuk dibiarkan dalam kesendiriannya. Dan tentu saja, mereka punya kebutuhan spiritual—untuk memahami kehidupan, penderitaan, dan kematian yang akan mereka alami; untuk merasa bahwa mereka akan diperhatikan dan dibimbing oleh seseorang atau sesuatu yang jauh lebih bijaksana dan berdaya mampu ketimbang diri mereka.
Jadi, salah satu keterampilan paling penting dalam membantu orang yang sedang sekarat adalah untuk berusaha memahami kebutuhan mereka dan melakukan sebaik-baiknya mampu kita untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kita akan paling berhasil melakukan hal itu apabila kita mengesampingkan kebutuhan-kebutuhan dan harapan-harapan kita sendiri kapan pun kita mengunjungi mereka, dan membangkitkan batin kita agar semata-mata berada di sana hanya untuk mereka, siap sedia melakukan apa pun yang perlu dilakukan, apa pun yang akan membuat mereka merasa lebih nyaman, bahagia dan damai.
Untuk buku ini, kita akan memusatkan diri pada kebutuhan spiritual bagi orang yang sedang sekarat. Berikut ini beberapa halnya: 

1.      Mengelola emosi kita sendiri
      Ketika seseorang sedang sekarat, secara umum dia akan mengalami emosi-emosi negatif seperti rasa takut, penyesalan, kesedihan, kemelekatan terhadap orang-orang atau benda-benda dalam kehidupan, dan bahkan kadang kemarahan. Mereka bisa jadi mengalami kesulitan mengatasi emosi-emosi negatif ini. Kita bisa membantu mereka dengan duduk di sisinya, mendengarkan dengan penuh kewelasan apa pun yang mereka katakan dan menghibur mereka dengan kata-kata yang menenangkan.
Tapi untuk berhasil melakukan hal ini pertama-tama kita haruslah perlu tahu bagaimana berurusan dengan emosi kita sendiri. Menyaksikan seseorang yang sedang menjelang ajal sangat mungkin juga menimbulkan emosi-emosi negatif dalam diri kita sendiri. Dan bisa jadi beberapa dari emosi itu tidak biasa atau bahkan belum pernah kita alami sehingga membuat kita terkejut bahkan bingung. Jadi kita perlu tahu bagaimana berurusan dengan emosi-emosi dalam diri kita sendiri itu sebelum kita benar-benar bisa membantu orang yang sedang sekarat.
Salah satu metodenya adalah dengan meditasi kesadaran. Metode lain adalah dengan mengingat mengenai ketidaktetapan: fakta bahwa diri  kita, orang lain, tubuh dan batin kita, segala hal di dunia ini adalah tidak tetap, tidak kekal, selalu berubah, fana. Kesadaran dan penerimaan terhadap ketidaktetapan adalah salah satu antiracun paling ampuh bagi kemelekatan dan kelekatan, seperti juga penawar untuk rasa takut yang seringkali dirasakan sebagai penolakan terhadap perubahan. Melatih pernaungan pada Triratana (tiga permata mulia) Buddha, Dhamma, dan Sangha juga bisa memberikan kekuatan dan keberanian untuk menghadapi dan berurusan dengan tubrukan emosi.
Jika orang yang sedang sekarat itu adalah salah satu anggota keliuarga atau sahabat kita, kesulitan kita bertambah. Secara alamiah kita akan jauh lebih melekat pada mereka ketimbang orang-orang yang tidak kita kenal. Meskipun sulit, kita harus belajar untuk melepaskan mereka, merelakan kepindahan mereka ke alam atau kehidupan lainnya. Jika tidak begitu, kita hanya akan menambah masalah yang sudah cukup banyak bagi mereka. Camkan bahwa senantiasa mengingat ketidaktetapan adalah obat paling mujarab bagi kemelekatan.

2.      Memberi Pengharapan dan Pemaafan
Saat sekarat, banyak orang mengalami rasa bersalah, penyesalan, depresi, dan keputusasaan. Kita bisa membantu mereka dengan membolehkan mereka mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan menyimak penuturan itu dengan penuh kewelasan tanpa penghakiman. Dorong dan semangatilah mereka untuk mengingat hal-hal baik yang telah mereka lakukan dalam kehidupan mereka, dan untuk memandang secara positif kehidupan mereka, untuk memusatkan diri pada keberhasilan-keberhasilan atau kebajikan yang telah mereka kembangkan, bukannya kegagalan atau kesalahan yang telah mereka perbuat. Jika mereka berpikiran terbuka, katakanlah bahwa pada dasarnya kesejatian kita adalah baik dan murni dan bahwa kesalahan dan kekeliruan kita itu hanyalah sementara dan dapat dihapuskan seperti debu atau noda pada kaca jendela.
Beberapa orang bisa jadi melulu mengingat kesalahan-kesalahan mereka hingga mereka merasa tak termaafkan. Pandangan seperti ini amat keliru, karena dalam Buddhisme tak ada sesuatu pun yang tak termaafkan. Selalu ada kesempatan kedua untuk memperbaiki diri. Jika dalam kehidupan ini kita belum berkesempatan untuk itu, selama ada tekad dan kemauan yang tulus, Buddhisme percaya bahwa selalu ada kehidupan lain di mana kita bisa memperbaiki diri. Bahkan sesungguhnya kenyataan bahwa kita masih terus terlahir ulang membuktikan ada sesuatu yang harus kita selesaikan namun belum selesai: dari sudut pandang ini, kelahiran ulang adalah kesempatan untuk memperbaiki diri hingga pada titik tertentu kita sungguh menjadi makhluk paripurna seutuhnya, saat mana tak ada lagi perlunya terlahir kembali. Selain itu, kita bisa juga menekankan bahwa pemaafan selalu amat melegakan, baik itu dilakukan terhadap diri maupun orang lain. Jadi, amatlah tak berguna terus membebani diri dengan penyesalan atas kesalahan-kesalahan masa lalu, lebih-lebih saat di mana kita seharusnya meringankan langkah demi menjalankan satu perjalanan yang amat penting dalam kehidupan: perjalanan menuju alam lain.
Jika kesalahan yang dilakukan itu berkaitan dengan orang lain, dan jika orang itu masih hidup, kita bisa mendorong si sekarat untuk mengungkapkan penyesalan dan meminta maaf karena orang itu. Karena, sekali lagi, pemaafan selalu memberi kelegaan baik kepada yang meminta maupun kepada yang memberikan.

3.      Mencari Pernaungan Spiritual
Jika si sekarat adalah seorang Buddhis yang “serius” (Buddhis yang mempelajari Dharma dan mempraktikkannya sebagai jalan hidup), kita bisa mengingatkan mereka untuk mencari pernaungan pada Tiga Permata (Buddha, Dharma dan Sangha). Obyek-obyek yang mengingatkan kepada Tiga Permata itu bisa kita letakkan di sekitar mereka, seperti patung atau citra Buddha. Jika dimungkinkan, kita juga bisa mengajak mereka untuk menguncarkan paritta-paritta tertentu yang menjadi favorit mereka dan mendiskusikan Dharma atau bahkan bermeditasi bersama mereka.
Jika mereka bukan Buddhis “serius”, kita mungkin bisa menawarkan untuk mengenalkan Dharma kepada mereka. Jika tawaran ini bersambut, pertama-tama kita ajarkan hal-hal kaprah yang mudah diterima pemula seperti jangan berbuat jahat, perbanyak kebajikan dan sucikan batin sendiri. Lalu dari sana kita bisa fokuskan ke ajaran mengenai ketidaktetapan hingga berlanjut terus dengan mengajarkan teknik meditasi untuk membantu mereka mampu membiarkan berlalu. Namun jika tawaran ini tak bersambut, kita tak perlu memaksakan diri.

Minggu, 27 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 9: Persiapan Duniawi

Persiapan Duniawi

Selain secara spiritual, kita perlu juga mempersiapkan hal-hal yang bersifat duniawi untuk dapat menghadapi kematian dengan tenang dan bahagia. Persiapan duniawi ini lebih menyangkut hal-hal yang melibatkan keluarga kita atau orang-orang yang berada dalam lingkaran kehidupan keseharian kita.

Surat Wasiat

Surat wasiat adalah suatu pernyataan tertulis yang dibuat oleh seseorang yang berisikan petunjuk-petunjuk mengenai apakah yang diinginkan oleh seseorang apabila dia meninggal dunia. Petunjuk-petunjuk ini biasanya berkaitan dengan harta benda yang ditinggalkan, cara atau ritual kematian yang diinginkannya, dan pesan-pesan terakhir untuk keluarga atau lingkaran terdekatnya.

Menulis surat wasiat sangatlah bermanfaat mengingat bahwa ketika seseorang meninggal dunia ada potensi masalah yang mungkin ditinggalkannya untuk keluarga atau orang-orang terdekatnya. Seperti misalnya tentang siapa yang berhak mendapatkan harta waris yang mana dan bagaimana, atau apakah almarhum/almarhumah ingin diadakan ritual kematian sesuai tradisi setempat atau menuruti ajaran agama yang dianutnya, apakah dikubur atau dikremasi dan sebagainya.Dan andai ada surat wasiat yang dtinggalkan maka masalah kemungkinan tak akan timbul karena semua orang bisa mengetahui apakah yang menjadi keinginan atau pesan-pesan dari almarhum/almarhumah. Ditambah dengan kenyataan bahwa secara umum semua ajaran menekankan penganutnya untuk menghormati apa pun yang menjadi keinginan terakhir dari orang yang meninggal sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran itu dan hukum yang berlaku, maka perlunya membuat sebuah surat wasiat demi mencegah konflik menjadi bertambah lagi.

Surat wasiat dapat dibuat dalam 2 cara yakni dinotariskan atau di bawah tangan.
Surat wasiat yang dinotariskan (akta wasiat) akan didaftarkan pada Balai Harta Peninggalan dibawah Departemen Hukum dan HAM. Kekuatan hukum akta wasiat ini tidak dapat dibatalkan secara sepihak melainkan harus melalui putusan pengadilan. Singkatnya, wasiat yang melalui akta wasiat lebih menjamin secara hukum, baik bagi si yang mengeluarkan wasiat atau bagi mereka yang menerima wasiat.

Surat wasiat yang dibuat bawah tangan tentunya cukup ditanda tangani oleh si pembuat wasiat dan dilengkapi tanda tangan para saksi minimal 2 orang. Secara hukum, surat wasiat dibawah tangan ini tidak memberikan jaminan hukum karena dapat dibatalkan secara sepihak. Lagipula, cara itu sudah banyak ditinggalkan mengingat rawan terhadap konflik hukum yang timbul dikemudian hari.

Dalam surat wasiat, baik yang dibuat di notaris maupun di bawah tangan harus menunjuk seseorang atau lebih sebagai pelaksana dari wasiat tersebut. Kepada para pelaksana wasiat, pewaris dapat memberikan penguasaan atas semua barang dari harta peninggalan, atau bagian tertentu daripadanya. Penguasaan itu meliputi baik barang-barang tetap maupun barang-barang bergerak. Berdasarkan Pasal 1007 KUHPerdata, Penguasaan itu menurut hukum tidak akan berlangsung lebih lama daripada setahun, terhitung dari hari ketika para pelaksana dapat menguasai barang-barang itu.

Asuransi Jiwa

Asuransi adalah sebuah perjanjian hukum antara perusahaan asuransi dengan pihak yang menggunakan asuransi. Pihak pengguna asuransi ini adalah orang-orang yang memiliki risiko yang sama dan sepakat menunjuk sebuah perusahaan asuransi untuk menanggung risiko yang sewaktu-waktu bisa terjadi dalam kehidupan mereka. Perjanjian dengan perusahaan asuransi ini disebut Kontrak Asuransi, dan bentuk tercetaknya (bentuk fisiknya) yang berfungsi sebagai bukti perjanjian antara pihak Penanggung (perusahaan asuransi) dan pihak Tertanggung (pengguna asuransi) disebut Polis Asuransi. Melalui perjanjian ini pihak Tertanggung (Pengguna Asuransi) wajib membayar sejumlah dana secara berkala yang disebut Premi kepada pihak Penanggung (Perusahaan Asuransi) yang besarnya sesuai dengan yang telah ditentukan dalam Kontrak Asuransi.  

Dalam keseharian, asuransi ada banyak macam sesuai dengan jenis pertanggungannya. Ada asuransi jiwa, kesehatan, pendidikan, kecelakaan kerja, kebakaran, kehilangan, dan juga asuransi mobil. Bahkan ada pula asuransi khusus yang hanya menanggung bagian-bagian tertentu dari tubuh seseorang yang dianggap sebagai aset berharga. Misalnya asuransi pita suara untuk para penyanyi, asuransi jemari tangan untuk para pelukis dan ahli bedah.

Selain jenis pertanggungannya, asuransi juga dibedakan dengan asuransi  murni dan asuransi plus investasi atau biasa disebut unit link. Asuransi murni semata-mata hanyalah asuransi, tidak ada nilai investasi atau imbal hasil yang diberikan selain manfaat berupa uang pertanggungan. Untuk unit link atau asuransi yang juga investasi, pemegang polis mendapat kesempatan menikmati hasil investasi yang dipilihnya. Jadi, dari uang premi berkala yang dibayarkan, beberapa bagian dari dana itu oleh perusahaan asuransi akan diinvestasikan ke pasar modal berupa saham, atau deposito atau lainnya tergantung kesepakatan.



Mengenai asuransi jiwa, memiliki asuransi jiwa dengan memegang minimal 1 buah polis jelas adalah sebuah tindakan mempersiapkan diri menghadapi kematian yang bijaksana.

Mengapa?

Bukan, bukan karena dengan memiliki asuransi jiwa kita terlindung dari kematian dalam arti Raja Kematian tidak akan bisa mencabut nyawa kita! Tapi dengan memiliki asuransi jiwa berarti kita telah menunjukkan suatu kepedulian atau rasa tanggung jawab terhadap keluarga atau orang-orang terdekat yang kita tinggalkan ketika kita harus “pindah alamat” ke alam lain. Dengan memiliki asuransi jiwa berarti pihak perusahaan asuransi wajib membayarkan uang pertanggungan sejumlah tertentu, sesuai kesepakatan yang tertera dalam Kontrak Asuransi antara kita dengan mereka, kepada para ahli waris yang telah kita tentukan. Dengan demikian, misalnya jika kita adalah tulang punggung keluarga, pencari nafkah satu-satunya atau yang utama, maka keluaga kita tetap dapat menjalankan kehidupan mereka tanpa harus cemas akan biaya-biaya hidup karena uang pertanggungan yang kita wariskan kepada mereka itu akan cukup untuk itu.

Kini, setelah mengetahui manfaat memiliki asuransi, karena Kontrak Asuransi adalah kontrak yang berdurasi panjang dan melibatkan dana yang kadang tidak sedikit jumlahnya, kita perlu cermat memilih perusahaan asuransi yang dapat dipercaya. Untuk membantu memilih perusahaan asuransi yang dapat dipercaya, berikut ini tip-tip dari Eko Endarto, seorang Perencana Keuangan, seperti yang dikutip dari Tabloid Kontan edisi April 2008, sebagai berikut:
1.      Reasuransi
Reasuransi secara gampang bisa diartikan sebagai perusahaan asuransi-nya perusahaan asuransi. Artinya perusahaan asuransi dalam kegiatan operasionalnya, untuk mengurangi risiko yang juga bisa terjadi padanya, mengasuransikan juga risiko tersebut kepada perusahaan asuransi lainnya. Dan biasanya perusahaannya lebih besar.
Jadi perhatikan hal ini, tanyakan apakah perusahaan asuransi yang akan Anda ambil memiliki perusahaan reasuransi. Ini penting bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap perusahaan asuransi pilihan Anda, ada perusahaan lain yaitu perusahaan reasuransi tadi yang menjamin kelangsungan baik itu hak Anda atas proteksi maupun kewajiban pembayaran premi Anda. Ini juga pentingnya Anda harus mengenal pihak manajemen perusahaan agar bila terjadi sesuatu, informasinya tetap bisa Anda dapatkan.
2.      Usia
“Makin tua usianya seharusnya akan makin matang seseorang”. Walaupun sepertinya terlalu klise, tapi harus diakui usia cukup berpengaruh.Sebuah perusahaan asuransi yang berusia lebih tua dari pada perusahaan lainnya bisa diartikan bahwa perusahaan asuransi tersebut memiliki modal yang cukup kuat sehingga sampai dengan usia yang cukup tinggi tetap eksis. Selain itu juga menggambarkan bagaimana cara manajemen mengelola dana nasabahnya. Dengan makin tua usianya, dapat diartikan bahwa si perusahaan mampu mengelola dana tersebut dengan optimal. Baik itu untuk mendapatkan hasil bagi pengembangan perusahaan maupun manajemen risiko yang terukur untuk menjamin hak-hak nasabahnya. Sebab secara logika saja, mana mungkin dia bisa bertahan lama bila tidak bisa mengatur keuangannya dengan baik.
3.      Keuangan
Kalau bicara tentang perusahaan keuangan, tidak lengkap kalau tidak berbicara tentang keuangannya. Dalam perbankan kita sudah sangat awam dengan pengukuran kesehatan bank yang namanya CAR. Dan di asuransi tingkat kesehatan keuangannya biasa diukur dengan RBC atau Risk Based Capital. Tingkat RBC yang bisa dibilang sehat adalah bila RBC-nya lebih besar dari 120%. Tapi tentu saja, makin besar pasti makin baik. Bandingkan hal ini dalam memilih perusahaan asuransi karena RBC ini mengambarkan bagaimana si perusahaan mengelola keuangannya sebaik dan seaman mungkin. Sebab harus diingat, bila kita mengambil asuransi berarti kita akan berbicara mengenai kontrak jangka panjang.
4.      Nasabah
Hal keempat yang bisa dijadikan acuan adalah nasabah. Barapa besar sih basis nasabah yang mereka miliki? Ukurannya adalah makin banyak nasabah maka makin baik-lah perusahaan asuransi itu. Kenapa demikian? Karena makin banyaknya nasabah akan memperlihatkan bagaimana tingkat pelayanan yang telah dilakukan si perusahaan. Hal ini dapat berarti bagaimana perhatiannya terhadap nasabah, kemudahan klaim dan tentu saja keamanan dana yang dipercayakan.
Kalau Anda akan memilih perusahaan asuransi asing yang beroperasi di Indonesia, tanyakan juga berapa banyak nasabah lokal yang dimiliki dan tersebar di berapa kota. Hal ini penting karena bisa saja terjadi walaupun diluar negeri mereka menjadi kepercayaan; namun di Indonesia mereka kurang. Dan tingkat penyebaran juga menunjukkan bagaimana luasnya tingkat pelayanan yang mereka berikan. Tingkat penyebaran ini penting khususnya untuk Anda yang memilih asuransi kesehatan. Sebab tidak lucu kan kalau dalam perjalanan ke suatu kota dan Anda sakit, ternyata harus kembali ke kota asal untuk sekedar rawat inap.
5.      Komplain/Keluhan
Sebagai tambahan,mungkin hal ini bisa Anda lakukan. Lakukan selalu cross check kepada pihak luar terhadap rencana pilihan Anda. Pihak yang utama harus Anda hubungi adalah nasabah kalau memungkinkan, pihak ketiga yang menjadi penghubung misalnya bank atau rumah sakit bila itu adalah asuransi kesehatan, dan tidak menutup kemungkinan ada bagusnya Anda bertanya pada para financial planner independent Anda. Sebab adalah lebih bagus menerima masukan dari banyak sisi dibandingkan dari satu sisi; apalagi bila satu sisi itu hanya dari sisi perusahaan.
Atau kalau mau mudah, cermati saja berapa banyak keluhan yang dilakukan nasabah mereka di media massa dalam 6 bulan terakhir. Sebab biasanya dari banyaknya orang yang mengeluh, sekitar 20% biasanya mengungkapkannya di media massa baik itu Koran atau internet. Hari ini saya mengetik keyword asuransi + keluhan, maka yang saya peroleh adalah lebih dari 5000 artikel yang berisikan kata asuransi + keluhan dari konsumen terhadap perusahaan asuransinya. Jadi jangan malas untuk membandingkan.

Akhirnya, sama seperti pemilihan barang ataupun jasa lainnya, Anda semua sebaiknya memiliki dasar yang kuat dalam melakukan pilihan. Yang utama memang adalah selalu pilih produk yang sesuai dengan kebutuhan Anda. Namun itu saja tidak cukup. Pilih juga dengan benar perusahaan yang menyediakan barang atau jasa tersebut. Walaupun barangnya bagus tapi si penyedia tidak bagus juga percuma. Jadi mulai saat ini jangan lagi memilih perusahaan asuransi hanya karena kenal kepada si penjual apalagi karena merasa tidak enak karena tidak beli. Minimal bandingkan 5 hal di atas sebagai alasan dalam memilih atau menolaknya.

Lalu, setelah menentukan perusahaan asuransi yang sesuai, kita tidak bisa langsung membeli asuransi. Kita harus mencari agen asuransi, orang yang kepada siapa kita akan berurusan dalam hal pembelian asuransi dan hal-hal lainnya yang merupakan ikutannya. Jadi, di sini agen asuransi adalah perantara antara kita dengan perusahaan asuransi. Untuk memilih agen asuransi yang terpercaya dan dapat diandalkan, berikut tip-tip yang dikutip dari solusiasuransi.com, sebagai berikut:

1. Pilihlah agen yang berintegritas
Integritas seorang agen asuransi jauh lebih penting daripada semua hal lain. Banyak fitur dalam polis asuransi yang cukup kompleks dan tidak semuanya sama pentingnya. Beberapa agen merekomendasikan produk tertentu tanpa alasan lain kecuali ingin mendapatkan komisi yang lebih tinggi. Tidak sedikit pula agen asuransi yang “hit and run”, hanya bagus ketika menjual namun tidak begitu peduli dengan layanan purna jual.
Carilah orang yang akan bertindak sebagai mitra Anda, memberikan informasi tambahan, mengusulkan alternatif, dan tidak memaksa Anda untuk membeli produk. Jika Anda mendapatkan terlalu banyak tekanan untuk cepat membeli, beralihlah ke orang lain.

Salah satu cara terbaik untuk mendapatkan agen yang bagus adalah meminta referensi dari teman-teman, anggota keluarga, rekan kerja atau profesional lain yang pernah bekerja sama dengan Anda (konsultan pajak, bankir, notaris, dll). Bila agen asuransi yang mendatangi Anda, mintalah referensi para nasabah yang telah dilayaninya. Anda bisa mengecek rekam jejak sang agen dari nasabah-nasabahnya.

2. Pilihlah agen yang profesional
Anda perlu memastikan bahwa agen yang Anda pilih memiliki keahlian untuk memenuhi kebutuhan Anda:

* Periksalah lisensi agen
Agen asuransi jiwa harus memiliki lisensi dari AAJI (Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia) untuk dapat menjual produk asuransi. Agen yang menjual produk asuransi unit-link harus memiliki tambahan lisensi khusus. Untuk mendapatkan lisensi-lisensi ini, seorang agen harus lulus dalam sejumlah ujian kompetensi di bidangnya. Agen yang tidak berlisensi dapat menyampaikan informasi produk yang tidak akurat atau menyesatkan kepada nasabahnya.

* Ketahuilah spesialisasi agen
Beberapa agen asuransi mengkhususkan diri dalam asuransi jiwa tradisional, sedangkan yang lain mungkin lebih mendalami bidang asuransi jiwa unit-link, asuransi kumpulan atau asuransi kesehatan.

* Ketahuilah kualifikasi agen
Gelar profesional seperti Chartered Life Underwriter (CLU), Chartered Financial Consultant (ChFC), Certified Financial Planner (CFP) dan Life Underwriter Training Council Fellow (LUTCF) menunjukkan bahwa agen tersebut telah menyelesaikan pelatihan lanjutan, lulus ujian yang ketat dan serius dengan pengembangan profesinya. Seorang agen yang menjadi anggota Million Dollar Round Table (MDRT)berarti telah memasuki jajaran elit agen papan atas. Mereka pasti telah memiliki daftar nasabah yang panjang, pengalaman yang lama dan mengikuti kode etik profesi yang ketat.

3. Pilihlah dari beberapa agen
Bila perlu, temuilah secara langsung setidaknya dua agen asuransi agar dapat melakukan perbandingan dalam hal kualifikasi dan karakter  agen serta kesesuaian produk yang ditawarkan. Tidak ada yang dapat menggantikan kontak langsung dalam menilai seseorang. Agen yang baik akan tekun mendengarkan dan mengajukan pertanyaan tentang situasi Anda dan membantu menyusun solusi asuransi yang tepat untuk kebutuhan spesifik Anda. Jika Anda tidak nyaman dengan agen Anda setelah bertatap muka, atau Anda tidak yakin dia menyediakan layanan yang Anda inginkan, carilah agen lain.

bersambung ke bagian 10....


Rabu, 23 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 7: Meditasi


Meditasi

Dalam bahasa Indonesia, kata “semedi” kadang dipakai untuk menyebutkan meditasi. Kata “semedi” ini kemungkinan besar berasal dari kata bahasa Pali samadhi. Samadhi berarti kestabilan konsentrasi atau ketenangan. Samadhi bisa dicapai melalui menjalankan suatu latihan meditasi. Dalam hal meditasi Buddhis, secara umum orang mengenalnya dalam 2 kategori: meditasi samatha atau meditasi ketenangan, dan meditasi vipassana atau meditasi pandangan cerah. Tapi guru meditasi seperti Ajahn Chah berpendapat, samatha dan vipassana itu tak dapat dipisahkan ibarat dua sisi telapak tangan dari satu tangan yang sama, atau dua sisi dari sekeping koin. Jadi menurut Ajahn Chah, tidak ada meditasi samatha dan tidak ada meditasi vipassana, meditasi itu hanya satu saja.

Mengenai meditasi, saya ingat bahwa pada sekitar 10 atau 20 tahun lalu, jika kita ingin mencari informasi mengenai meditasi, kita akan mengalami betapa sulitnya menemukan petunjuk tentang apa dan bagaimana bermeditasi. Sekarang? Wow…silakan googling dan nikmati luapan informasi tentang meditasi yang disediakan dalam pelbagai macam nama, bentuk dan rasa!

Saya sendiri mulai mengenal kata meditasi dari buku-buku Dhamma yang saya baca ketika saya masih duduk di bangku SMK (d/h STM) dulu. Karena masih asing, meditasi terasa begitu jauh dan tak terjangkau, dan ada prasangka buruk yang melingkupinya.

Sebagai contoh, ketika tahu saya tertarik untuk mencari tahu lebih banyak tentang meditasi, salah seorang kerabat memperingati saya bahwa meditasi itu bisa membuat orang jadi gila. Untuk menegaskan keyakinannya, dia menunjukkan bukti salah seorang adik iparnya yang menjadi gila karena, menurutnya, bermeditasi.

Ternyata, anggapan salah seperti itu tidak hanya milik kerabat saya seorang.

Dalam bukunya, Don’t Worry Be Healthy (Karaniya), Dr.Phang Cheng Kar menceritakan tentang adanya anggapan keliru di kalangan Buddhis bahwa meditasi itu bisa membuat orang menjadi gila. Lebih jauh, beliau menjelaskan mengapa bisa terjadi anggapan seperti itu dan mengapa anggapan itu sangat keliru. Jelas saja keliru, karena ternyata kasus-kasus yang disangka kegilaan akibat meditasi sesungguhnya disebabkan oleh praktisi itu sendiri sudah mengalami gangguan jiwa sebelum dia berlatih meditasi. Jadi bukan meditasi yang menyebabkan kegilaan itu. Dalam kata-kata Ajahn Brahm: justru kalau kita tidak bermeditasilah kita bisa menjadi gila, he-he-he….

Ngomong-ngomong soal Ajahn Brahm, memang sudah menjadi ciri khasnya dalam setiap lontaran humor selalu terkandung suatu pesan moral yang tidak main-main. Tidak terkecuali yang tersebut di atas tadi. Sudah banyak bukti yang menyatakan bahwa orang-orang yang berlatih meditasi menjadi lebih bahagia, lebih waras, lebih sukses, lebih peka, lebih penuh pengertian dan lebih bisa berempati. Meditasi juga membuat kita menjadi lebih bisa melepas atau membiarkan berlalu, dan kemampuan inilah yang amat penting artinya tatkala kita menghadapi kematian. Pada tradisi Buddhisme seperti Tibetan Buddhis bahkan ada metode meditasi yang mengajarkan praktisinya untuk mengakrabi tahapan-tahapan kematian, sehingga dengan begitu dapat diharapkan praktisinya akan bisa bersikap tenang dan damai saat kematian tiba. Mengapa? Karena secara alamiah kita akan merasa lebih takut pada sesuatu yang tak kita kenal.  

Tetapi tentu saja, seperti halnya segala sesuatu di dunia, manfaat meditasi pun memerlukan proses. Untuk meraih dan menikmati manfaat-manfaat tersebut kita tidak bisa berharap secara sim salabim dengan satu kali sesi meditasi duduk 5 menit kita sudah bisa menjadi pribadi yang tercerahkan, bahagia, sehat, waras. Meditasi memerlukan latihan yang sinambung, tekun dan pantang menyerah. Sama seperti seseorang yang melatih otot-ototnya dengan secara rutin melakukan olah otot, meditasi pun juga begitu: semakin kita rajin berlatih dan terus berlatih, semakin hari “otot-otot” kesadaran kita akan semakin terbentuk. Dan semakin terbentuk “otot-otot” kesadaran kita, semakin kita merasakan manfaat-manfaat nyata dari meditasi.

Dan berkaitan dengan persiapan diri menghadapi kematian, seperti telah disebutkan di atas, menjadi penting sekali memiliki salah satu manfaat dari latihan meditasi. Yaitu, meditasi membuat kita lebih bisa melepas.

Mengapa begitu penting untuk mampu melepas?

Karena ketika kita sedang sekarat, jika pada saat yang amat genting itu kita masih terus menggenggam dunia, kita tidak akan bisa meninggal dengan tenang. Akibatnya, seperti yang kita yakini dalam Buddhisme, ada kemungkinan
kita akan terjatuh ke alam-alam rendah meskipun kita sebenarnya punya banyak timbunan jasa kebajikan yang membuat kita pantas mendapat 1 unit apartemen di surga. Tatkala kita telah terbiasa untuk melepas, kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang mencemaskan kita. dan karena kita melepas, kita tak membawa beban-beban penyesalan atau kemelekatan bersama kita. itu membuat langkah kita menjadi ringan, memungkinkan kita terbang membubung tinggi menuju alam atau kehidupan yang lebih mulia, dan dari sana kita menjadi semakin dekat dengan kebebasan sejati.  


Jadi, latihan meditasi membuat kita lebih mampu melepas atau membiarkan berlalu, dan lebih mengenal tahapan-tahapan kematian sehingga kita tak lagi takut atau cemas menghadapinya ketika waktunya telah tiba, cepat atau lambat tapi pasti. 

Kebijaksanaan

Kebijaksanaan berarti mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana tampaknya. Kebijaksanaanlah yang mencegah kita tertipu oleh delusi, oleh suatu imaji yang tampak seolah-olah berharga padahal tidak, indah padahal tidak, dan membahagiakan padahal tidak.

Dalam keseharian hidup, kita bisa mengembangkan kebijaksanaan dengan tak pernah bosan untuk belajar dari buku-buku dan bahkan dari mereka yang secara akademis diragukan namun memiliki segudang kebijaksanaan yang lahir dari pergulatan hidup. Kita juga harus bergaul dengan mereka yang bijak, banyak berdiskusi tentang Dhamma dan hal-hal yang berguna untuk kemajuan spiritual, dan melatih diri dalam keheningan meditatif. Meskipun kebijaksanaan bisa dipelajari melalui buku-buku dan diskusi, kebijaksanaan sejati itu sendiri hanya dapat kita raih melalui pengalaman langsung kita. karena buku-buku dan diskusi hanyalah teori, kebijaksanaan yang berasal dari pengalaman orang lain. Dalam Buddhisme, kita diajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan tanpa tapi, kebebasan sejati, menjadi bajik saja tidaklah cukup. Kebajikan tanpa disertai dengan kebijaksanaan akan menjadikan kita orang baik hati yang bodoh. Demikian juga kebijaksanaan sendiri tak dapat membawa kita menyeberang ke pantai seberang. Karena kebijaksanaan tanpa kebajikan akan menjadikan kita orang bijak yang tidak berbelas kasih. Dengan demikian, kebajikan dan kebijaksanaan dapat diumpamakan sebagai sepasang sayap, dan kita terbang membubung ke pantai seberang dengan menggunakannya.    

Mengembangkan Cinta Kasih

Empat sifat luhur yang dalam bahasa Pali disebut Empat Brahma Vihara adalah empat kualitas luhur yang Buddha ingin kita latih dan kembangkan. Mengapa Buddha ingin kita begitu? Karena Beliau mahapengasih dan mahatahu. Beliau mengasihi kita, ingin kita murid-murid-Nya ini bebas dari derita, dan Beliau tahu jika kita melatih dan mengembangkan empat kualitas ini maka kita akan hidup bahagia di dunia ini maupun berikutnya.

Dari keempat kualitas luhur ini—cinta kasih (metta), welas asih (karuna), belasuka (mudita), dan ketenangseimbangan (upekkha)—yang paling dekat kaitannya berkenaan dengan mempersiapkan diri menghadapi kematian adalah cinta kasih. Karena salah satu manfaat dari mengembangkan cinta kasih menyebabkan pelakunya tidak mengalami kesulitan ketika ajal tiba.

Dalam naskah-naskah suci kita bisa temukan petunjuk yang telah diberikan untuk melatih dan mengembangkan empat kualitas luhur ini. Khususnya untuk mengembangkan cinta kasih, salah cara kita dapat melatihnya melalui mempraktikkan meditasi cinta kasih.

Meskipun pada intinya sama, dalam praktiknya ada banyak macam cara mempraktikkan meditasi cinta kasih. Petunjuk dari guru tertentu, misalnya, tak mengharuskan kita untuk pertama-tama memancarkan cinta kasih kepada diri kita dulu. Guru lain menyarankan sebaiknya diri kita dulu yang kita pancarkan cinta kasih sebelum ke orang-orang di sekitar kita dengan alasan bahwa kita tak mungkin bisa memancarkan cinta kasih kepada orang lain apabila diri kita

sendiri belum kita cinta kasihi terlebih dulu. Menurut petunjuk ini, kita melakukan suatu pemancaran cinta kasih yang pertama-tama ke diri sendiri, lalu ke orang-orang terdekat kita seperti kepada orangtua kita, kemudian kepada saudara dekat, teman dan kerabat jauh, dan terakhir kepada semua makhluk. Pemancaraan ini dipandu dengan suatu rumusan tertentu yang diucapkan berulang-ulang dalam hati. Jika dipancarkan pertama-tama pada diri sendiri, contohnya adalah seperti berikut:

Semoga saya bebas dari marabahaya
Semoga saya bebas dari penderitaan batin
Semoga saya bebas dari penderitaan jasmani
Semoga saya dapat menjalankan kehidupan dengan bahagia      

Dan untuk langkah selanjutnya ketika dipancarkan kepada orangtua, kata “saya” diganti dengan sebutan kita untuk mereka, dan selanjutnya. Jika memungkinkan, akan lebih baik disertai juga dengan visualisasi atau membayangkan wajah dari orang yang kepada siapa kita pancarkan cinta kasih kita. Dan seperti pada metodenya, rumusan itu pun bisa berbeda-beda, tidak harus baku seperti itu. Untuk keterangan lebih jauh tentang meditasi cinta kasih, buku yang bagus dan perlu dibaca adalah “Meredam Marah Menebar Metta” karya Ven. Visuddhacara dan “Superpower Mindfulness” karya Ajahn Brahm.     




bersambung ke bagian 8

Senin, 21 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 6: Persiapan Spiritual

Persiapan Spiritual

Persiapan spiritual bertujuan untuk mentransformasi diri kita secara spiritual agar siap menghadapi kematian. Bagi pemeluk agama, persiapan ini amat berkaitan erat dengan doktrin-doktrin agama yang kita anut. Dan setiap ajaran di dunia memiliki metode-metodenya sendiri untuk mempersiapkan para pengikutnya menghadapi kematian. Secara garis besar tiap metode itu tidak terlalu berbeda satu dengan lainnya karena selalu ada penekanan pada mengumpulkan suatu jasa kebajikan (yang diistilahnya dengan pelbagai macam nama yang berbeda), dan mengembangkan suatu sikap berserah atau melepas.

Perenungan Kerap

Ketika ditanyakan bagaimana cara kita bersiap diri rmenghadapi kematian, Morrie sang profesor dalam buku “Selasa Bersama Morrie”, berkata, “Bertindaklah seperti yang diperbuat oleh para Buddhis. Setiap hari, bayangkan bahwa di pundak kita ada seekor burung yang bertanya, ‘Sekarangkah hari ajalku? Siapkah aku? Sudahkah aku mengerjakan semua yang perlu kuperbuat? Apakah aku telah menjadi seperti yang kukehendaki?’”

Apa yang disarankan Morrie adalah suatu cara yang berguna untuk mengingatkan diri kita akan kematian. Karena sering kali dalam keseharian hidup, mata kita begitu butanya akan kebenaran tak terbantahkan bahwa kematian itu bisa datang sewaktu-waktunya, dan bahwa betapa kehidupan ini amatlah getas, sangat rentan.

Kita dapat temukan setiap hari televisi, koran dan dunia maya dipenuhi oleh berita-berita mengenai bencana, kecelakaan, perang, wabah penyakit, bunuh diri, dan segala macam hal menakutkan lainnya yang menyebabkan tiada hari tanpa berita kematian. Dan sebagian dari kita pun, seperti mereka yang bekerja di rumah sakit sebagai perawat atau dokter, akan sering menjumpai dan melihat peristiwa kematian. Tapi semua hal itu tidak menjamin mampu menggugah kesadaran kita seperti tergugahnya kesadaran Pangeran Siddhartha ketika melihat Empat Pemandangan. Maka, tak heran kita sering “lupa” bahwa kita tak bisa hidup selamanya.   

Selain cara yang disarankan Morrie, ada satu cara lagi cara untuk membuat kita selalu ingat akan kematian. Dalam sebuah buku kumpulan ceramah Ajahn Chah yang amat berkesan bagi saya, ada sebuah nasihat dari beliau yang amat beliau tekankan untuk dipraktikkan berulang kali. Nasihat itu berkaitan dengan perenungan kerap teerhadap kematian, yang dalam naskah Buddhis disebut Maranasati. Ajahn Chah amat menekankan hal ini, dan menganjurkan siapa pun yang membaca buku itu untuk sering-sering merenungkannya. Menurut Ajahn Chah, perenungan seperti ini akan membuat kita selalu waspada, eling akan hakikat ketidaktetapan kehidupan kita. Dan kewaspadaan ini pada gilirannya akan mencegah kita hidup secara sembrono yang kelak, ketika kematian tiba, hanya akan membawa sesal dan sengsara.

Jadi, apakah isi perenungan itu? Berikut saya tulis ulang sesuai dengan ingatan dan kata-kata saya sendiri yang mungkin agak berbeda dengan versi tertulis pada buku tersebut. Inilah perenungan yang kerap saya renungkan menjelang tidur:

Aku akan menderita usia tua;
Aku belum mengatasi usia tua.

Aku akan menderita penyakit;
Aku belum mengatasi penyakit.

Aku akan menderita kematian;
Aku belum mengatasi kematian.

Segala yang kumiliki, yang kucintai;
Akan berubah, terpisah dariku.

Aku adalah pemilik dari karmaku sendiri;
Lahir dari karmaku sendiri;
Berhubungan dengan karmaku sendiri;
Terlindungi oleh karmaku sendiri;
Apa pun karma yang kuperbuat;
Baik atau buruk;
Itulah yang akan aku warisi.

Anicca, dukkha, anatta.

Seperti yang dianjurkan Ajahn Chah, lakukanlah perenungan ini dengan kerap. Setidaknya dalam sehari 1 kali, akan lebih baik seperti nasihat kaprah para dokter: 3 kali sehari; pagi saat baru bangun, siang setelah selesai makan, dan malam menjelang tidur. Jika tak sanggup, sekali sehari menjelang tidur adalah waktu yang terbaik.

Mengapa?

Karena ketika menjelang tidur, pikiran kita biasanya berada dalam keadaan yang rileks dan tenang, sehingga apa pun yang kita renungkan pada saat itu akan lebih mungkin tercamkan dengan baik dalam batin kita. Dan ketika maknanya tercamkan dengan baik dalam batin, kita akan menjadi lebih mudah waspada, eling dalam menjalankan keseharian hidup kita. Kemelekatan menjadi kurang pekat, kesadaran akan ketidaktetapan bertambah tinggi, dan kemampuan untuk melakukan kebajikan menjadi lebih spontan. Dan terutamanya, ketika kita sudah amat terbiasa merenungkan kematian, sedikit demi sedikit kita sadari bahwa ada perubahan dalam cara kita memandang kematian. Dari yang semula memandang dengan ngeri dan takut menjadi pandangan yang tenang dan tabah. Kita mengerti sepenuhnya bahwa kematian tidak layak ditangisi, karena kematian adalah konsekuensi tak terelakkan dari kelahiran.

Hal-hal itu, kualitas-kualitas positif yang kita peroleh itu akan amat mempengaruhi keseharian hidup kita. Kita akan menjadi pribadi yang lebih mudah bahagia daripada sebelumnya, karena kemampuan untuk melepas atau membiarkan berlalu yang meningkat membuat kita kurang diberati oleh beban-beban tak perlu—rasa sesal, keinginan-keinginan tak sampai, dendam, rasa kecewa—yang amat sering adalah penyebab dari penderitaan kita. Bukankah  
seringkali hidup ini sesungguhnya sudah cukup memberikan kita masalah, tapi entah mengapa kita sering mencari-cari masalah lain dengan bermuram durja, terus melekati rasa sesal atau marah kita, dan seterusnya?

Melatih Diri Dalam Moralitas, Meditasi dan Kebijaksanaan

Jangan mencari kematian. Kematian akan menemukan kita. Tapi carilah jalan yang membuat kematian menjadi indah — Dag Hammarskjöld 
Do not seek death. Death will find you.
But seek the road which makes death a fulfillment Dag Hammarskjöld

Dalam Buddhisme, kita mengenal Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Disebut demikian karena jalan ini adalah satu jalan yang memiliki 8 faktor yang bila dijalankan akan membawa seseorang mencapai suatu keadaan yang mulia. Faktor-faktor itu adalah Pandangan Benar, Perniatan Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Pengupayaan Benar, Penyadaran Benar, Pemusatan Benar  yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: moralitas (Perkataan, Perbuatan dan Penghidupan benar), meditasi (Pengupayaan, Penyadaran dan Pemusatan benar) dan kebijaksanaan (Pandangan dan Perniatan Benar). Di sini, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak akan dibahas secara terperinci untuk setiap faktornya. Fokus diletakkan pada pembahasan mengenai 3 kelompok moralitas, meditasi dan kebijaksanaan yang dikaitkan dengan manfaatnya untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Tentang bagaimana sebaiknya kita mempraktikkan jalan ini, ada suatu pengertian kurang tepat pada sebagian Buddhis bahwa faktor-faktor dari jalan ini haruslah dilaksanakan secara berurutan. Jadi disebutkan kita harus mula-mula melatih moralitas dulu sampai sempurna, baru setelah itu bisa dilanjutkan dengan melatih meditasi, dan akhirnya kebijaksanaan. Jika carai ni sungguh diterapkan, latihan kita tidak akan pernah berhasil.

Mengapa?

Karena menunggu moralitas sempurna tak akan bisa bila hanya dengan melatih moralitas. Moralitas menjadi sempurna memerlukan dukungan meditasi, meditasi menjadi sempurna memerlukan dukungan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi sempurna memerlukan dukungan moralitas. Ketiga hal ini saling dukung mendukung, membentuk satu lingkaran yang, jika dilatih secara simultan, akan terus menggelinding mengantarkan kita makin dekat, makin dekat, dan makin dekat lagi ke pencerahan sejati.

Selain dengan cara simultan, ada pendapat yang agak berbeda tentang bagaimana seharusnya kita menjalankan Jalan Mulia Berfaktor Delapan.

Menurut Ajahn Chah seperti yang tercatat dalam buku “Being Dharma”, mempraktikkan Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah seperti ketika kita memungut sebatang kayu. Kita bisa saja memungut kayu itu dengan pertama-tama memegang ujung yang satu, atau ujung lainnya, atau bahkan langsung memegang bagian tengahnya. Cara mana pun yang kita tempuh, begitu kita memungut kayu itu, keseluruhan bagian kayu akan ikut terangkat pula.

Begitu pun dengan praktik Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Kita bisa mulai dari mempraktikkan moralitas, atau mengembangkan kebijaksanaan, atau langsung saja menekuni meditasi. Ketika, misalnya, kita memilih untuk menekuni meditasi, jika meditasi kita benar maka secara otomatis seiring perkembangan latihan kita akan mulai merasakan adanya suatu keperluan untuk juga mempraktikkan dan meneguhkan moralitas. Dan selanjutkan dari sana muncul pula suatu rasa kemendesakkan untuk mengembangkan kebijaksanaan. Dan begitulah seterusnya hingga akhirnya kita pun menyelesaikan jalan ini dengan berhasil.  

Moralitas

Ada sebuah kisah di majalah anak-anak Bobo edisi lama yang pernah saya baca. Cerita ini adalah tentang dua orang perempuan bertetangga.

Perempuan pertama memiliki sebuah rumah yang kumuh, dengan kehidupan rumah tangga dan perekonomian yang “menyedihkan”. Penampilan fisiknya sendiri juga tidak rapi dan bersih. Sedangkan perempuan kedua sebaliknya: rumahnya bersih, rapi, dirinya, suami dan anaknya bahagia berkecukupan meskipun tetap sederhana. Tiap hari perempuan pertama selalu merasa iri dan penasaran mengapa tetangganya itu bisa begitu bahagia kehidupanya. Dia berusaha mencari tahu apa rahasianya, dan dia sangat ingin tahu.

Suatu hari akhirnya dia menemukan juga seseorang yang bisa memberitahukan dia apa rahasia si tetangga. Orang itu adalah seorang anak perempuan penjaja makanan. Tapi sebelum anak ini bersedia memberitahukan rahasia si tetangga, si anak meminta perempuan ini membeli semua kue dagangannya. Tanpa pikir 2x24 jam dia setuju dan membeli semua kue dagangan si anak yang masih tersisa.

Tahukah Anda, apa sesungguhnya rahasia mengapa si tetangga bisa memiliki rumah yang bersih, rapi, dan kehidupan yang bahagia lahir batin?

Bukan, bukan karena si tetangga dapat warisan dari orangtua atau mertuanya, bukan pula dia punya tuyul yang dipakai untuk mencari uang secara tidak halal, hehehehe….Tapi ternyata, si tetangga itu punya banyak pembantu yang membantu dia bekerja setiap hari mengelola rumah tangganya sehingga dia bisa memiliki rumah yang rapi dan bersih, dan suami dan anaknya pun terurus dengan baik. Tapi si perempuan pertama heran, karena selama ini tak pernah sekali pun dia melihat batang hidung para pembantu yang disebutkan oleh si anak penjaja kue. Apakah para pembantu itu makhluk-makhluk halus? Tentu saja tidak! Kalau benar begitu, ini akan menjadi kisah horor yang tak layak terbit di sebuah majalah anak-anak, hehehe…

Jadi, siapa sih para pembantu yang hebat-hebat itu sampai seperti tak terlihat orangnya tapi hasil kerjanya amat menyolok?

Anda penasaran?

Saya juga, makanya ketika membaca kisah itu saya terus membaca sampai akhir. Dan jawabannya sungguh tak terduga, membuat saya manggut-manggut sekaligus merenung: para pembantu itu adalah semua anggota badan kita yang bisa kita gunakan untuk bekerja. Mereka adalah kedua tangan dan kaki kita, dan jari jemari kita. Mereka adalah badan kita yang sehat yang memungkinkan kita bekerja keras untuk memperoleh hidup layak.

Si perempuan pertama sebenarnya juga mempunyai para pembantu seperti tetangganya itu. Hanya saja, dia tak pernah menyadarinya dan memanfaatkan para pembantu itu. Dia lebih suka duduk-duduk saja, membiarkan rumahnya kotor dan berantakan, anak-anaknya tak terurus, dan suaminya jadi tak betah di rumah. Sebagai akibatnya kehidupannya pun tak bahagia, dan rejeki ogah mampir. Karena, bahkan manusia sendiri tak betah mampir di rumah yang kotor, apalagi dewa rejeki yang standar tuntutannya pasti lebih tinggi lagi, ya kan?

Kita Buddhis diajarkan tentang hukum karma dan kelahiran ulang. Apa yang kita peroleh dan alami dalam kehidupan ini sebagian adalah karena apa yang telah kita tanam dalam kehidupan lampau yang dekat maupun jauh. Seperti misalnya tubuh dan batin ini.

Dari perspektif hukum karma dan kelahiran ulang, tubuh dan batin “sempurna” yang kita miliki kini adalah harta kekayaan yang kita warisi dari benih-benih yang telah kita tanam di kehidupan lampau. Dengan kata lain, kita memiliki harta kekayaan dari masa lampau berupa tubuh dan batin yang “sempurna” dalam kehidupan ini karena pada masa lampau kita telah cukup banyak melakukan kebajikan dan mengembangkan kebijaksanaan.

Seperti halnya kekayaan materi, harta kekayaan berupa tubuh dan batin ini pun juga bisa disia-siakan, bahkan disalahgunakan. Sebagian orang sadar dan menggunakan harta kekayaan ini sebagai kendaraan untuk mencapai kehidupan yang lebih mulia. Mereka giat dan tekun dalam mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan melalui setiap pikiran, ucapan dan tindakan. Sebagian lagi terlena, mabuk, menyia-nyiakan harta kekayaan yang mereka warisi dari kehidupan lampau. Mereka menyiksa dan meracuni tubuh dan batin dengan mengkonsumsikan zat-zat adiktif. Mereka menyalahgunakan tubuh dan batin untuk melakukan perbuatan-perbuatan kriminal yang hanya merugikan diri mereka dan membawa kesengsaraan bagi makhluk lainnya.  

Dalam Buddhisme, kita mengenal adanya sila sebagai suatu standar moral. Pelaksanaan sila adalah salah satu jalan untuk mengembangkan kebajikan dan merupakan bagian penting dalam upaya kita meraih kemuliaan. Sila-lah yang menentukan apakah kita berhak menyebut diri kita manusia atau tidak. Dan sebagai umat awam, kita memiliki 5 sila dan 8 untuk saat-saat tertentu atau dalam kondisi sebagai umat awam yang terikat komitmen sebagai anagarika/anagarini. Untuk kalangan monastik ada 10 sila yang dijalankan oleh seorang calon bhikkhu/bhikkhuni (samanera/samaneri), dan 200an sampai 300an lebih sila untuk para bhikkhu dan bhikkhuni.

Pelaksanaan sila dapat dibagi menjadi 2 aspek: pasif dan aktif. Dalam kehidupan awam, sila yang dijalankan secara pasif adalah bila kita sekadar bertekad untuk tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan seksual yang salah, tidak berdusta, dan tidak mengonsumsikan zat-zat yang dapat melemahkan kesadaran. Pada aspek aktifnya, menjalankan sila berarti kita secara aktif melindungi suatu kehidupan (termasuk juga melestarikan lingkungan), bermurah hati, menghargai dan menjaga kehormatan diri dan yang lainnya, menjunjung dan menghargai kebenaran, menghargai kesejahteraan batin dan badan.                        

Kelompok moralitas dalam formulasi Jalan Mulia Berfaktor Delapan juga menyebutkan penghidupan dan perkataan benar. Mata pencaharian adalah salah satu bagian paling dominan dalam keseharian hidup kita, sesuatu yang selalu kita lakukan terus menerus dari hari ke hari hampir sepanjang hidup kita. Karena itu, mata pencaharian memiliki pengaruh dalam membentuk karakter diri kita dan kebiasaan-kebiasaan kita. Dan pada momen menjelang kematian, apa pun yang telah mengeras sebagai karakter atau kebiasaan akan mudah sekali muncul sebagai “tanda kematian” yang amat vital dalam menentukan ke mana kita pertama-tama akan menuju setelah meninggal dunia. Dengan begitu, memiliki mata pencaharian yang benar amatlah penting. Mata pencaharian yang benar adalah mata pencaharian apa pun yang tidak melanggar sila dan hukum negara, yang tidak merugikan makhluk lain dan diri sendiri. Contohnya seperti: tidak berdagang senjata, minuman keras, narkoba, binatang untuk disembelih, racun, tidak terlibat dalam prostitusi atau perjudian.     

Begitu pun dengan perkataan benar: kehidupan kita dipenuhi oleh perkataan-perkataan yang terucap, tak terucap, maupun yang berupa celutukan atau gema-gema dalam batin. Perilaku ucapan memiliki pengaruh menentukan apakah kita akan menjalankan sebuah kehidupan yang tenang dan harmonis atau sebaliknya. Perilaku ucapan yang terbiasa benar, santun, ramah, jujur dan tidak menyakitkan tidak menciptakan beban-beban penyesalan yang dapat memberati diri kita saat melangkah pergi dari kehidupan ini menuju kehidupan berikutnya. Sebagai akibatnya, kita dapat melangkah dengan ringan dan lega menuju kehidupan berikutnya.

Begitulah. Dengan melaksanakan moralitas sebaik-baiknya, berarti kita membiasakan diri dalam kebajikan sekaligus mengumpulkan bekal kekayaan kebajikan. Dan kedua hal ini amat membantu kita bersikap tenang dalam menghadapi kematian kita. 

Bersambung ke bagian 7

Jumat, 18 November 2011

Mati Itu pasti Bagian 5: Mempersiapkan diri menghadapi kematian

Apakah penting mempersiapkan diri menghadapi kematian? Semua pemeluk agama yang benar akan menjawab dengan pasti: jelas amat penting! Karena dalam agama mana pun kematian selalu menjadi salah satu peristiwa dalam kehidupan yang amat penting, jadi mempersiapkan diri untuk menghadapinya juga amatlah penting. Lebih-lebih dalam Buddhisme.

Menurut Buddhisme, momen-momen menjelang ajal berperan amat dominan dalam menentukan ke alam mana pertama-tama kita akan menuju. Meskipun sepanjang hayat kita adalah seorang yang selalu berusaha mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan, tapi karena suatu kejahatan yang pernah kita lakukan dan amat mendalam membekas dalam batin kita menyebabkan pada menjelang ajal kita mengalami suatu batin yang gelisah, yang negatif, maka bila kita meninggal dunia dengan batin yang seperti itu kita akan pertama-tama menuju alam yang sesuai dengan keadaan batin itu: alam rendah, alam sengsara. Baru setelah masa hidup di alam rendah itu habis akibat habisnya kekuatan buah karma yang menyebabkannya kita bisa terlahir di alam yang lebih baik sesuai dengan timbunan jasa-jasa baik yang telah kita kumpulkan.

Pentingnya memiliki batin yang tenang dan damai saat menjelang mati dapat ditunjukkan oleh beberapa kisah yang terjadi di masa kehidupan Buddha. Misalnya kisah yang menyangkut Ratu Mallika, permaisuri dari Raja Pasenadi Kosala. 

 
Ratu Mallika adalah salah satu pengikut Buddha yang amat berbakti. Sepanjang hidupnya dia banyak melakukan perbuatan berjasa. Tapi ada satu kejahatan
yang pernah dilakukannya dan yang amat membekas dalam bentuk penyesalan di dalam dirinya hingga terbawa ke momen menjelang ajalnya. Dan karena dikuasai oleh batin tak sehat seperti itu, Ratu Mallika langsung terlahir kembali di alam rendah, dan baru setelah lewat 1 minggu dia meninggal di alam itu dan pindah ke alam surga sesuai dengan timbunan jasa kebajikan yang telah dikumpulkannya.

Untuk kisah pada masa modern, kita bisa membaca pengalaman Bhante Rastrapal Mahathera dalam bukunya “Five Visions of A Dying Man”. Buku itu bercerita tentang pengalaman beliau menangani seorang umat awam pria yang ketika menjelang ajalnya melihat 5 penampakan, dan setiap penampakan itu adalah perlambang dari ke alam mana si umat akan terlahirkan kembali apabila pada saat itu—ketika penampakan itu terlihat—dia meninggal dunia. Penampakan itu berasal dari keadaan batin dari orang yang sedang sekarat itu. Ketika keadaan batinnya tenang dan damai, dia melihat penampakan berupa dewa-dewi surgawi, atau pohon Bodhi dan kedua orangtuanya yang telah meninggal dunia. Saat keadaan batinnya berubah gelisah atau penuh kemelekatan, dia pun melihat penampakan burung gagak yang menakutkan.

Selain itu, amat penting mempersiapkan diri menghadapi kematian karena, sebagaimana dengan kehidupan, kematian pun sering diumpamakan sebagai suatu perjalanan. Hanya saja, kehidupan adalah perjalanan menuju kematian, dan kematian adalah perjalanan menuju kehidupan berikutnya. Sebuah perjalanan tentu memerlukan suatu persiapan agar berhasil sampai di tujuan yang direncanakan, bukan? Demikian pula dengan kematian. Agar kematian dapat kita hadapi dengan tenang dan berhasil sampai di kehidupan berikutnya yang lebih baik, kita harus mempersiapkan diri kita dengan sebaik-baiknya. Kita perlu membawa perbekalan yang memadai dan mempersiapkan batin kita untuk menerima kematian sebagaimana adanya.

Semua itu pada akhirnya hanya demi satu tujuan: mencapai kebahagiaan. Karena jika kita, misalnya, ditanyakan tujuan menjalankan kehidupan, semua dari kita akan sepakat bahwa kita menjalankan kehidupan demi meraih suatu kebahagiaan, dan demi tujuan itu mempersiapkan diri menghadapi kematian semestinya menjadi bagian dari menjalankan kehidupan. Memanglah definisi kebahagiaan dan macamnya ada beraneka ragam, tapi kita bisa menarik satu benang merah yang sama: kita semua menginginkan kehidupan yang damai, tenteram, dan harmonis.

Orang-orang bajik pasti mati, tapi kematian tidak bisa membunuh nama harum mereka – Pepatah
Good men must die, but death can not kill their names —Proverbs

Jadi, seseorang yang mengisi kehidupan dengan persiapan untuk menghadapi kematian berarti dia menjalankan kehidupan dengan semestinya. Dan kehidupan yang dijalankan dengan semestinya akan membuat kita memperoleh kebahagiaan di sini (ketika masih hidup), dan di sana (setelah kematian) sebab buah dari kebajikan yang telah dilakukan selama hidup akan menjadi bekal dalam perjalanan menuju kehidupan berikutnya, memungkinkan si pembuat memetik hasilnya dalam bentuk kelahiran ulang di salah satu alam yang membahagiakan. Seperti yang tertulis dalam sutta dari Dhammapada 18:


Di dunia ini ia bahagia.
Di dunia sana ia berbahagia.
Pelaku kebajikan berbahagia di kedua dunia itu.
Ia akan berbahagia ketika berpikir "Aku telah berbuat bajik",
dan ia akan lebih berbahagia lagi ketika berada di alam bahagia
.

Dalam hal ini, persiapan menghadapi kematian dapat kita bagi menjadi 2 jenis: 1) persiapan secara spiritual, dan 2) persiapan secara duniawi. Selain itu, kita juga perlu mempertimbangkan tidak hanya mempersiapkan diri kita sendiri, tetapi juga orang-orang terdekat kita supaya mereka pun siap menghadapi kematian bila sudah tiba waktunya, baik untuk kematian mereka sendiri maupun kematian kita dan keluarga lainnya.

Uraian berikut ini tidak dimaksudkan memberi paparan yang mendetail tentang setiap tahap persiapan yang disarankan. Untuk penjelasan lebih rinci yang disertai dengan tip-tip dalam melakukan kebajikan (dan juga mengembangkan kebijaksanaan), pembaca bisa membaca buku “Berbuat Baik itu Mudah” dari penulis yang sama dengan buku ini. Buku itu adalah salah satu seri dari penerbitan Dharma Putra Indonesia yang diwujudkan oleh Yayasan Ehipassiko (www.ehipassiko.net)

Selasa, 15 November 2011

Mati Itu pasti Bagian 3: Kehidupan Setelah Kematian


Kehidupan Setelah Kematian

Sebagian besar ajaran di dunia sepakat bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Kematian hanyalah awal bagi kehidupan berikutnya. Beberapa agama mengajarkan para pengikutnya tentang alam surga dan neraka, tempat di mana kehidupan setelah kematian itu berlanjut. Bagi yang baik dan patuh kepada perintah atau larangan Tuhan—sosok makhluk adikodrati yang diyakini sebagai pencipta dunia—akan diberikan tempat di surga yang kekal. Untuk anak nakal, orang jahat, apalagi koruptor, neraka siap menerima mereka untuk tinggal selama-lamanya. Agama-agama seperti ini tidak mengenal konsep kelahiran ulang dalam pengertian bahwa manusia bisa terlahir ulang menjadi manusia kembali atau bahkan menjadi binatang di kehidupan mendatang. Kelahiran kembali setelah kematian, menurut ajaran-ajaran ini, hanyalah di alam surga atau di neraka, dan kedua alam itu diyakini kekal abadi selama-lamanya: sekali
seseorang menjadi penghuni di salah satu alam itu, dia akan terus ada di sana selamanya.  

Seperti ajaran-ajaran tersebut, kosmologi Buddhis pun mengenal alam surga dan neraka. Bedanya, Buddhisme tidak hanya mengenal surga dan neraka, tapi bahkan ada 29 alam kehidupan setelah kematian lainnya yang juga dikenal oleh Buddhisme, tempat di mana para makhluk dapat terlahir ulang. Alam-alam itu secara garis besarnya digolongkan menjadi 6  jenis alam: alam surga, alam manusia, alam binatang, alam hantu kelaparan, alam asura/siluman, dan alam neraka.

Dalam Buddhisme, alam surga mempunyai banyak tingkatan, mulai dari yang rendah sampai tertinggi sesuai dengan bobot kebajikan dan kebijaksanaan yang telah dikembangkan semasih hidup oleh para penghuninya. Alam neraka pun ada banyak tingkat seperti pada alam surga. Hanya di sini para pesakitan ini dibedakan berdasarkan tingkat kebengisan atau kejahatan mereka. Seperti di dunia manusia, penjahat kelas kakap tentu tidak berada di penjara yang sama dengan penjahat kelas teri, bukan?

Di luar 31 alam tersebut, Buddhisme menolak adanya alam-alam lain seperti alam antara yang merupakan alam persinggahan sementara “roh” dari orang yang telah mati sebelum nantinya masuk ke surga atau neraka atau turun ke bumi sebagai manusia. Karena dalam keyakinan Buddhis tumimbal lahir atau kelahiran kembali itu terjadi secara seketika, tidak ada waktu jeda, tidak ada alam antara apa pun. Begitu seseorang meninggal di sini, maka dia langsung terlahir di salah satu dari 31 alam itu sesuai dengan karma yang telah dia kumpulkan semasih hidup.

Mitos-Mitos Seputar Kematian

Mitos adalah suatu kisah atau legenda yang biasanya berisi penjelasan tentang sebab-musabab dari terjadinya suatu peristiwa atau hal. Mitos muncul karena kurangnya pengetahuan dan penalaran kita tentang suatu hal sehingga untuk menjelaskannya kita pun menciptakan mitos.  

Bagi kebanyakan orang, kematian adalah sebuah misteri. Hanya sedikit di antara kita yang sungguh-sungguh telah memahami dan menaklukkannya. Karena itu, tak heran dari sejak dahulu kala hingga kini mitos-mitos seputar kematian terus lestari.

Ada mitos tentang orang-orang yang meninggal tak wajar—misalnya, gantung diri, dibunuh, kecelakaan—akan menjadi hantu atau roh yang bergentayangan. Mitos seperti ini diperkuat dan dimanfaatkan oleh produser film untuk menghasilkan film-film horor yang penuh dengan cerita balas dendam dari mantan manusia yang sudah menjadi arwah gentayangan itu.

Menurut Buddhisme, disebabkan oleh karma buruk dan kurangnya kebajikan dan kebijaksanaannya, manusia memang bisa terlahir ulang sebagai hantu atau siluman di alam hantu/siluman. Mereka yang meninggal karena bunuh diri pergi ke alam lain didorong oleh rasa benci pada kehidupannya. Mereka amat mungkin terlahir ulang sebagai hantu yang menderita oleh rasa bencinya, atau bahkan langsung ke alam neraka. Tapi untuk jenis kematian lain seperti kecelakaan atau dibunuh, sulit dipastikan korban yang tewas terlahir ulang sebagai hantu yang bergentayangan. Karena hal itu tergantung sepenuhnya pada karma-karma yang telah dikumpulkannya semasih hidup dan keadaan batin sesaat sebelum meninggal dunia. Bila dalam kasus ini yang meninggal telah banyak mengumpulkan jasa baik dan keadaan batinnya cukup murni saat meninggal dunia, dia akan terlahir di alam-alam yang baik meskipun cara kematiannya tidaklah indah.

Ada pula mitos—atau mungkin lebih tepatnya takhayul—yang hidup di komunitas Buddhis tertentu bahwa seseorang yang meninggal akan tinggal di suatu alam perantara selama 40 hari sebelum akhirnya dia terlahir kembali. Juga bahwa kita bisa mengirimkan uang dan perbekalan lainnya serta membangunkan rumah di alam sana untuk keluarga kita yang telah meninggal dengan cara membakar kertas tertentu yang dianggap sebagai “uang” dan rumah-rumahan dari kertas.

Tentu saja, bagi Buddhis yang mengerti Dharma, hal-hal tersebut di atas bertentangan dengan apa yang telah diajarkan oleh Buddha. Karena menurut Buddhisme, seseorang yang meninggal dunia akan langsung bertumimbal lahir di salah satu dari 31 alam kehidupan sesuai dengan karmanya. Juga, seseorang bisa memiliki bekal dan rumah di alam sana bukanlah dengan cara sanak saudaranya membakar kertas “uang” dan rumah-rumahan kertas, tapi dengan usahanya sendiri mengumpulkan jasa-jasa kebajikan serta dengan pelimpahan jasa yang dilakukan oleh sanak saudaranya yang telah melakukan kebaijkan atas namanya.

Tapi bagaimanapun, ada satu mitos tentang kematian yang amat berbahaya karena banyak dipercayai sebagai fakta oleh orang. Mitos inilah yang menyebabkan kita lalai mengembangkan diri dalam jalan sila+samadhi+panna. Apakah mitos itu? Ialah, kita percaya bahwa, meskipun kematian itu pasti tapi kematian tidak akan datang menimpa kita hingga kita menjadi tua bangka!

Itulah mitos kematian paling berbahaya yang menyebabkan kita, selagi muda dan sehat, merasa dunia ada di tangan kita. Kesenangan-kesenangan indrawi memabukkan kita, membuat kita terlena, lupa daratan dan lautan, dan abai bahwa raja kematian bisa datang sewaktu-waktu. Dalam kenyataannya, kehidupan memaparkan pada kita bahwa tak perlu harus tua untuk mati. Karena, bahkan yang amat belia pun pergi meninggalkan dunia ini ditengah-tengah kebeliaannya. 

Bagi orang muda, kematian adalah kabar angin – Andrwe A. Rooney

Death is a distant rumor to the young.  ~Andrew A. Rooney