Tampilkan postingan dengan label tenang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tenang. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 6: Persiapan Spiritual

Persiapan Spiritual

Persiapan spiritual bertujuan untuk mentransformasi diri kita secara spiritual agar siap menghadapi kematian. Bagi pemeluk agama, persiapan ini amat berkaitan erat dengan doktrin-doktrin agama yang kita anut. Dan setiap ajaran di dunia memiliki metode-metodenya sendiri untuk mempersiapkan para pengikutnya menghadapi kematian. Secara garis besar tiap metode itu tidak terlalu berbeda satu dengan lainnya karena selalu ada penekanan pada mengumpulkan suatu jasa kebajikan (yang diistilahnya dengan pelbagai macam nama yang berbeda), dan mengembangkan suatu sikap berserah atau melepas.

Perenungan Kerap

Ketika ditanyakan bagaimana cara kita bersiap diri rmenghadapi kematian, Morrie sang profesor dalam buku “Selasa Bersama Morrie”, berkata, “Bertindaklah seperti yang diperbuat oleh para Buddhis. Setiap hari, bayangkan bahwa di pundak kita ada seekor burung yang bertanya, ‘Sekarangkah hari ajalku? Siapkah aku? Sudahkah aku mengerjakan semua yang perlu kuperbuat? Apakah aku telah menjadi seperti yang kukehendaki?’”

Apa yang disarankan Morrie adalah suatu cara yang berguna untuk mengingatkan diri kita akan kematian. Karena sering kali dalam keseharian hidup, mata kita begitu butanya akan kebenaran tak terbantahkan bahwa kematian itu bisa datang sewaktu-waktunya, dan bahwa betapa kehidupan ini amatlah getas, sangat rentan.

Kita dapat temukan setiap hari televisi, koran dan dunia maya dipenuhi oleh berita-berita mengenai bencana, kecelakaan, perang, wabah penyakit, bunuh diri, dan segala macam hal menakutkan lainnya yang menyebabkan tiada hari tanpa berita kematian. Dan sebagian dari kita pun, seperti mereka yang bekerja di rumah sakit sebagai perawat atau dokter, akan sering menjumpai dan melihat peristiwa kematian. Tapi semua hal itu tidak menjamin mampu menggugah kesadaran kita seperti tergugahnya kesadaran Pangeran Siddhartha ketika melihat Empat Pemandangan. Maka, tak heran kita sering “lupa” bahwa kita tak bisa hidup selamanya.   

Selain cara yang disarankan Morrie, ada satu cara lagi cara untuk membuat kita selalu ingat akan kematian. Dalam sebuah buku kumpulan ceramah Ajahn Chah yang amat berkesan bagi saya, ada sebuah nasihat dari beliau yang amat beliau tekankan untuk dipraktikkan berulang kali. Nasihat itu berkaitan dengan perenungan kerap teerhadap kematian, yang dalam naskah Buddhis disebut Maranasati. Ajahn Chah amat menekankan hal ini, dan menganjurkan siapa pun yang membaca buku itu untuk sering-sering merenungkannya. Menurut Ajahn Chah, perenungan seperti ini akan membuat kita selalu waspada, eling akan hakikat ketidaktetapan kehidupan kita. Dan kewaspadaan ini pada gilirannya akan mencegah kita hidup secara sembrono yang kelak, ketika kematian tiba, hanya akan membawa sesal dan sengsara.

Jadi, apakah isi perenungan itu? Berikut saya tulis ulang sesuai dengan ingatan dan kata-kata saya sendiri yang mungkin agak berbeda dengan versi tertulis pada buku tersebut. Inilah perenungan yang kerap saya renungkan menjelang tidur:

Aku akan menderita usia tua;
Aku belum mengatasi usia tua.

Aku akan menderita penyakit;
Aku belum mengatasi penyakit.

Aku akan menderita kematian;
Aku belum mengatasi kematian.

Segala yang kumiliki, yang kucintai;
Akan berubah, terpisah dariku.

Aku adalah pemilik dari karmaku sendiri;
Lahir dari karmaku sendiri;
Berhubungan dengan karmaku sendiri;
Terlindungi oleh karmaku sendiri;
Apa pun karma yang kuperbuat;
Baik atau buruk;
Itulah yang akan aku warisi.

Anicca, dukkha, anatta.

Seperti yang dianjurkan Ajahn Chah, lakukanlah perenungan ini dengan kerap. Setidaknya dalam sehari 1 kali, akan lebih baik seperti nasihat kaprah para dokter: 3 kali sehari; pagi saat baru bangun, siang setelah selesai makan, dan malam menjelang tidur. Jika tak sanggup, sekali sehari menjelang tidur adalah waktu yang terbaik.

Mengapa?

Karena ketika menjelang tidur, pikiran kita biasanya berada dalam keadaan yang rileks dan tenang, sehingga apa pun yang kita renungkan pada saat itu akan lebih mungkin tercamkan dengan baik dalam batin kita. Dan ketika maknanya tercamkan dengan baik dalam batin, kita akan menjadi lebih mudah waspada, eling dalam menjalankan keseharian hidup kita. Kemelekatan menjadi kurang pekat, kesadaran akan ketidaktetapan bertambah tinggi, dan kemampuan untuk melakukan kebajikan menjadi lebih spontan. Dan terutamanya, ketika kita sudah amat terbiasa merenungkan kematian, sedikit demi sedikit kita sadari bahwa ada perubahan dalam cara kita memandang kematian. Dari yang semula memandang dengan ngeri dan takut menjadi pandangan yang tenang dan tabah. Kita mengerti sepenuhnya bahwa kematian tidak layak ditangisi, karena kematian adalah konsekuensi tak terelakkan dari kelahiran.

Hal-hal itu, kualitas-kualitas positif yang kita peroleh itu akan amat mempengaruhi keseharian hidup kita. Kita akan menjadi pribadi yang lebih mudah bahagia daripada sebelumnya, karena kemampuan untuk melepas atau membiarkan berlalu yang meningkat membuat kita kurang diberati oleh beban-beban tak perlu—rasa sesal, keinginan-keinginan tak sampai, dendam, rasa kecewa—yang amat sering adalah penyebab dari penderitaan kita. Bukankah  
seringkali hidup ini sesungguhnya sudah cukup memberikan kita masalah, tapi entah mengapa kita sering mencari-cari masalah lain dengan bermuram durja, terus melekati rasa sesal atau marah kita, dan seterusnya?

Melatih Diri Dalam Moralitas, Meditasi dan Kebijaksanaan

Jangan mencari kematian. Kematian akan menemukan kita. Tapi carilah jalan yang membuat kematian menjadi indah — Dag Hammarskjöld 
Do not seek death. Death will find you.
But seek the road which makes death a fulfillment Dag Hammarskjöld

Dalam Buddhisme, kita mengenal Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Disebut demikian karena jalan ini adalah satu jalan yang memiliki 8 faktor yang bila dijalankan akan membawa seseorang mencapai suatu keadaan yang mulia. Faktor-faktor itu adalah Pandangan Benar, Perniatan Benar, Perkataan Benar, Perbuatan Benar, Penghidupan Benar, Pengupayaan Benar, Penyadaran Benar, Pemusatan Benar  yang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu: moralitas (Perkataan, Perbuatan dan Penghidupan benar), meditasi (Pengupayaan, Penyadaran dan Pemusatan benar) dan kebijaksanaan (Pandangan dan Perniatan Benar). Di sini, Jalan Mulia Berfaktor Delapan tidak akan dibahas secara terperinci untuk setiap faktornya. Fokus diletakkan pada pembahasan mengenai 3 kelompok moralitas, meditasi dan kebijaksanaan yang dikaitkan dengan manfaatnya untuk mempersiapkan diri menghadapi kematian.

Tentang bagaimana sebaiknya kita mempraktikkan jalan ini, ada suatu pengertian kurang tepat pada sebagian Buddhis bahwa faktor-faktor dari jalan ini haruslah dilaksanakan secara berurutan. Jadi disebutkan kita harus mula-mula melatih moralitas dulu sampai sempurna, baru setelah itu bisa dilanjutkan dengan melatih meditasi, dan akhirnya kebijaksanaan. Jika carai ni sungguh diterapkan, latihan kita tidak akan pernah berhasil.

Mengapa?

Karena menunggu moralitas sempurna tak akan bisa bila hanya dengan melatih moralitas. Moralitas menjadi sempurna memerlukan dukungan meditasi, meditasi menjadi sempurna memerlukan dukungan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan menjadi sempurna memerlukan dukungan moralitas. Ketiga hal ini saling dukung mendukung, membentuk satu lingkaran yang, jika dilatih secara simultan, akan terus menggelinding mengantarkan kita makin dekat, makin dekat, dan makin dekat lagi ke pencerahan sejati.

Selain dengan cara simultan, ada pendapat yang agak berbeda tentang bagaimana seharusnya kita menjalankan Jalan Mulia Berfaktor Delapan.

Menurut Ajahn Chah seperti yang tercatat dalam buku “Being Dharma”, mempraktikkan Jalan Mulia Berfaktor Delapan adalah seperti ketika kita memungut sebatang kayu. Kita bisa saja memungut kayu itu dengan pertama-tama memegang ujung yang satu, atau ujung lainnya, atau bahkan langsung memegang bagian tengahnya. Cara mana pun yang kita tempuh, begitu kita memungut kayu itu, keseluruhan bagian kayu akan ikut terangkat pula.

Begitu pun dengan praktik Jalan Mulia Berfaktor Delapan. Kita bisa mulai dari mempraktikkan moralitas, atau mengembangkan kebijaksanaan, atau langsung saja menekuni meditasi. Ketika, misalnya, kita memilih untuk menekuni meditasi, jika meditasi kita benar maka secara otomatis seiring perkembangan latihan kita akan mulai merasakan adanya suatu keperluan untuk juga mempraktikkan dan meneguhkan moralitas. Dan selanjutkan dari sana muncul pula suatu rasa kemendesakkan untuk mengembangkan kebijaksanaan. Dan begitulah seterusnya hingga akhirnya kita pun menyelesaikan jalan ini dengan berhasil.  

Moralitas

Ada sebuah kisah di majalah anak-anak Bobo edisi lama yang pernah saya baca. Cerita ini adalah tentang dua orang perempuan bertetangga.

Perempuan pertama memiliki sebuah rumah yang kumuh, dengan kehidupan rumah tangga dan perekonomian yang “menyedihkan”. Penampilan fisiknya sendiri juga tidak rapi dan bersih. Sedangkan perempuan kedua sebaliknya: rumahnya bersih, rapi, dirinya, suami dan anaknya bahagia berkecukupan meskipun tetap sederhana. Tiap hari perempuan pertama selalu merasa iri dan penasaran mengapa tetangganya itu bisa begitu bahagia kehidupanya. Dia berusaha mencari tahu apa rahasianya, dan dia sangat ingin tahu.

Suatu hari akhirnya dia menemukan juga seseorang yang bisa memberitahukan dia apa rahasia si tetangga. Orang itu adalah seorang anak perempuan penjaja makanan. Tapi sebelum anak ini bersedia memberitahukan rahasia si tetangga, si anak meminta perempuan ini membeli semua kue dagangannya. Tanpa pikir 2x24 jam dia setuju dan membeli semua kue dagangan si anak yang masih tersisa.

Tahukah Anda, apa sesungguhnya rahasia mengapa si tetangga bisa memiliki rumah yang bersih, rapi, dan kehidupan yang bahagia lahir batin?

Bukan, bukan karena si tetangga dapat warisan dari orangtua atau mertuanya, bukan pula dia punya tuyul yang dipakai untuk mencari uang secara tidak halal, hehehehe….Tapi ternyata, si tetangga itu punya banyak pembantu yang membantu dia bekerja setiap hari mengelola rumah tangganya sehingga dia bisa memiliki rumah yang rapi dan bersih, dan suami dan anaknya pun terurus dengan baik. Tapi si perempuan pertama heran, karena selama ini tak pernah sekali pun dia melihat batang hidung para pembantu yang disebutkan oleh si anak penjaja kue. Apakah para pembantu itu makhluk-makhluk halus? Tentu saja tidak! Kalau benar begitu, ini akan menjadi kisah horor yang tak layak terbit di sebuah majalah anak-anak, hehehe…

Jadi, siapa sih para pembantu yang hebat-hebat itu sampai seperti tak terlihat orangnya tapi hasil kerjanya amat menyolok?

Anda penasaran?

Saya juga, makanya ketika membaca kisah itu saya terus membaca sampai akhir. Dan jawabannya sungguh tak terduga, membuat saya manggut-manggut sekaligus merenung: para pembantu itu adalah semua anggota badan kita yang bisa kita gunakan untuk bekerja. Mereka adalah kedua tangan dan kaki kita, dan jari jemari kita. Mereka adalah badan kita yang sehat yang memungkinkan kita bekerja keras untuk memperoleh hidup layak.

Si perempuan pertama sebenarnya juga mempunyai para pembantu seperti tetangganya itu. Hanya saja, dia tak pernah menyadarinya dan memanfaatkan para pembantu itu. Dia lebih suka duduk-duduk saja, membiarkan rumahnya kotor dan berantakan, anak-anaknya tak terurus, dan suaminya jadi tak betah di rumah. Sebagai akibatnya kehidupannya pun tak bahagia, dan rejeki ogah mampir. Karena, bahkan manusia sendiri tak betah mampir di rumah yang kotor, apalagi dewa rejeki yang standar tuntutannya pasti lebih tinggi lagi, ya kan?

Kita Buddhis diajarkan tentang hukum karma dan kelahiran ulang. Apa yang kita peroleh dan alami dalam kehidupan ini sebagian adalah karena apa yang telah kita tanam dalam kehidupan lampau yang dekat maupun jauh. Seperti misalnya tubuh dan batin ini.

Dari perspektif hukum karma dan kelahiran ulang, tubuh dan batin “sempurna” yang kita miliki kini adalah harta kekayaan yang kita warisi dari benih-benih yang telah kita tanam di kehidupan lampau. Dengan kata lain, kita memiliki harta kekayaan dari masa lampau berupa tubuh dan batin yang “sempurna” dalam kehidupan ini karena pada masa lampau kita telah cukup banyak melakukan kebajikan dan mengembangkan kebijaksanaan.

Seperti halnya kekayaan materi, harta kekayaan berupa tubuh dan batin ini pun juga bisa disia-siakan, bahkan disalahgunakan. Sebagian orang sadar dan menggunakan harta kekayaan ini sebagai kendaraan untuk mencapai kehidupan yang lebih mulia. Mereka giat dan tekun dalam mengembangkan kebajikan dan kebijaksanaan melalui setiap pikiran, ucapan dan tindakan. Sebagian lagi terlena, mabuk, menyia-nyiakan harta kekayaan yang mereka warisi dari kehidupan lampau. Mereka menyiksa dan meracuni tubuh dan batin dengan mengkonsumsikan zat-zat adiktif. Mereka menyalahgunakan tubuh dan batin untuk melakukan perbuatan-perbuatan kriminal yang hanya merugikan diri mereka dan membawa kesengsaraan bagi makhluk lainnya.  

Dalam Buddhisme, kita mengenal adanya sila sebagai suatu standar moral. Pelaksanaan sila adalah salah satu jalan untuk mengembangkan kebajikan dan merupakan bagian penting dalam upaya kita meraih kemuliaan. Sila-lah yang menentukan apakah kita berhak menyebut diri kita manusia atau tidak. Dan sebagai umat awam, kita memiliki 5 sila dan 8 untuk saat-saat tertentu atau dalam kondisi sebagai umat awam yang terikat komitmen sebagai anagarika/anagarini. Untuk kalangan monastik ada 10 sila yang dijalankan oleh seorang calon bhikkhu/bhikkhuni (samanera/samaneri), dan 200an sampai 300an lebih sila untuk para bhikkhu dan bhikkhuni.

Pelaksanaan sila dapat dibagi menjadi 2 aspek: pasif dan aktif. Dalam kehidupan awam, sila yang dijalankan secara pasif adalah bila kita sekadar bertekad untuk tidak membunuh makhluk hidup, tidak mencuri, tidak melakukan perbuatan seksual yang salah, tidak berdusta, dan tidak mengonsumsikan zat-zat yang dapat melemahkan kesadaran. Pada aspek aktifnya, menjalankan sila berarti kita secara aktif melindungi suatu kehidupan (termasuk juga melestarikan lingkungan), bermurah hati, menghargai dan menjaga kehormatan diri dan yang lainnya, menjunjung dan menghargai kebenaran, menghargai kesejahteraan batin dan badan.                        

Kelompok moralitas dalam formulasi Jalan Mulia Berfaktor Delapan juga menyebutkan penghidupan dan perkataan benar. Mata pencaharian adalah salah satu bagian paling dominan dalam keseharian hidup kita, sesuatu yang selalu kita lakukan terus menerus dari hari ke hari hampir sepanjang hidup kita. Karena itu, mata pencaharian memiliki pengaruh dalam membentuk karakter diri kita dan kebiasaan-kebiasaan kita. Dan pada momen menjelang kematian, apa pun yang telah mengeras sebagai karakter atau kebiasaan akan mudah sekali muncul sebagai “tanda kematian” yang amat vital dalam menentukan ke mana kita pertama-tama akan menuju setelah meninggal dunia. Dengan begitu, memiliki mata pencaharian yang benar amatlah penting. Mata pencaharian yang benar adalah mata pencaharian apa pun yang tidak melanggar sila dan hukum negara, yang tidak merugikan makhluk lain dan diri sendiri. Contohnya seperti: tidak berdagang senjata, minuman keras, narkoba, binatang untuk disembelih, racun, tidak terlibat dalam prostitusi atau perjudian.     

Begitu pun dengan perkataan benar: kehidupan kita dipenuhi oleh perkataan-perkataan yang terucap, tak terucap, maupun yang berupa celutukan atau gema-gema dalam batin. Perilaku ucapan memiliki pengaruh menentukan apakah kita akan menjalankan sebuah kehidupan yang tenang dan harmonis atau sebaliknya. Perilaku ucapan yang terbiasa benar, santun, ramah, jujur dan tidak menyakitkan tidak menciptakan beban-beban penyesalan yang dapat memberati diri kita saat melangkah pergi dari kehidupan ini menuju kehidupan berikutnya. Sebagai akibatnya, kita dapat melangkah dengan ringan dan lega menuju kehidupan berikutnya.

Begitulah. Dengan melaksanakan moralitas sebaik-baiknya, berarti kita membiasakan diri dalam kebajikan sekaligus mengumpulkan bekal kekayaan kebajikan. Dan kedua hal ini amat membantu kita bersikap tenang dalam menghadapi kematian kita. 

Bersambung ke bagian 7

Senin, 14 November 2011

Mati Itu Pasti Bagian 2: Mengapa Kita Harus Mati?

Mengapa Kita Harus Mati?

Dalam keseharian hidup, kita akan menemukan orang-orang meninggal pada semua besaran umur. Beberapa orang meninggal persis setelah mereka dilahirkan, atau bahkan malah sebelum dilahirkan (akibat suatu tindakan aborsi atau karena keguguran alami). Beberapa yang lainnya masih sempat muncul ke dunia dan membuka matanya, namun lantas “layu sebelum berkembang”. Beberapa lainnya panjang umur sampai sukses menjadi orang-orang T.O.P (Tua, Ompong, Peot) sebelum akhirnya berangkat untuk “pindah alamat” ke alam lain. Mereka semua meninggal karena pelbagai macam sebab yang, secara umum, dapat diringkas menjadi tiga kelompok: penyakit, kecelakaan atau bencana, dan usia lanjut.

Ketika kita ditanyakan mengapa seseorang meninggal dunia, kita bisa menjawab ada banyak penyebab seseorang meninggal dunia. Pernyataan-pernyataan seperti, “Kakekku telah meninggal dunia setahun lalu karena serangan jantung”, atau “Sepupu saya tewas dalam kecelakaan pesawat terbang”, atau “Orang tua itu meninggal dunia dengan tenang di tempat tidurnya karena usia yang sudah amat lanjut”  dapat diterima sebagai pernyataan-pernyataan yang terang jelasnya dalam pengertian kebenaran sehari-hari di dunia kita.  

Tapi bila kita bertanya mengapa manusia HARUS mati, maka jawabannya akan tergantung dari latar belakang keyakinan kita.

Ajaran tertentu yang meyakini adanya makhluk adikodrati sebagai sang pencipta dan penguasa semesta mengajarkan bahwa manusia harus mati karena sang pencipta menyadari dunia akan penuh sesak bila semua manusia tak mati-mati, dan bahwa dunia ini bukanlah rumah sejati manusia, melainkan hanyalah persinggahan sementara sehingga kematian itu akan menjadi suatu perjalanan pulang menuju rumah sejati di sisi pencipta itu. Ajaran lainnya menyatakan bahwa pada mulanya manusia pertama ciptaan makhluk adikodrati itu hidup abadi di surga. Tapi karena dosa yang dilakukannya, manusia itu kemudian diusir dari surga dan jatuh ke bumi menjadi makhluk yang fana, yang masa kehidupannya dibatasi oleh kematian.   

Bagi Buddhisme, jawaban untuk pertanyaan mengapa manusia HARUS mati amatlah sederhana namun sekaligus menohok langsung ke ulu hati kesadaran:

KITA MATI karena KITA LAHIR!

Kita tidak mati lantaran cinta atau akibat masalah kesehatan atau bahkan karena usia lanjut; kita mati sebab kita lahir sebagai manusia –Percival Arland Ussher

A man does not die of love or his liver or even of old age; he dies of being a man.  ~Percival Arland Ussher 



Menurut Buddhisme, kelahiran menyebabkan kita “memiliki” lima gugus ini yang secara ringkas disebut tubuh dan batin. Tubuh adalah perpaduan dari unsur-unsur seperti tanah, air, api dan angin yang membentuk pancaindra dan seluruh bagian lainnya. Batin terdiri dari kesadaran, persepsi atau pencerapan, bentukan-bentukan mental dan perasaan. Apa yang secara umum kita sepakati sebagai “manusia” atau “makhluk” adalah perpaduan semua hal ini. Dan karena apa pun yang merupakan perpaduan adalah tidak kekal, maka cepat atau lambat perpaduan ini pasti akan berpisah, dan itulah yang disebut kematian. Tanpa adanya perpaduan lima gugus ini (lahir), maka tak ada pula perpisahan lima gugus (mati). Tanpa kelahiran tak ada kematian. Dan keadaan tanpa kematian inilah yang dalam Buddhisme disebut Nibbana, tujuan tertinggi para Buddhis.

Lalu, jika kelahiran menyebabkan kematian, maka apa yang menyebabkan kita lahir?

Menurut keyakinan dari ajaran lain, kelahiran manusia disebabkan karena adanya satu sosok makhluk adikodrati yang mahapencipta. Makhluk inilah yang dipercaya menciptakan alam semesta berikut semua isinya, yakni: manusia, hewan, tumbuhan, batu, air, udara, tanah, pelangi (ingat lagu “Pelangi Pelangi”?), bahkan es krim juga! J

Di sisi lain, Buddhisme tidak mempercayai konsep ketuhanan seperti itu. Sebagai Buddhis, kita tidak diajarkan tentang adanya satu makhluk adikodrati yang memiliki segala sifat maha, bahwa makhluk inilah yang merupakan kausa prima atau sebab pertama dari segala yang ada sekarang ini. Kita Buddhis diajarkan terbentuknya alam semesta beserta keberadaan manusia adalah buah dari hukum sebab dan akibat serta hukum-hukum alam lainnya.

Tentang kelahiran manusia, jika Buddhisme ditanya, maka sebabnya adalah kekelirutahuan atau kegelapan batin. Tapi ini bukanlah sebab pertama. Buddhisme tidak mempercayai adanya sebab pertama karena dalam lingkaran sangsara ini amat mustahil mencari satu awal untuk lingkaran lahir-mati yang sinambung ini. Kekelirutahuan berada dalam satu rangkaian lingkaran musabab yang saling bergantungan: sebab yang ini menghasilkan akibat yang itu, dan akibat yang itu pada gilirannya menjadi sebab bagi akibat lainnya lagi. Rumusan terkenal untuk proses ini kaprah dikenal dengan:


Ketika ada ini, itu ada.
Dengan munculnya ini, itu muncul.
Ketika ini tidak ada, itu tidak ada.
Dengan berhentinya ini, itu berhenti.

Pengertian yang didasarkan pada keyakinan yang berbeda ini membawa konsekuensi berupa sikap yang berlainan pula dalam menghadapi kematian.

Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada suatu pengalaman kematian yang menyangkut keluarga atau orang-orang terkasihnya, sebagian orang dari keyakinan lain sering terjebak ke sikap mengutuki atau menyumpahi makhluk adikodrati itu. Mereka tak bisa memahami bagaimana suatu makhluk adikodrati yang diyakininya mahakuasa dan mahapengasih, begitu “tega” mencabut nyawa dari seorang bayi atau anak manis yang—menurut standar keyakinan mereka—tak berdosa, atau memisahkan seorang ibu amat pengasih dari anak-anak yang amat memerlukan curahan kasih sayangnya.

Tentu saja, di sebagian kalangan para Buddhis pun kita bisa menemukan kemarahan seperti itu. Karena dilandasi oleh kekelirutahuan dan pekatnya kemelekatan, sebagai orang awam kita mungkin saja tak bisa menahan diri. Kita begitu geram dan meradang atas kematian dari seorang anak yang amat kita sayangi, yang padanya kita curahkan segala kasih dan pengharapan. Tapi bedanya di Buddhisme, lantaran kita tak mempercayai adanya makhluk adikodrati seperti itu, kita tak memiliki “oknum sial” yang terpaksa harus rela menjadi kambing hitam untuk kita sumpahi atau kutuki sebagai pelampiasan rasa derita kita gara-gara kehilangan orang-orang yang kita kasihi.

Namun, justru hal itu membuat para Buddhis seperti kita lebih bisa bersikap tenang dan rasional dalam menghadapi kematian, lebih kurang emosional dibandingkan dengan para penganut keyakinan lain. Tiiadanya kepercayaan bahwa ada satu makhluk adikodrati mahakuasa + mahapengasih + mahatahu + mahapencipta yang mengatur kehidupan kita membuat kita Buddhis tidak terserang oleh kompleksitas rasa penasaran dan rasa tak habis mengerti yang menyangkut kontradiksi-kontradiksi yang terkandung dalam kepercayaan itu sendiri. Dengan begitu, derita yang kita rasakan akibat masih pekatnya kemelekatan kita terhadap orang-orang terkasih yang meninggalkan kita tak dilipatgandakan dengan beban-beban rasa penasaran itu.

Ditambah dengan kenyataan bahwa dalam Buddhisme kita diajarkan bahwa kematian itu adalah sesuatu yang amat alami, bagian dari lingkaran kehidupan yang tak terelakkan, maka sebagai Buddhis kita lebih bisa menerima kenyataan “pahit” tersebut, lebih bisa bersikap rasional dan tenang ketimbang mereka yang “terpaksa” diberati oleh rasa penasaran dan ketidakpuasan karena pandangan seperti itu.

Kita tidak akan sampai bertanya dan menuntut mengapa Tuhan yang mahapengasih dan penyayang (katanya) begitu tega mencabut nyawa anak kita, seorang anak yang kemarin masih sehat-sehat dan ceria tapi dalam semalam berubah menjadi sosok mayat? Mengapa kemalangan seperti ini menimpa kita yang rajin beribadah dan selalu berusaha untuk menjadi orang baik? Dan itu menciptakan suatu perbedaan besar antara kita dengan mereka. 

Bersambung ke bagian 3...Join blog ini untuk mendapatkan update